Bank Kecil Takut Merger Karena Dibebani Pajak
Berita

Bank Kecil Takut Merger Karena Dibebani Pajak

Untuk memenuhi persyaratan modal minimum Rp 80 miliar, bank-bank kecil lebih memilih diakuisisi tinimbang merger. Masalah pajak menjadi alasan utama mereka

Oleh:
CRM
Bacaan 2 Menit
Bank Kecil Takut Merger Karena Dibebani Pajak
Hukumonline

 

Karena itu, Muliaman menyarankan kepada pemilik bank beraset kecil untuk segera melakukan merger. Upaya ini merupakan salah satu upaya untuk memperkuat kinerja bank tersebut sebelum dijual kepada pihak lain. Merger adalah solusi yang paling tepat bagi bank yang bermodal kurang dari Rp 80 miliar untuk memenuhi batas minimum dari BI, ujarnya.

 

Upaya lainnya bisa dilakukan dengan langkah pertumbuhan organik. Atau dengan mengundang investor agar mau menyuntik modal. Namun investor itu harus memiliki track record yang baik, ujar mantan Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI

 

Untuk tahun ini, Muliaman memperkirakan tidak akan terjadi proses merger. Justru yang akan banyak dilakukan adalah proses akuisisi sebuah bank. Meski demkian, ia memberi catatan bahwa tidak menutup kemungkinan proses merger bisa terjadi pada tahun-tahun mendatang. Dia beralasan bahwa akuisisi yang banyak terjadi saat ini bisa saja ujung-ujungnya akan menuju merger.

 

Sementara itu Deputi Gubernur Senior BI Miranda S Goeltom mengatakan kurangnya minat bank-bank yang modalnya minim melakukan merger, disebabkan karena pembebanan pajak. Merger dibebani pajak karena dianggap sebagai proses jual-beli, ujar Miranda.

 

Padahal menurut Miranda, di negara lain pengenaan pajak merger tidak lumrah karena proses merger bukan termasuk jual beli. Melainkan hanya sebuah proses pengalihan kepemilikan. Untuk itu, menurut Miranda, BI akan membahas masalah pajak merger ini dengan Departemen Keuangan (Depkeu) untuk mencari jalan keluarnya. Salah satu yang mereka masih minta adalah pajak. Saya katakan bahwa merger itu tidak nambah apa-apa cuma pengalihan kepemilikan, lalu tiba-tiba kena transaction tax, padahal itu no transaction, tegas Miranda.

 

Miranda menegaskan bahwa BI lebih mendorong bank-bank yang modalnya minim untuk melakukan merger terlebih dahulu ketimbang dijual ke investor asing. Memang kami mengharapkan seperti itu, lebih baik bergabung dulu sampai kuat atau diakuisisi menjadi satu bank, kemudian mereka mau mencari investor yang baru lagi silahkan, tambah Miranda.

 

Merger biasanya juga akan menambah nilai bank bersangkutan sehingga saat dijual harganya relatif lebih tinggi. Menurut Miranda, berdasarkan laporan yang disampaikan kepada BI, ada tiga sampai empat bank yang merencanakan merger, antara lain Bank Sri Partha dan Bank Harfa. Kondisi ini menunjukkan bahwa opsi merger untuk meningkatkan permodalan ternyata juga diminati bank-bank kecil. Hal ini diungkapkan Miranda lantaran banyaknya bank-bank kecil yang diakuisisi oleh investor asing.

 

Beberapa praktisi perbankan menilai dominasi kepemilikan asing pada perbankan Indonesia sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Menurut mereka BI sebaiknya mulai mempertimbangkan berbagai langkah pembatasan, misalnya, dengan pengetatan hak-hak pemegang saham pengendali, pengetatan bankir asing, dan konsistensi pelaksanaan kebijakan kepemilikan tunggal untuk bank-bank milik asing. Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juga perlu direvisi dengan menambahkan aturan pembatasan kepemilikan asing, maksimal 25 persen atau 30 persen.

 

Sejauh ini tercatat ada beberapa bank yang segera diakuisisi. Antara lain Bank ANK dan Bank Swadesi yang rencananya akan diambil alih oleh Bank Commonwealth dan Bank of India. Begitu juga dengan para pemegang saham Bank Haga dan Bank Hagakita yang telah menyepakati diakuisisi oleh Rabobank International, salah satu bank koperasi asal negeri Belanda.

 

Peta perbankan Indonesia 

 

Aset Bank

Jumlah

> Rp 50 triliun

5

 

43

Rp 1 – 10 triliun

58

Rp 10 – 50 triliun

24

Jenis Bank

 

Persero

5

Swasta devisa

35

Swasta non devisa

36

Asing

11

Campuran

17

BPD

26

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

 

Fenomena seperti ini kata Muliaman tidak perlu dikhawatirkan. Karena menurutnya,  saat investor asing itu mengajukan izin, bank sentral selalu menanyakan hal-hal yang menyangkut tujuan dan komitmen mereka dalam mengembangkan industri perbankan nasional. Investor asing juga harus siap menerima risiko jika melanggar komitmen ungkap Muliaman.

 

Insentif Merger

Jauh sebelumnya, isu yang beredar di lapangan menyebutkan sejumlah insentif akan diberikan BI kepada bank-bank berkurang Rp 80 miliar dalam langkah merger dengan bank lain. Adapun insentif yang dimaksud seperti pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) akan dibebaskan BI dalam proses akuisisi antar bank.

 

Selanjutnya, kemudahan perizinan juga akan diberikan dalam pendirian cabang baru oleh bank hasil merger tersebut. Begitupula izin pengeluaran produk-produk oleh bank hasil meger tidak akan dipersulit BI. Namun bentuk produk itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan bank sentral.

 

Terakhir, BI akan menawarkan keringanan dalam penerapan giro wajib minimum (GWM) kepada bank hasil merger. Begitupula ketentuan net open position (NOP) akan diterapkan lebih fleksibel kepada mereka.

Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Bank Indonesia (BI) mensyaratkan pemenuhan modal minimum Rp 80 miliar pada 2007. Terkait dengan hal itu, BI memberi batas waktu hingga akhir 2007 bagi bank-bank yang bermodal di bawah Rp 80 miliar untuk segera merger.

 

Ketentuan API juga mensyaratkan, bagi bank yang modalnya di bawah Rp 100 miliar, batas waktu untuk merger ditetapkan BI sebelum akhir 2010. Data terakhir BI menyebutkan sebanyak 41 bank dari 131 bank, tercatat masih memiliki modal di bawah Rp 100 miliar miliar. Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, BI akan memberikan status bank dengan kegiatan terbatas bagi bank-bank tersebut.

 

Demikian disampaikan Muliaman D Hadad yang baru saja ditetapkan oleh DPR menjadi Deputi Gubernur BI di sela-sela Lokakarya Arsitektur Sistem Finansial Indonesia di Jakarta, Kamis (14/12).

 

Ia menegaskan, jika sebuah bank umum memperoleh status bank dengan kegiatan terbatas, maka predikat itu akan disandang bank tersebut selamanya. Wilayah operasionalnya pun dibatasi, hanya di provinsi saja dan tidak diperbolehkan memiliki kantor cabang di provinsi lain.

 

Selain itu, lanjut Muliaman kredit yang disalurkan oleh bank dengan kegiatan terbatas, maksimum hanya Rp 500 juta per nasabah. Begitu juga dengan jumlah dana pihak ketiga yang dihimpun oleh bank yang bersangkutan, dimana  tidak boleh melebihi sepuluh kali modal inti yang dimiliki. Jika status banknya adalah bank devisa, maka status devisa itu akan dicabut, tegasnya.

Tags: