RUU Badan Hukum Pendidikan Harus Perhatikan Empat Aspek
Berita

RUU Badan Hukum Pendidikan Harus Perhatikan Empat Aspek

Pengelola yayasan pendidikan resah dan mengkhawatirkan akibat perubahan status yayasan menjadi Badan Hukum Pendidikan.

Oleh:
M-1/M-3/M-5
Bacaan 2 Menit
RUU Badan Hukum Pendidikan Harus Perhatikan Empat Aspek
Hukumonline

 

Kedua, aspek filosofis, yakni cita-cita untuk membangun  sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa. Ketiga, aspek pengaturan mengenai badan hukum pendidikan dalam undang-undang dimaksud haruslah merupakan implementasi tanggung jawab negara. Keempat, aspek aspirasi masyarakat harus mendapat perhatian dalam pembentukan undang-undang BHP agar tidak menimbulkan kekacauan dan permasalahan baru dunia pendidikan.

 

Mau tidak mau, Pemerintah dan DPR harus memperhatikan keempat hal itu mengingat putusan Mahkamah bersifat final. Jika tidak, sangat mungkin kelak UU BHP dimohonkan uji oleh para pengelola yayasan pendidikan. Mereka tak menginginkan penyelenggaraan pendidikan oleh badan hukum yayasan dihapuskan. Seperti kata Hasan Basri Durin. Walaupun tidak dapat diterima, sasaran kami tercapai, yakni berusaha mengingatkan agar dalam pembuatan RUU BHP tidak menimbulkan kerugian dan mematikan yayasan, ujar Ketua Dewan Penasihat ABPPTSI itu.

 

Ketua Pengurus Harian YARSI, yang membawahi antara lain Universitas Yarsi, Jurnalis Udin mengatakan tak mempersoalkan seluruh draft RUU BHP tersebut. Keberatan pengelola yayasan pendidikan lebih pada ada tidaknya opsi bagi yayasan untuk tetap mengelola pendidikan secara langsung. Yang kami persoalkan adalah hak-hak dari yayasan yang tidak boleh mengelola langsung, ujarnya kepada hukumonline.

 

Perubahan status menjadi badan hukum pendidikan (BHP) itu memang tertuang dalam pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas: Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Ketentuan mengenai BHP lebih lanjut akan diatur dengan undang-undang.

 

Kalangan pengelola yayasan yang tergabung dalam Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) sudah lama mengungkapkan rasa khawatir atas pasal ini. Bersama 15 yayasan pendidikan, mereka mempersoalkan pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Berdalih hak konstitusional mereka dilanggar, para pengurus yayasan minta Mahkamah ‘menganulir' perubahan status yayasan menjadi BHP yang notabene akan masuk ke dalam RUU BHP.

 

Dalam putusannya pada 21 Februari lalu, Mahkamah menyatakan permohonan ABPPTSI dan 15 yayasan niet ontvankelijk verklaard atau tidak dapat diterima. Mahkamah berpendapat bahwa kerugian konstitusional para pemohon belum terbukti berhubung Undang-Undang yang dimaksudkan pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas belum ada. DPR sendiri mengklaim belum ada naskah RUU BHP yang masuk. Yang ada ialah draft usulan Pemerintah yang sedang disosialisasikan. Draft itulah yang dijadikan salah satu bukti di persidangan. Berdasarkan catatan hukumonline, draft yang disusun Pemerintah setidaknya sudah tiga kali mengalami perubahan, yaitu versi 28 Februari 2006, versi Maret 2006, dan versi April 2006.

 

Meskipun demikian, Mahkamah mengakui legal standing pemohon. Menurut Mahkamah, pasal 53 ayat (1) baru merupakan perintah, belum mengatur substansi mengenai BHP. Oleh karena itu kekhawatiran kalangan yayasan pendidikan harus direspons Pemerintah. Keresahan masyarakat luas terutama di kalangan yayasan penyelenggara pendidikan perlu dipertimbangkan kembali dengan saksama oleh Pemerintah, papar majelis dalam pertimbangannya.

 

Dalam kaitan itu, Mahkamah menyatakan Pemerintah perlu memperhatikan empat aspek agar penyusunan RUU yang diperintahkan pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas sesuai dengan UUD 1945.  Pertama, aspek fungsi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kewajiban negara dan Pemerintah dalam bidang pendidikan, serta hak dan kewajiban warga negara dalam bidang pendidikan.

Tags: