MA Tolak Permohonan Uji Materiil Perda Pelacuran Tangerang
Berita

MA Tolak Permohonan Uji Materiil Perda Pelacuran Tangerang

Mahkamah Agung menganggap Perda tersebut merupakan implementasi politik masyarakat Tangerang.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
MA Tolak Permohonan Uji Materiil Perda Pelacuran Tangerang
Hukumonline

 

MA juga menyatakan para pemohon memiliki legal standing (kedudukan hukum) karena para pemohon memang memiliki kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap keberadaan Perda ini.

 

MA tak sependapat dengan pemohon yang menyebut Perda ini bertentangan dengan KUHP, UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU No.39/1999 tentang HAM, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Konvensi Hak Sipil, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

 

Pasal Krusial

Pasal 4 Perda ini menjadi pasal yang paling disorot. Menurut pemohon, pasal ini terlalu multitafsir, padahal rumusan undang-undang harus jelas. Selain itu pasal ini bertentangan dengan KUHAP.

 

Perda Tangerang No. 8/2005

Pasal 4

 

(1) Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di Daerah.


(2) Siapapun dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat-tempat yang kelihatan oleh umum.

 

 

Pasal 53 KUHAP menyebutkan, percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana apabila maksud melakukan kejahatan itu sudah nyata dengan adanya permulaan dan perbuatan itu tidak diselesaikan hanya karena hal yang tidak bergantung pada kehendak pelaku sendiri.

 

Bagi pemohon, Perda ini melawan prinsip-prinsip KUHAP karena nyatanya razia yang dilakukan Pemkot Tangerang berupa penangkapan dan penahanan hanya didasarkan pada anggapan atau persangkaan. Tetapi pihak Pemda Tangerang menolak tudingan itu. Dalam keberatannya, kuasa hukum Walikota Tangerang mendalilkan, proses pembentukan Perda ini memakan waktu yang lama dan melibatkan banyak unsur. Lebih dari itu, Perda ini merupakan implementasi politik warga Tangerang. Keberatan inilah yang dikabulkan MA. Alhasil, Perda Pelarangan Pelacuran di Tangerang kini tetap diberlakukan.

 

Eksaminasi

Putusan MA ini dikecam Direktur LBH Jakarta Asfinawati yang juga tergabung dalam TAKDIR. Menurutnya, putusan ini menunjukkan kedangkalan cara berpikir hakim agung MA. Mereka melupakan sosiologi hukum dan terjebak pada positivisme hukum yang sempit, ucap Asfinawati dengan nada tinggi.

 

Asfinawati menyesalkan pertimbangan hukum majelis. Bagaimana mungkin produk hukum bisa terlepas dari produk politik? Keduanya selalu terkait, cetusnya. Lebih jauh, dia berharap MA mau berkaca pada Mahkamah Konstitusi yang selalu membuat pertimbangan hukum yang jelas dan rinci.

 

Minggu besok (15/4), para pemohon akan mengadakan pertemuan di Tangerang. Mereka akan mengeluarkan sikap resmi terkait putusan MA tersebut. Yang jelas kami nanti akan melakukan eksaminasi terhadap putusan ini, ungkap Asfinawati.

 

Pupus sudah harapan sebagian warga Tangerang yang menginginkan pembatalan Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahwa permohonan hak uji materiil terhadap perda tersebut harus ditolak.

 

Sesuai logika yang dipakai Pemerintah Kota Tangerang, MA menganggap Perda Anti Pelacuran itu merupakan implementasi politik masyarakat Tangerang. MA juga berpendirian Perda ini merupakan produk politik yang disusun lembaga eksekutif dan legislatif Kota Tangerang, sehingga secara formal juga sah adanya. Hal itu bukan termasuk materi yang bisa diujimateriilkan. Dengan demikian, permohonan tersebut harus ditolak dan pemohon harus membayar biaya perkara sejumlah Rp1 juta, kata juru bicara MA Djoko Sarwoko, Jumat (13/4), mengutip putusan majelis.

 

Putusan No. 16 P/Hum/2006 ini disepakati MA pada 1 Maret lalu, oleh majelis hakim yang terdiri dari Ahmad Sukardja (ketua), Imam Soebechi dan Marina Sidabutar. Majelis sepakat menolak permohonan hak uji materiil yang diajukan tiga warga Tangerang yaitu Lilis Mahmudah, Tuti Rachmawati, dan Hesti Prabowo.

 

Sebelumnya, pada 20 April tahun lalu, didampingi advokat publik dari Tim Advokasi Perda Diskriminatif (TAKDIR), ketiga warga Tangerang tersebut mengajukan permohonan uji materiil kepada MA. Mereka menyatakan Perda ini bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan di atasnya.

 

Dari segi waktu permohonan, MA menyatakan tidak masalah. Sebab, Perda yang mereka persoalkan tersebut ditetapkan wali kota Tangerang Wahidin Halim pada 25 November 2005. Artinya, permohonan ini diajukan dalam tenggang waktu yang dibenarkan oleh Perma No. 1/2004. Belum lewat waktu 180 hari sesuai ketentuan pasal 2 Perma, tambah Djoko.

Halaman Selanjutnya:
Tags: