Diskresi Pejabat Sulit Dicari Batasannya
Berita

Diskresi Pejabat Sulit Dicari Batasannya

Meski diakui setiap pejabat mempunyai diskresi, masih diperdebatkan perlu tidaknya diskresi diatur dalam undang-undang.

Oleh:
M-1
Bacaan 2 Menit
Diskresi Pejabat Sulit Dicari Batasannya
Hukumonline

 

Pakar Hukum Administrasi Negara UI Prof. Benyamin Hossein menganggap keberadaan UU tersebut nantinya bisa menjadi batasan secara hukum pembuatan diskresi sebagai fungsi kontrol mencegah terjadinya abuse of power, dan agar menjadi sarana terwujudnya good governance.

 

Menurut Prof. Benyamin, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Dengan demikian, menurutnya setiap pejabat publik memiliki kewenangan diskresi.

 

Seperti pada hakim, pejabat tidak boleh menolak memberi keputusan apabila ada permohonan dari masyarakat dengan dalih tidak ada hukumnya. Diskresi bukan sembarangan, tapi ada rambu-rambunya, jelasnya. 

 

Menurut Eko yang juga terlibat aktif dalam perumus, RUU ini bukan untuk mengatur mengenai diskresi, tetapi justru mengatur batasannya. Mengutip pendapat hakim agung Prof. Paulus Effendi Lotulung, Eko mengharapkan RUU tersebut bisa menjadi hukum materiil bagi pejabat dalam membuat keputusan serta menjadi bahan penilaian hakim apabila diskresi tersebut akan diuji.

 

Perlukah?

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Prof. Bintan R. Saragih menyatakan AUPB tidak perlu diatur dalam suatu undang-undang. Asas-asas itu kan transendental, tidak membumi. Kalau membumi namanya bukan asas. Kalau diskresi diatur, bukan diskresi lagi namanya, tuturnya.

 

Pendapat senada disampaikan oleh pakar Ilmu Perundang-undangan UI Maria Farida. Apakah asas ini dinormakan? Asas ya asas, norma ya norma, ujar Maria. Menurutnya, asas sulit sekali dirumuskan batasannya.

 

Ditambahkan oleh Prof. Bintan bahwa pengaturan mengenai diskresi pejabat hanya lazim digunakan pada sistem parlementer, sementara sistem presidensial lebih menggunakan kebiasaan. Kita berpikir parlementer dalam sistem presidensial. Bahkan Prof. Bintan mempertanyakan efektifitas RUU Administrasi Pemerintahan tersebut nantinya.

 

Menurut Maria, RUU yang saat ini telah mencapai draft ke 12 tersebut masih susah dipahami mengenai lingkup subyek yang ingin diaturnya, apakah hanya untuk lingkungan eksekutif atau termasuk juga untuk semua pejabat negara lainnya. Baginya, RUU tersebut tak lebih dari sekedar kodifikasi aturan mengenai sikap tindak pejabat yang sebelumnya sudah tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

 

Ketidakjelasan mengenai lingkup subyek yang ingin diatur juga diakui Maswadi Rauf, pengamat politik UI. Maswadi juga menyesalkan ketidakjelasan rumusan kepentingan pribadi dalam pembuatan keputusan seperti yang terdapat dalam RUU tersebut. Menurutnya, suatu keputusan pasti melibatkan kepentingan pribadi pejabat pembuatnya. Apa artinya tidak boleh menjadi dasar dan pertimbangan? Seperti apa yang dilarang? tanyanya.

 

Lebih lanjut, Maswadi juga menanyakan mengenai konsep batal demi hukum terhadap setiap keputusan administrasi pemerintahan yang memberatkan penerima. Ini dalam konteks apa? Bisa rusak sistem pemerintahan kita kalau setiap keputusan yang memberatkan penerima bisa batal demi hukum tuturnya.

 

Keberatan lain terhadap keberadaan UU Administrasi disampaikan oleh Emerson Yuntho, Koordinator Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW). Menurut Emerson, kehadiran RUU tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan pejabat hanya akan diproses secara administratif apabila melakukan suatu tindak pidana.

 

Judul RUU terebut juga masih menjadi perdebatan. Administrasi artinya bestuur (Bahasa Belanda, red) artinya pemerintahan. Jadi apakah judulnya tidak bisa dipilih salah satu, RUU Administrasi atau RUU Pemerintahan, kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Prof. Sri Soemantri.

 

Ditemui usai pertemuan, Syafri Nugraha selaku Ketua Tim Perumus RUU Administrasi Pemerintahan mengatakan pihaknya akan menampung semua masukan ahli dan akan diadakan penyempurnaan terakhir sebelum dibuatkan Amanat Presiden sebagai pengantar dari presiden ke DPR.

 

Ampres sudah mau dibuatkan. Jadi untuk maju ke DPR tahun ini, kira-kira dua bulan lagi. Mudah-mudahan tahun depan sudah selesai, tutur Syafri.

Komentar beragam muncul dalam Expert Meeting Pembahasan RUU Administrasi Pemerintahan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis (10/8). Masalah mengenai diskresi masih menjadi dominasi perdebatan di samping mengenai judul Rancangan Undang-Undang (RUU), ruang lingkup yang ingin diatur dan efektifitas implementasi UU tersebut nantinya.

 

Anggota Komisi Ombudsman Nasional (KON) Prof. Sunaryati Hartono mengakui bahwa saat ini teori mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) yang menjadi dasar pembuatan diskresi sudah banyak, tapi dalam prakteknya tidak dijalankan oleh para pejabat.

 

Untuk itu, Prof. Sunaryati sangat mendukung kehadiran RUU Administrasi Pemerintahan sebagai bagian dari reformasi birokrasi. Kalau tidak diatur di UU, pejabat tidak mau melaksanakannya, ujarnya.

 

Eko Prasojo, akademisi UI menilai AUPB sudah diterapkan dalam pembuatan keputusan, tetapi masih sebatas asas dan belum menjadi norma hukum yang mengikat. Eko berharap dengan dimasukkannya AUPB ke RUU Administrasi Pemerintahan maka akan bisa mengikat secara hukum.

 

Deputi Tata Laksana Aparatur, Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara Asmawi Rewansyah juga menekankan pentingnya AUPB dibuat secara tertulis. Ditulis saja bisa dilanggar, apalagi tidak ditulis tuturnya. Menurutnya, pengaturan diskresi yang terlalu longgar bisa menyebabkan pejabat kebablasan.

Tags: