Paradoks Dunia Pers
Catatan Akhir Tahun

Paradoks Dunia Pers

Di tengah pesatnya perkembangan industri pers, kebebasan pers justru terancam. Kekerasan terhadap wartawan masih saja terjadi. Kesejahteraan wartawan masih jauh dari mencukupi. Sebuah paradoks.

Oleh:
CRY
Bacaan 2 Menit
Paradoks Dunia Pers
Hukumonline

 

Namun, ancaman terhadap kebebasan pers makin meningkat. Menurut Leo, ancaman tersebut justru datang dari pemerintah. Ancaman itu terlihat dari rencana Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) yang akan merevisi UU Pers.

 

Tak hanya itu, Menkominfo juga hendak mengatur media penyiaran. Padahal, Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pemerintah tidak boleh lagi melakukan intervensi. Ini kan mau kembali ke zaman Orde Baru, ujar Leo dengan nada tinggi.

 

Di sisi lain, Departemen Pertahanan juga sedang getol menggolkan RUU Rahasia Negara untuk segera diundangkan. Setiap informasi dari lembaga Negara dianggap rahasia. Ini akan menghambat kebebasan pers karena akses publik terhambat, ujar Leo.

 

Bahkan, Departemen Hukum dan HAM telah menyelesaikan draft Revisi KUHP. Dalam revisi tersebut ada 61 pasal krusial yang bisa mengirim seorang jurnalis ke penjara. Jumlah pasal itu meningkat dari KUHP yang ada selama ini, yang hanya 37 pasal. Wartawan akan terancam melakukan penghinaan, pencemaran nama baik, fitnah, atau menyebarkan kebencian. Wartawan bisa dijerat penjara hingga 7 tahun, sergah Leo.

 

Senada dengan Leo, Sekretaris Umum Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan mengutarakan, Ancaman muncul dari aspek perundang-undangan. Kondisi ini tak jauh beda dari 2006. Selain perundangan tersebut di atas, Manan menambahkan UU Teroris dan UU Kesusilaan akan menghambat kebebasan pers.

 

Kekerasan Fisik

Baik Manan maupun Leo berpendapat setali tiga uang, wartawan masih rentan terhadap tindak kekerasan. Dewan Pers mencatat sejak tahun 1999 terjadi 400 lebih kasus kekerasan terhadap wartawan.

 

AJI mencatat selama 2006, terdapat 53 kasus kekerasan yang menimpa wartawan. DKI Jakarta tercatat sebagai tempat yang paling tidak aman (16 kasus), disusul Jawa Timur (7 kasus) dan Jawa Barat (6 kasus). AJI juga mencatat bahwa pelaku kekerasan bergeser dari aparat negara ke massa.

 

Kategori kekerasan

Jumlah

Pembunuhan

1

Penjara

1

Serangan

28

Penculikan

1

Sensor

4

Pengusiran

2

Pelecehan

3

Ancaman

6

Tuntutan hukum

7

Jumlah

53

Sumber: AJI Indonesia

 

Pelaku

Fisik

Non Fisik

Jumlah

Aparat Pemerintah

2

5

7

Massa

4

11

15

TNI

2

0

2

Preman

2

0

2

Polisi

4

3

7

Ofisial Sepakbola

1

0

1

Debt Collector

1

0

1

PKL

0

1

1

Satpam

2

1

3

Orang tak Dikenal

2

1

3

Advokat

0

1

1

Individu

0

2

2

Parpol

0

1

1

Ormas

0

1

1

Jaksa

0

2

2

Pemilik Media

1

0

1

Aktivis Mahasiswa

1

0

1

Aktivis LSM

1

0

1

Satpol PP

1

0

1

Total

24

29

53

Sumber: AJI Indonesia

 

Leo mengeluhkan kinerja pengadilan yang masih buruk. Hanya satu dua kasus yang terselesaikan, paparnya. Sementara Manan berpendapat proses peradilan masih tebang pilih. Misalnya kasus pembunuhan Herlyanto, wartawan dari Probolinggo. Pelaku pembunuhan tertangkap, namun otaknya masih tak tersentuh, ujar Manan.

 

Hal ini sama dengan kasus pembunuhan wartawan Bernas Udin yang terjadi pada 16 Agustus 1996 silam. Sampai kini belum jelas siapa pembunuhnya karena dekat dengan penguasa atau Bupati Bantul, sambung Manan.

 

Meningkatnya kekerasan oleh masyarakat sebenarnya bisa ditekan dengan menyadari aturan main pers. Kami menghadapi sekitar 950 pengaduan dari para pejabat maupun masyarakat terhadap pemberitaan pers sejak enam tahun lalu, ujar Leo.

 

Bambang Wisudo, wartawan senior Harian Kompas yang dipecat, mengingatkan sinergi antara wartawan dan masyarakat. Tegaknya demokrasi karena hubungan erat wartawan dengan masyarakat. Jika masyarakat memusuhi media, demokrasi akan ambruk. Jika media tak bekerja sama dengan masyarakat, beritanya pun tak dibutuhkan oleh khalayak, tuturnya.

 

Bambang menggarisbawahi soal kesejahteraan wartawan. Yang belum dinikmati wartawan adalah kesejahteraan yang layak. AJI Jakarta mengeluarkan upah layak wartawan Rp 3,3 juta sebulan. Namun, media ternama pun hanya mentok memberi gaji Rp 2,5 juta per bulan. Lebih dari 80 persen media yang belum memberi upah layak wartawannya.

 

Bambang juga mengingatkan, kasus pemecatannya bisa menjadi indikasi meningkatnya arogansi pihak manajemen media. Situasi akan suram jika kasus ini dibiarkan begitu saja. Akan jadi preseden buruk kalau kasus saya tidak dituntaskan, ujarnya.

Industri pers Indonesia makin subur. Menurut catatan Dewan Pers, pada 2006, jumlah media cetak mencapai 829 buah. Stasiun radio berjumlah 2.000-an, dan media televisi mencapai angka 60-an stasiun. Media daerah, terutama di luar Jawa meningkat pesat, tutur anggota Dewan Pers Leo Batubara, dalam sambungan telepon, Rabu (3/1).

 

Dari total 829 media cetak tersebut, 30 persen berkategori sehat bisnis. Kategori ini diambil dari jumlah iklan dan banyaknya pelanggan, sambung Leo. Media sehat bisnis itu pula yang berkategori berkualitas. Leo mengisyaratkan peran media mencerdaskan masyarakat makin terasa, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Ini bisa dilihat dari jumlah tiras surat kabar yang meningkat. Dari 4,9 juta setahun menjadi 7,2 juta eksemplar pada 2006.

 

Namun, raport biru industri pers ini tak dibarengi prestasi manis kebebasan pers. Ini merupakan paradoks. Banyak lembaga survei luar negeri yang memelorotkan indeks kebebasan pers di Indonesia, seloroh Leo. Leo menambahkan, era Presiden Habibie adalah awal kebebasan pers. Era Gus Dur makin baik. Sayang, masa Megawati disusul SBY malah makin memburuk, tukas Leo.

 

Bahkan, dalam rilisnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memaparkan bahwa kebebasan pers di Indonesia berada di urutan ke-103 dari 168 negara. Prestasi ini diukur dalam indeks kebebasan pers menurut Reporter Sans Frontiers (RSF)—organisasi perlindungan wartawan yang berbasis di Perancis.

 

Ancaman dari Negara

Pada dasarnya, insan pers telah dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

 

Pasal 4

1.             Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

2.             Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

3.             Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hal mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

4.             Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Pasal 5

1.             Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

2.             Pers wajib melayani Hak Jawab.

3.             Pers wajib melayani Hak Koreksi.

Tags: