Lapindo dan Pemerintah Digugat Lagi
Berita

Lapindo dan Pemerintah Digugat Lagi

Kali giliran Walhi yang melayangkan gugatan. Berbeda dengan gugatan sebelumnya, fokus gugatan kali ini adalah pencemaran lingkungan. Strict liability didalilkan kembali.

Oleh:
CRI
Bacaan 2 Menit
Lapindo dan Pemerintah Digugat Lagi
Hukumonline

 

Sedangkan  dalam pokok perkara, Walhi menuntut agar seluruh tergugat dengan segala usaha dan kemampuan fisik maupun finansial, menghentikan semburan lumpur, memperbaiki sarana dan prasarana fisik, sosial dan kemasyarakatan serta menanggulangi kerusakan lingkungan hidup sebagaimana awalnya sebelum terjadi semburan lumpur.

 

Walhi juga menuntut agar pengadilan memerintahkan seluruh tergugat untuk meminta maaf secara tertulis kepada masyarakat korban dan seluruh masyarakat Indonesia, imbuh Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Nasional Walhi.

 

Dihubungi terpisah, kuasa hukum Lapindo Aji Wijaya menyatakan kliennya siap menempuh setiap proses hukum. Mungkin mereka (Walhi, YLBHI dan Koalisi, red) melihat adanya kesalahan dalam konstruksi gugatan yang terdahulu di PN Jakarta Pusat. Sehingga mereka mengajukan gugatan lagi dengan mendudukan Lapindo sebagai tergugatnya. turut Aji.

 

Chairil Syah, kuasa hukum Walhi membantahnya. Menurut dia, gugatan ini berbeda dengan gugatan Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Panas Sidoarjo yang dimotori oleh YLBHI di PN Jakarta Pusat beberapa waktu lalu. Menurut Chairil gugatan sebelumnya itu lebih mengedapankan perbuatan melawan hukum oleh Lapindo karena lalai dalam menangani dampak semburan lumpur yang mengakibatkan terlanggarnya hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) masyarakat korban.

 

Sementara pada gugatan Walhi di PN Jakarta Selatan, lebih dikedepankan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Peraturan perundang-undangan yang dilanggar, menurut Chairil, antara lain, UU No 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, PP No 27 Tahun 1999 tentang Amdal, serta Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 17 Tahun 2001 tentang Jenis-jenis Usaha Wajib Amdal.

 

Strict Liability

Chalid menegaskan Walhi meminta kepada pengadilan untuk menggunakan instrumen strict liability. Artinya kesalahan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas tidak perlu dibuktikan (oleh penggugat, red) selama memenuhi unsur-unsur yang dipersyaratkan dalam kaidah lingkungan hukum Indonesia, ujar Chalid.

 

Strict liability alias tanggung jawab mutlak memang diatur dalam Pasal 35 UU Lingkungan Hidup. Disebutkan perusahaan yang menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan harus bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkannya.

 

Menurut Chalid berdasarkan Pasal 38 UU Lingkungan Hidup Walhi memiliki kewenangan alias legal standing sebagai organisasi lingkungan hidup demi kepentingan pelestarian fungsi lingkungan  hidup. Karena tidak mungkin lingkungan dapat bertindak sebagai manusia yang dapat mengajukan gugatan, tegasnya.

 

Aji membenarkan adanya asas tanggung jawab mutlak itu. Memang benar. Tapi jangan dilupakan, kalau dalam hukum nasional kita juga dikenal asas kausalitas (hubungan sebab akibat, red), tangkis Aji. Sampai saat ini, tambah Aji, pendapat ahli masih terbelah mengenai hubungan sebab akibat antara tindakan eksploitasi Lapindo dengan semburan lumpur panas. Ada yang menyatakan Lapindo sebagai trigger. Ada yang menyatakan ini adalah murni bencana. Karenanya kita harus tunggu putusan pengadilan. Aji membantah tudingan Chairil bahwaIni bukan bencana alam. Ini adalah bencana yang diakibatkan oleh manusia, dalam hal ini Lapindo..

 

Kalau dasar yang mereka gunakan adalah hukum lingkungan, secara faktual dapat kita lihat bahwa Lapindo langsung memberikan ganti rugi kepada masyarakat, dan perjanjian ganti rugi dengan pemilik lahan, ungkap Aji.

 

Seharusnya, lanjut Aji jika berdasarkan hukum lingkungan, masalah selesai karena yang penting dalam hukum lingkungan adalah pemulihan dan pembayaran ganti rugi. Jadi saya tidak tahu lagi apa yang diinginkan Walhi, keluh Aji.

 

Sebaliknya Aji justru salut kepada Lapindo yang tidak begitu saja melepaskan tanggung jawabnya. Sejak semburan terjadi, Lapindo sudah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi semburan dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membayar ganti rugi kepada masyarakat, ujarnya. Ditambahkannya, pada Desember 2006 lalu para pemegang saham Lapindo menegaskan siap menanggung segala kerugian yang terjadi hingga Rp. 4,2 triliun. Mereka siap menanggung biaya itu, tanpa terlebih dahulu ada putusan pengadilan yang memerintahkannya,.

 

Di sisi lain, Aji menyesalkan pemerintah yang terkesan melepaskan seluruh tanggung jawabnya kepada Lapindo. Padahal jika ditilik dalam asas hukum yang berlaku di negara manapun, termasuk UU Migas kita, seharusnya pemerintah melalui inspektur tambang terlebih dahulu yang berusaha untuk menangani kejadian seperti ini. Baru kemudian menagihnya kepada perusahaan swasta yang bertanggung jawab, tandas Aji.

 

Pasal 35 Ayat (1) selain diatur mengenai tanggung jawab mutlak perusahaan maupun penanggung jawabnya, disinggung juga mengenai kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika saat terjadi pencemaran dan atau perusakan lingkungan.

 

Kerusakan lingkungan kian meluas

Chalid Muhammad menegaskan, gugatan diajukan lantaran penyelesaian lumpur panas Lapindo tidak pernah menyentuh kepentingan lingkungan dan tidak menunjuk pihak yang mesti bertanggung jawab. Sampai 9 bulan lumpur menyembur, papar Chalid, telah timbul kerusakan lingkungan yang amat dahsyat. Rusaknya fungsi ekologis di kawasan yang terkena dampak semburan lumpur karena jumlah lumpur yang begitu banyak telah merubah bentang alam, fungsi sungai bahkan fungsi ekosistem setempat, ujar Chalid.

 

Selain itu, terbenamnya beberapa desa di kecamatan/kelurahan Porong, Jabon dan Tanggul Angin oleh lumpur telah mengakibatkan sebanyak lebih dari 8.200 jiwa warga harus dievakuasi dari rumahnya masing-masing. Semburan lumpur yang kian meluas sampat saat ini telah memporakporandakan lahan perkebunan tebu seluas 25,61 Ha di Renokenongo, Jatirejo dan Kedung Cangkring serta lahan pertanian seluas 172,39 Ha di Siring, Renokenongo dan beberapa desa lainnya.

 

Lumpur Lapindo tidak hanya berdampak pada kehidupan masyarakat di sekitar lokasi semburan. Berbagai sarana dan prasarana infrastruktur mulai sekolah, perkantoran, pabrik, tempat ibadah, jaringan listrik, telepon, gas, air bersih, jalan tol hingga rel kereta api yang menghubungkan Jakarta, Sidoarjo, Malang dan Surabaya rusak dan terhambat akibat terjangan lumpur panas.

 

Perusakan lingkungan hidup ini dipastikan akan terus berlangsung, membesar dan meluas, karena hingga saat ini semburan (lumpur panas) belum bisa dihentikan, sergah Chalid.

 

Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics, beberapa waktu lalu bahkan menyitir pendapat ahli geologi asal Jepang kemungkinan semburan Lapindo baru bisa berhenti dengan sendirinya dalam 50 tahun ke depan. Sehingga total potensi kerugian diperkirakan mencapai 756 trilyun rupiah, ucap Elfian Effendi saat itu.

Ada pemandangan berbeda terjadi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Senin kemarin (12/1). Tiga puluhan orang berkerumun, sementara beberapa pemuda bertelanjang dada berlumur lumpur di sekujur tubuhnya. Jangan salah, mereka bukanlah korban banjir yang sedang mengungsi. Melainkan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang sedang melangsungkan aksi sementara koleganya sedang mendaftarkan gugatan sehubungan lumpur panas di Sidoardjo.

 

Gugatan beregister 284/Pdt.G/2007/PN Jaksel itu, menyeret 12 pihak sebagai tergugat. Enam tergugat pertama adalah pihak swasta PT Lapindo Brantas Inc (Lapindo), PT Energi Mega Persada Tbk, Kalila Energy Ltd, Pan Asia Entreprise, PT Medco Energy Tbk dan Santos Australia Ltd.

 

Sementara 6 tergugat berikutnya adalah pihak pemerintah, berturut-turut Presiden Republik Indonesia, Menteri Energi Sumber Daya Manusia, BP Migas, Meneg Lingkungan Hidup, Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Bupati Kabupaten Sidoarjo.

 

Dalam gugatan Walhi menuntut pengadilan untuk segera memerintahkan Menteri ESDM memanggil seluruh tergugat untuk segera mengalokasikan anggaran dan sumber daya untuk menghentikan semburan lumpur dan tidak mengalihkan dan menjaminkan aset-asetnya.

Tags: