Pancasila, Solusi Ampuh Pembaharuan Hukum?
Berita

Pancasila, Solusi Ampuh Pembaharuan Hukum?

Di tengah ketidakpopuleran Pancasila pasca reformasi, begawan hukum malah menggadangnya sebagai solusi pembaharuan hukum. Bisakah?

Oleh:
CRI
Bacaan 2 Menit
Pancasila, Solusi Ampuh Pembaharuan Hukum?
Hukumonline

 

Sementara itu, Soerjanto Poespowardojo, Guru Besar Emeritus Filsafat Universitas Indonesia pada kesempatan serupa menjelaskan bahwa  Pancasila adalah belief system yang memiliki daya yang kuat untuk menggerakkan masyarakat. Secara sosio-kultural, Pancasila memiliki nilai kejuangan menuju kemerdekaan. Sehingga dengan kata lain pancasila memiliki paradigma kebebasan.

 

Lantas bagaimana kaitannya dengan ilmu hukum? Satjipto yang ditemui hukumonline di luar acara menegaskan bahwa saat ini sudah terjadi perubahan besar dan mendasar pada sebagian ilmu yang tadinya menggunakan metode klasik kepada metode yang modern. Termasuk di dalamnya ilmu hukum.

 

Satjipto menggambarkan bagaimana ilmu hukum yang menggunakan metode klasik sudah tidak lagi  adaptif terhadap perkembangan zaman, termasuk peradaban. Karena selama ini alam dan masyarakat hanya dipandang secara mekanis sepertti mesin. Ia mencontohkan bagaimana mahasiswa di fakultas hukum hanya diajarkan mata kuliah yang memberikan keterampilan teknis hukum. Sehingga nantinya lulusan fakultas hukum pun hanya terspesialisasi dan berkutat pada urusan ‘logika dan peraturan' saja. Studi ilmu hukum jangan lagi menjadi studi tentang skeleton hukum seperti undang-undang, prosedur dan sebagainya, jelasnya.

 

Saat ini, menurut Satjipto, sudah berkembang pemikiran tentang jurisprudence of law and society. Dalam pemikiran ini, ilmu hukum jangan hanya berhenti pada jurisprudence (teori hukum), melainkan harus dikembalikan lagi kepada masyarakat dan hukum itu sendiri. Untuk melihat sejauh mana ilmu hukum comply dengan masyarakat. Pemikiran ini sendiri diakui Satjipto merupakan hasil ramuan dari berbagai mazhab yang sudah ada sejak lama.

 

Lebih jauh, Soetjipto menjelaskan bahwa pemikiran jurisprudence of law and society tersebut diadopsi olehnya ke dalam konsep hukum progresif, yang pada intinya mendorong para aparat penegak hukum kita untuk tidak melulu berkutat pada ranah peraturan dan prosedur, melainkan harus merambah ranah masyarakat. Kalau  perlu, seperti ucapannya Bung Karno, ‘go to hell undang-undang', karena yang penting adalah keadilan.

 

Dalam kaitannya dengan Pancasila, Satjipto menyatakan ilmu hukum harus berpijak kepada nilai-nilai, pandangan hidup dan tradisi masyarakat yang terkandung dalam pancasila. Jadi kalau kita bicara ilmu hukum secara holistik. Maka kita harus memasukkan unsur ‘darah dan daging' kedalam ilmu hukum, dimana darah dan daging itu adalah nilai-nilai dan pandangan hidup masyarakat. Sebagai contoh konkret, Satjipto menggambarkan dalam proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan, pola pikir pembuat undang-undang jangan hanya terjebak di Senayan saja. Melainkan juga harus melingkupi seluruh wilayah Indonesia. Sehingga produk hukum yang dihasilkannya nanti menjadi efektif, ujar pakar bidang sosiologi hukum itu.

 

Sementara itu Soerjatno berpendapat bahwa dengan kandungan paradigma kebebasan yang terdapat pada pancasila, maka jika hukum senantiasa mengacu kepada pancasila, maka hukum yang terbentuk akan memiliki warna emansipatoris. Hukum akan membebaskan manusia dari keterbatasan dan belenggu, tegas Soerjatno.

 

Menjadi rahasia umum bahwa pasca reformasi, Pancasila –yang dijadikan dasar negara- kehilangan pamor dan kesaktian. Bahkan Pancasila harus merelakan diri kehilangan nama dalam mata pelajaran yang diajarkan di sekolah formal. Wajar saja. Pancasila sering diidentikkan dengan Orde Baru karena dulu sering dijadikan tameng untuk menekan kaum oposan.

 

Saat ini, di tengah ketidakpopulerannya, begawan hukum malah menggadang Pancasila sebagai solusi pembaharuan hukum. Para begawan hukum tersebut berkumpul dalam Seminar Nasional bertajuk Nilai-nilai Pancasila sebagai Nilai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia yang diselenggarakan Universitas Pancasila, Kamis (7/12) di Jakarta.

 

Satjipto Rahardjo, Guru Besar Universitas Diponegoro menyatakan Pancasila adalah realitas sosial kehidupan masyarakat Indonesia. Adanya anggapan yang menyatakan bahwa Pancasila hanyalah akal-akalan yang dibuat oleh Presiden Soekarno, dibantah secara tegas oleh Satjipto. Sejak awal Soekarno mengatakan bahwa Pancasila adalah merupakan hasil penggalian nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

 

Pendapat Satjipto diamini oleh B. Arief Sidharta yang menyebutkan  bahwa berdasarkan hasil studinya dapat disimpulkan Pancasila memang berasal dari kepribadian bangsa. Bukan hanya akal-akalan bentukan Soekarno, ujarnya.

 

Guru Besar Universitas Parahyangan Bandung itu menyatakan hal tersebut karena berdasarkan studi hukum adat yang telah dilakukannya atas berbagai macam hukum adat yang hidup di Indonesia, semuanya akan bermuara pada dua asas yakni, kepercayaan pada dunia supranatural (magis-religius) dan karakter komunal. Kita dapat melihat dua asas hukum adat tersebut masuk menjadi bagian dalam Pancasila, tandasnya.

Tags: