Lagi, Permohonan Uji Materiil UU Advokat Kandas di Tangan MK
Utama

Lagi, Permohonan Uji Materiil UU Advokat Kandas di Tangan MK

Walaupun dalam putusannya menyatakan menolak, Ketua MK mengakui UU Advokat memang mengandung banyak permasalahan, hal mana ditandai dengan seringnya UU tersebut diuji di MK.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
Lagi, Permohonan Uji Materiil UU Advokat Kandas di Tangan MK
Hukumonline

  

Kekalahan pemohon dalam perkara ini semakin telak karena majelis tidak hanya menolak segala dalil mereka, tetapi juga mematahkan pendapat ahli yang diajukan. Secara khusus majelis mengomentari pendapat ahli perundang-undangan Maria Farida Indrati tentang penggunaan nama ‘Organisasi Advokat'. Majelis berpendapat penamaan wadah tunggal profesi advokat tidak harus menggunakan istilah Organisasi Advokat.

 

Menurut majelis, dalam memahami persoalan ini seyogyanya tidak semata menggunakan pendekatan gramatikal sebagaimana didalilkan Maria. Pendekatan lain seperti sejarah perumusan yang dapat menggambarkan maksud dari pembentuk UU Advokat juga harus dijadikan pertimbangan. Penulisan ‘Organisasi Advokat' dengan huruf O dan A kapital tersebut dimaksudkan bukan sebagai nama diri tertentu, melainkan sebagai kata benda biasa yang menunjukkan makna umum, jelas majelis.

 

Tidak memenuhi legal standing

Nasib para pemohon perkara No. 014 dapat dikatakan lebih baik dibandingkan pemohon perkara No. 015. Pasalnya, untuk perkara yang disebut terakhir ini, majelis sama sekali tidak mempertimbangkan pokok perkara karena pemohon dinilai tidak memiliki legal standing. Oleh karena itu, majelis menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima atau niet ontvankelijk verklaard.

 

Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat walaupun pemohon memenuhi kualifikasi sebagai pemohon dan memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, namun hal tersebut tidak ada kaitannya dengan berlakunya Pasal 32 ayat (3) UU Advokat. Majelis juga menilai tidak ada kerugian hak konstitusional pemohon baik secara aktual maupun potensial, dan seandainya pun permohonan dikabulkan tidak akan berpengaruh terhadap pemohon.

 

Saya sudah prediksi putusannya akan seperti itu, ujar Fatahilah dengan pasrah ketika ditemui seusai persidangan. Ekspresi pesimis yang dilontarkan advokat muda ini sebenarnya sudah terlihat ketika hukumonline menemuinya sebelum persidangan dimulai.

 

Rekaman sejarah

Tidak dapat dipungkiri, putusan ini jelas menjadi sinyal positif bagi kelangsungan ‘nafas' PERADI karena dua permohonan yang ditolak majelis secara terang-terangan diarahkan pada organisasi berdiri pada tahun 2005 ini. Denny Kailimang, salah seorang Ketua PERADI, yang menghadiri persidangan menyatakan senang atas putusan tersebut. Denny menilai putusan ini telah menjadi rekaman sejarah bagi dunia advokat Indonesia.

 

Namun demikian, Denny mengatakan ditolaknya permohonan uji materiil UU Advokat tidak berarti mengenyamping fakta bahwa UU Advokat memang mengandung banyak kelemahan. Menurut Denny, kelemahan tersebut muncul karena UU Advokat dibuat dengan acuan kondisi dunia advokat saat itu sehingga seiring berjalannya waktu kebutuhan tersebut telah berubah. Untuk itu, perlu ada legislative review, tandasnya.

 

Pernyataan Denny sejalan dengan pernyataan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Seusai memimpin sidang, Jimly kepada para pihak mengatakan bertubi-tubinya pengajuan uji materiil terhadap UU Advokat menandakan UU ini memang bermasalah, baik itu dari segi isi maupun proses pembentukannya. Jadi, silahkan dijadikan bahan renungan untuk pelajaran apa yang perlu dilakukan termasuk konsolidasi internal agar UU yang baru nanti bisa menjadi solusi bagi perbaikan negara hukum ke depan, ujar Jimly yang juga ahli hukum tata negara.

 

Sekali lagi, Mahkamah Konstitusi (MK) mengkandas permohonan uji materiil terhadap UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Tidak tanggung-tanggung, majelis hakim konstitusi yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Jimly Asshiddiqie menolak dua permohonan sekaligus, No. 014/PUU-IV/2006 dan No. 015/PUU-IV/2006. Permohonan pertama diajukan Sudjono, Artono, dan Rongggur Hutagalung, sedangkan yang kedua diajukan oleh Fatahilah Hoed.

 

Untuk perkara No. 014, majelis menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya karena dalil-dalil yang diajukan tidak cukup beralasan. Sebagaimana telah diberitakan, pemohon mempersoalkan UU Advokat, diantaranya Pasal 1 angka 1 dan angka 4, Pasal 28 ayat (1) dan (3) serta Pasal 32 ayat (3) dan (4). Khusus untuk Pasal 32 ayat (3), ini adalah kedua kalinya pasal tersebut diuji di MK.

 

Sebelumnya, pasal yang mengatur tentang pelimpahan wewenang kepada delapan organisasi advokat untuk menjalankan tugas dan wewenang organisasi advokat itu, dipersoalkan ke MK oleh Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia (APHI). Atas permohonan tersebut, MK dalam putusannya yang dibacakan pada bulan Oktober 2004 menyatakan Pasal 32 ayat (3) tidak membatasi organisasi advokat hanya pada delapan organisasi yang tercantum dalam pasal tersebut. Delapan organisasi yang dimaksud adalah AAI, IKADIN, HAPI, IPHI, AKHI, HKHPM, APSI, dan SPI.

 

Pasal 32 ayat (3) tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya karena pasal tersebut telah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan telah terbentuknya PERADI sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat, jelas majelis.

 

Lebih lanjut, majelis mementahkan dalil pemohon yang menganggap keberadaan Pasal 32 ayat (3) bersama-sama dengan Pasal 33 memihak pada organisasi advokat tertentu. Majelis berpendapat kedua pasal tersebut tidak bermaksud memihak, melainkan mempertegas fakta hukum tentang eksistensi delapan organisasi advokat yang telah ada.  

Tags: