Pasukan Perdamaian TNI Diminta Patuhi Hukum Humaniter Internasional
Berita

Pasukan Perdamaian TNI Diminta Patuhi Hukum Humaniter Internasional

Kalau tidak bisa menunjukkan sikap imparsialitasnya lebih baik pengiriman pasukan perdamaian dibatalkan.

Oleh:
Aru/M-4
Bacaan 2 Menit
Pasukan Perdamaian TNI Diminta Patuhi Hukum Humaniter Internasional
Hukumonline

 

Dalam konteks ini, TNI belum menunjukkan komitmennya untuk melaksanakan hukum HAM dan Humaniter International. Terlebih lagi,  dalam operasi yang pernah dilakukan oleh TNI, terutama yang di dalam negeri, misalkan di Aceh dan Maluku TNI memiliki kecenderungan untuk mengabaikan hukum HAM dan Humaniter International.    

 

Kedua, dalam konteks rule of engagement, negara pengirim pasukan harus menunjukkan sikap impartialitas (tidak berpihak) dan persetujuan kedua belah pihak yang bertikai.

 

Aspek impartialitas ini penting dan menjadi prinsip dasar dalam setiap usaha perdamaian baik yang dilakukan dalam kerangka kerja diplomatik, terlebih lagi dalam pengiriman pasukan  Penjaga perdamaian (peace keeping force).

 

Pernyataan Politik

Namun demikian, aspek  impartialitas ini, dalam konteks TNI menurut Rafendy sulit dipertanggung jawabkan. Ini bisa dilihat dengan adanya dinamika politik yang berkembang dalam menyikapi agresi Israel dengan pendekatan sektarian dan pernyataan politik yang memiliki kecenderungan sama.

 

Dinamika dan pernyataan politik beberapa pejabat publik maupun tokoh-tokoh nasional yang memilki kecenderungan sektarian akan mempengaruhi profesionalitas TNI dan berpotensi besar menyeret TNI dalam keperpihakan terhadap salah satu pihak. Selain itu, akan merusak kerja TNI  dalam menjalankan tugas sebagai penjaga perdamaian.

 

Kondisi ini pula yang dilihat  oleh pihak Israel, sehingga Israel tidak memberikan persetujuan pengiriman TNI menjadi bagian dari pasukan penjaga perdamaian. Dikutip dari pemberitaan media, Israel memang menolak keikutsertaan Indonesia dan Malaysia dalam pasukan perdamaian. Namun alasannya bukan karena indikasi keberpihakan Indonesia maupun Malaysia, namun lebih pada alasan diplomatik. Yakni Indonesia dan Malaysia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel.

 

Pernyataan politik yang cenderung berpihak ini menurut Rafendy tidak saja muncul dari tokoh kelompok radikal. Bahkan yang moderat seperti Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin pun ia kategorikan berpihak.

 

Bagaimana sikap politik pemerintah dapat dilihat dari pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Soedarsono. Menurut Menhan, pemerintah akan tegas menolak jika ditugaskan melucuti senjata pasukan Hizbullah, dan hanya bertugas bersama tentara Lebanon untuk menjaga tidak ada personel bersenjata di wilayah tersebut. Kecuali tentara Lebanon dan Unifil. Menurut Menhan sikap itu didasari resolusi PBB nomor 1701.   

 

Batalkan

Ia menambahkan, posisi yang berpihak akan memberikan potensi besar pada TNI untuk melakukan pelanggaran dan kejahatan yang diatur dalam hukum HAM dan Humaniter International. Kondisi ini hanya mempermalukan TNI dan bangsa Indonesia sendiri. Misalnya saja, kalau ada pelanggaran dari Hizbulah TNI tutup mata atau pura-pura 'gak lihat. Sebaliknya kalau dilakukan Israel dihantam habis, kata Rafendy mencontohkan.

 

Oleh karenanya, Rafendy meminta agar TNI bisa menunjukkan sikap imparsialitasnya. Jika tidak, Rafendy meminta agar pengiriman TNI ke Lebanon dibatalkan. Selain itu, dirinya meminta adanya pernyataan dari pimpinan TNI untuk tunduk pada aturan HAM dan Humaniter Internasional.

 

Sayangnya, petinggi TNI menurut Rafendy sampai saat ini tidak pernah membuat pernyataan seperti yang ia kehendaki. Mereka hanya ngomong kami akan berangkat. Itu saja, sesalnya.

 

Selain itu, Rafendy juga menyesalkan Departemen Luar Negeri (Deplu) yang menurutnya kurang berperan. Padahal, dalam sebuah kegiatan internasional, komando diplomasi harus tetap dipegang Deplu. Saya takut TNI akan berjalan sendiri tanpa koordinasi dengan Deplu, imbuhnya.  

 

Pada kesempatan berbeda, Guru Besar Hukum Internasional FH UI Hikmahanto Juwana mengatakan penolakan Israel atas kehadiran pasukan perdamaian di Libanon, termasuk dari Indonesia, tidak perlu terjadi. Sebab, pasukan itu berada di bawah otoritas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). "Sudah ada aturan dalam Piagam PBB tentang batasan kewenangan, sementara teknis di lapangan sudah diatur lewat Resolusi Dewan Keamanan," ujarnya.

 

Indonesia telah berkomitmen mengirimkan 1000 Tentara Nasional Indonesia (TNI). 1000 TNI itu bergabung dengan pasukan perdamaian PBB, United Nation Interim Force in Libanon (Unifil) pimpinan Prancis.

 

Namun demikian, pemerhati permasalahan hak asasi manusia di Indonesia mewanti-wanti agar tentara perdamaian dari Indonesia itu tunduk pada prinsip HAM Internasional dan tidak berpihak kepada pihak tertentu. Demikian disampaikan Rafendy Djamin, Koordinator Human Right Working Group (HRWG). Jika tidak disadari akan kontra produktif dan hanya merugikan pihak TNI saja. Apalagi dalam konteks Indonesia , TNI belum terbiasa dengan berbagai instrumen HAM, ujar Rafendy.

 

Menurut Rafendy, beberapa aturan prinsip international dan rule of engagement yang harus ditaati oleh negara pengirim pasukan (Indonesia) itu misalnya, Pertama, TNI harus tunduk  kepada instrumen hukum HAM dan hukum Humaniter International. Hukum HAM International dan hukum humaniter memungkinkan adanya pertanggung jawaban individu dan komando dalam menegakkan setiap pelanggaran dan kejahatan yang terjadi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: