‘Perlu Desk Khusus di Depdagri untuk Mengkaji Perda'
Berita

‘Perlu Desk Khusus di Depdagri untuk Mengkaji Perda'

Situs resmi Depdagri menginformasikan bahwa sejak 1999 hingga 2 Maret 2006, terdapat 930 Perda yang berdasarkan kajian Depdagri layak dibatalkan dari total 5.054 yang mereka terima.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
‘Perlu <i>Desk</i> Khusus di Depdagri untuk Mengkaji Perda'
Hukumonline

 

Sampai saat ini nampaknya belum ada daerah yang membuat. Jadi, daerah-daerah membuat itu insidentil aja, jawab mantan Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid ini, ketika ditanya seputar kepatuhan daerah membuat Prolegda.

 

Lebih lanjut, Prof. Mahfud mengatakan Depdagri seharusnya pro aktif dalam melakukan pengawasan represif terhadap Perda-Perda. Kewenangan melakukan pengawasan ini diatur secara tegas dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

 

Pengawasan represif

Pasal 136 ayat (1) UU No. 32/2004 memang mengisyaratkan penetapan Perda tidak memelukan persetujuan pemerintah pusat karena cukup dilakukan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan DPRD. Namun, Pasal 145 UU 32/2004 menyatakan Perda disampaikan ke pemerintah pusat paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan untuk dikaji.

 

Apabila setelah dikaji ternyata Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka pemerintah pusat dalam jangka waktu 60 hari setelah Perda tersebut diterima, dapat melakukan pembatalan melalui peraturan presiden. Kalau setelah 60 hari Depdagri diam maka itu dianggap benar secara hukum meskipun kata masyarakat salah, kata Prof. Mahfud.

 

Sebagai solusi, Prof. Mahfud mengusulkan agar Depdagri segera membentuk sebuah desk (bagian atau divisi, red.) khusus yang bertugas meneliti semua Perda agar sebelum lewat 60 hari sejak disampaikan sudah bisa ditentukan kelayakan Perda tersebut. Sekarang Depdagri tidak pernah memperhatikan itu, padahal masyarakatnya ribut, tukasnya.

 

506 Perda dibatalkan  

Berdasarkan penelusuran hukumonline, pengawasan Depdagri tidak sepenuhnya ‘lumpuh' sebagaimana dikatakan Prof. Mahfud. Situs resmi Depdagri menginformasikan bahwa sejak 1999 hingga 2 Maret 2006, terdapat 930 Perda yang berdasarkan kajian Depdagri layak dibatalkan dari total 5.054 yang mereka terima.

 

Dari jumlah tersebut, Depdagri telah membatalkan 506 Perda, 156 Perda direvisi, 24 Perda dibatalkan oleh pemerintah daerah terkait, dan 7 (tujuh) belum disikapi oleh pemerintah daerah terkait. Sayangnya, sebagian besar Perda yang telah dibatalkan tersebut terkait sektor bisnis. Sementara, Perda yang mengatur hal lain masih luput dari pengawasan Depdagri.

Pelaksanaan otonomi daerah (otda) atau desentralisasi di Indonesia bagi sebagian kalangan dinilai sudah ‘kebablasan'. Spirit kebebasan yang terkandung dalam konsep otda ternyata justru seringkali disimpangi oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat.

 

Sebagai gambaran, misalnya, tahun 2001 lalu Departemen Keuangan telah mengidentifikasi adanya 80 Perda bermasalah yang berkaitan dengan sektor bisnis. Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), pada tahun yang sama menemukan 1006 Perda bermasalah walaupun setelah dikaji oleh Depdagri hanya 105 Perda yang benar-benar bermasalah.

 

Belakangan, Perda bermasalah ternyata tidak hanya Perda yang terkait dengan sektor bisnis tetapi juga seputar hubungan antar warga masyarakat. Contoh paling mutakhir adalah terbitnya Perda No. 8/2005 tentang Larangan Pelacuran. Perda yang diterbitkan Pemerintah Kota Tangerang ini mengundang banyak kecaman dari sejumlah kalangan, khususnya perempuan.

 

Prolegda

Sehubungan dengan maraknya Perda-Perda bermasalah ini, anggota Komisi III DPR Prof. Moh. Mahfud MD ditemui dalam acara Seminar Memantapkan Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Menuju Terwujudnya Sistem Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 di Jakarta (29/5), mengatakan setiap pemerintah daerah perlu mengefektifkan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Melalui Prolegda itu dapat diteliti dan diseleksi Perda-Perda agar selaras dengan kerangka politik hukum nasional.

 

Penyusunan Prolegda diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Prolegda, menurut penjelasan Pasal 15 ayat (2), dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Perundang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.

Halaman Selanjutnya:
Tags: