Mengembalikan ke Proses Yudisial
Problem Hukum Pengujian Perda (3):

Mengembalikan ke Proses Yudisial

Bagaimana perbandingannya dengan pengujian suatu undang-undang?

Oleh:
M-1
Bacaan 2 Menit
Mengembalikan ke Proses Yudisial
Hukumonline

 

Bila hasil judicial review MA membatalkan Perda, maka Menurut Marwan, pembuat Perda (eksekutif daerah dan DPRD) harus mencabut Perda yang bersangkutan. Kalau sudah diuji, lalu ada kesimpulan (tidak sah), otomatis harus dibatalkan. Pembuatnya otomatis (harus) mencabut. Excecutive harusnya menaati itu. Itu masalah ketaatan

 

Dari hasil penelusuran hukumonline tidak ditemukan bagaimana cara eksekusi suatu putusan judicial review dari MA.  Berdasarkan pemaparan Ibnu, disitulah letak kelemahan hukum kita di mana MA hanya menguji dan keputusan pembatalan atau pencabutan, diserahkan kembali kepada lembaga pembuatnya. Itu kelemahannya. MA hanya menguji, menyatakan Perda bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, tapi untuk Perda itu bisa tidak berlaku, harus dicabut oleh si pembuatnya. Di MA hanya (bisa) dinyatakan bertentangan, tapi tidak punya daya eksekutorial selama si pembuatnya tidak mengubah atau mencabutnya sendiri, ujar Ibnu.

 

Lebih lanjut, Ibnu menyarankan agar hasil pengujian di MA dinyatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana hasil pengujian oleh MK. Bahkan Ibnu menyarankan agar pengujian peraturan perundang-undangan dilakukan oleh satu lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi, tidak seperti sekarang yang dilakukan oleh dua lembaga yaitu MA dan MK.

 

Namun menurut Made, pembuat Perda terikat dengan hasil putusan judicial review MA dan harus mencabut Perda dalam waktu yang telah ditentukan apabila Perda itu dinyatakan tidak sah oleh MA.

 

Pengujian Undang-Undang

Pasca amandemen UUD 1945, uji materiil menjadi tidak sebatas pada peraturan perundang-undang di bawah undang-undang , tetapi juga terhadap undang-undang. Pengujian tersebut dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C UUD 1945 ayat (1) di mana antara lain disebutkan bahwa wewenang MK salah satunya adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UUD.

 

Apabila amar putusan MK menyatakan bahwa materi muatan undang-undang bertentangan dengan undang-undang, maka materi muatan undang-undang tersebut berdasarkan Pasal 57 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MK itu sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi akan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diucapkan.

 

Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Hukum Acara Pengujian Undang-Undang halam 318-319, menyatakan bahwa putusan MK berlaku prospektif ke depan, tidak retrospektif ke belakang. Karena itu, segala perbuatan hukum dan subyek hukum yang sah menurut rezim hukum lama sebelum putusan MK, tetap harus dianggap sah adanya.

Berbeda dengan yang lain, menurut Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Hukum Acara Pengujian Undang-Undang terbitan Sekretariat Jenderal MK tahun 2006 (halaman 37-39), menyatakan bahwa Perda sebagai hasil kerja Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) tidak dapat dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat begitu saja.

 

Lebih lanjut, pakar hukum tata negara yang juga merupakan Ketua Mahkamah Konstitusi itu berpendapat bahwa pemerintah pusat sudah seharusnya tidak diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mencabut Perda sebagaimana diatur oleh UU tentang Pemerintahan Daerah (UU No 32 Tahun 2004), tetapi yang berwenang menguji Perda adalah MA sebagaimana ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

 

Pendapat Prof. Jimly ternyata diamini oleh Marwan Batubara. Dalam wawancara via telepon dengan hukumonline, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta tersebut tidak sepakat dengan adanya excecutive review terhadap Perda. Lebih lanjut, Marwan menilai ketentuan UU No 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan adanya excecutive review merupakan bentuk ketidakkonsistenan peraturan perundang-undangan.

 

Itu tidak konsisten. Saya kira ini (kewenangan adanya excecutif review) perlu direview, dan kalau memang perlu, kita ajukan judicial review. Itu merupakan langkah yang harus kita ambil. Menurut UUD, UU atau aturan yang levelnya lebih rendah terhadap UU, itu MA (yang menguji). Kalau UU terhadap UUD itu oleh MK, tandas Marwan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: