Advokat dan Akademisi Beri Masukan terhadap RUU ITE
Berita

Advokat dan Akademisi Beri Masukan terhadap RUU ITE

Setelah jaksa dan polisi, Pansus RUU Informasi dan Transaksi Elektronik meminta masukan dari kalangan advokat.

Oleh:
M-4
Bacaan 2 Menit
Advokat dan Akademisi Beri Masukan terhadap RUU ITE
Hukumonline

 

Menurut Edmon, info elektronik dapat diekuivalenkan dengan kertas dimana untuk bernilai hukum seharusnya sebuah informasi elektronik berbentuk tertulis, bertandatangan dan original, dalam kondisi tertentu. Dengan begitu setelah berlakunya undang-undang ini hakim tidak boleh menolak alat bukti elektronik dan harus melakukan verifikasi dengan patokan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Itu disebut fungsional equivalent approach, yaitu pendekatan yang kelihatannya secara nature berbeda antara informasi di atas kertas dengan informasi elektronik, tandasnya.

 

Edmon menambahkan informasi dan transaksi elektronik perlu kualifikasi tertentu agar memiliki nilai hukum.yang pertama informasi itu harus berasal dari sistem yang layak dipercaya. Selain itu para pihak yang bertransaksi perlu  menggunakan tanda tangan elektronik. maksudnya agar parapihak tidak memungkiri  substansi sebuah transaksi. Untuk itu ada dua jenis tanda tangan elektronik yang dapat digunakan pertama dalam arti luas  yang berbentuk geometric dan dalam arti sempit yaitu tanda tangan digital.

 

Sebuah informasi elektronik dapat berkedudukan baik sebagai barang bukti maupun alat bukti. Dalam hukum acara pidana ketika berkedudukan sebagai barang bukti maka harus dirangkaikan dengan alat bukti lain sehingga dapat diidentifikasi sebagai petunjuk sebagaimana dalam pasal 184 KUHAP. Dengan adanya undang-undang ITE  maka informasi elektronik dapat menjadi alat bukti yang dapat berdiri sendiri. Misalkan di bidang hukum acara perdata transaksi elektronik sebagai kegiatan yang terekam dari proses input, menstorage hingga print out maka output yang ada layaknya akta otentik. outputnya seperti akta otentik, itulah kenapa sebelum pengujian diaudit oleh pengacara, tandas Edmon. Ketika informasi elektronik ini didelegasikan pada cyber notary maka kekuatan otentiknya Lebih kuat lagi. Karena yang melakukan verifikasi adalah notaris.

 

Ketika ditanyakan tentang validitas informasi dan transaksi elektronik, Edmon menjawab baik informasi dalam bentuk softcopy  maupun hardcopy sama-sama rawan rekayasa. Pada hal tertentu informasi elektronik justru lebih aman Karena tidak mudah diubah dan dapat dibaca per karakter.

 

Mengenai kekuatan pembuktian dari alat bukti dalam transasksi dan informasi elektronik dikatakan oleh beliau seharusnya setiap alat bukti memiliki kekuatan pembuktian yang sama. Namun kecenderungan praktisi dan aparat hukum yang ada menilai kekuatan pembuktian dari setiap alat bukti berbeda-beda. Itu kan kategorisasi, esensinya kan menghadirkan informasi terkait kasus yang relevan dan valid, medianya kertas dan elektronik, jelasnya. Senada dengan Teguh, Edmon mengatakan perlunya peranan PPNS dalam penyidikan perkara pidana. PPNS sebaiknya diisi oleh ahli informasi teknologi (IT) secara teknis maupun  maupun ahli hukum telematika.

 

Ditemui usai Rapat, Ketua Pansus RUU ITE Suparlan mengatakan kebutuhan akan undang- undang yang mengatur transaksi dan informasi elektronik sudah mendesak. Terutama dalam dunia bisnis yang senantiasa melakukan transaksi dan memanfaatkan informasi elektronik. Kepercayaan dunia bisnis internasional kepada Indonesia berkurang oleh sebab itu untuk secepatnya perlu disahkan Undang-Undang ini, ujarnya.

Masukan dari kalangan advokat disampaikan oleh Teguh Samudera dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di Senayan (06/7). Salah satu yang disinggung Teguh adalah kewenangan penyidik dalam penanganan kasus-kasus kejahatan yang berkaitan dengan transaksi elektronik.

 

Menurut Teguh, peranan penyidik pegawai negeri sipil perlu  ditambah karena penyidik kepolisian dan kejaksaan belum memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai. PPNS dimaksud adalah orang-orang ahli elektronik dan hukum yang diangkat sebagai penyidik.

 

Selain itu ancaman hukuman yang dijatuhkan seharusnya menggunakan batasan minimum hukuman, bukan maksimum. Hakim bisa leluasa sesukanya menjatuhkan hukuman, sehari pun itu hukuman, percobaan juga hukuman. Jika demikian pencari keadilan yang dirugikan, jelasnya.

 

Mengenai alat bukti dalam sistem informasi dan transaksi elektronik, Teguh  menambahkan bahwa alat bukti tidak boleh terpaku pada BW dan KUHAP. Ketentuan tentang alat bukti perlu diatur  spesifik dalam RUU ini namun tidak boleh berbenturan dengan hukum acara yang ada.

 

Sementara itu, pakar hukum telematika dari Universitas Indonesia, Edmon Makarim berpendapat fokus utama dari RUU ini adalah menghadirkan informasi elektronik menjadi bernilai secara hukum dan mempunyai kekuatan pembuktian. Itu terjadi karena selama ini ada kemungkian hakim menolak menggunakan alat bukti elektronik.

Tags: