Terapkan Asas Subsidiaritas, PN Manado Bebaskan PT NMR dan Richard Ness
Utama

Terapkan Asas Subsidiaritas, PN Manado Bebaskan PT NMR dan Richard Ness

JPU berpendapat pertimbangan putusan majelis tidak ada yang baru dan sebagian besar hanya mengadopsi dalil-dalil terdakwa.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
Terapkan Asas Subsidiaritas, PN Manado Bebaskan PT NMR dan Richard Ness
Hukumonline

 

Selanjutnya, majelis hakim berpendapat berdasarkan sejumlah kajian ilmiah yang bersifat nasional maupun internasional, tidak ada bukti yang mengarah pada kesimpulan bahwa kegiatan pertambangan NMR menimbulkan dampak besar berupa pencemaran dan perusakan lingkungan. Satu-satunya hasil kajian yang menyatakan sebaliknya adalah hasil kajian Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes POLRI. Namun, hasil kajian ini dipandang tidak valid karena terjadi inkonsistensi dan kontroversi di dalamnya.

 

Inkonsistensi yang dimaksud adalah kesimpulan Puslabfor yang pada satu sisi menyatakan ada kandungan logam berat yang tinggi pada air Teluk Buyat, sedangkan pada ikan tidak demikian. Sementara kontroversi terjadi ketika jumlah sampel yang diuji dalam kajian Puslabfor berbeda jauh dengan jumlah sampel yang diajukan dalam persidangan sebagai alat bukti. Hasil kajian Puslabfor Mabes POLRI tidak lagi dapat dipertahankan, dalih majelis hakim.

 

Terkait syarat meresahkan masyarakat, majelis hakim sependapat dengan keterangan Andi Hamzah dalam persidangan. Pakar hukum pidana ini mengatakan makna meresahkan masyarakat berarti harus didukung dengan fakta-fakta nyata, seperti dalam kasus Chernobyl di Rusia atau kasus lumpur panas Lapindo baru-baru ini. Menurut pandangan majelis hakim, fakta-fakta nyata itu tidak terlihat dalam kasus ini. Malah majelis menilai perhatian besar masyarakat atas kasus ini muncul karena adanya provokasi dari kalangan tertentu.

 

Berdasarkan fakta persidangan, maka terbukti belum cukup alasan untuk mengenyampingkan asas subsidiaritas, rangkum majelis hakim.

 

Pada bagian akhir pembacaan putusan, ketua majelis hakim menjelaskan adanya pergantian sejumlah anggota majelis hakim yakni Lenny Watti, Maxi Sigarlaki, dan Ferdinandus. Ridwan beralasan pergantian ini terjadi akibat proses mutasi yang rutin dilakukan di kalangan hakim. Dia menjamin pergantian majelis tidak mengganggu proses pengambilan keputusan karena mereka yang diganti tetap dilibatkan dalam musyawarah. Jadi, kalau ada perbedaan susunan majelis ketika musyawarah dan pembacaan putusan harap maklum karena perjalanan kasus ini cukup panjang, tambahnya.

 

Reaksi LSM

Putusan ini langsung memancing protes dari kalangan LSM dan sejumlah warga Buyat yang merasa menjadi korban pencemaran yang dilakukan PT NMR. Dalam orasinya, mereka mengecam putusan pengadilan yang dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, khususnya masyarakat Buyat.

 

Sementara itu, dari Jakarta tiga LSM Lingkungan WALHI, ICEL, dan JATAM mengecam putusan majelis hakim. Mereka mempertanyakan sejumlah kejanggalan dalam putusan tersebut. Beberapa fakta dasar yang seharusnya digunakan oleh hakim dalam pembuatan keputusannya,seperti terdapatnya kandungan logam berat dalam tailing dan air laut yang melebihi baku mutu lingkungan yang tertuang dalam dokumen RKL dan RPL, diabaikan oleh majelis hakim. 

 

Mereka mendesak pihak kejaksaan dan pemerintah Indonesia untuk mengajukan kasasi. Kejaksaan harusnya mengungkapkan seluruh kejanggalan yang terjadi dalam proses persidangan dan dalam pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim kepada mahkama agung dan publik. Mereka juga mendesak agar Komisi Judisial untuk melakukan penyelidikan terhadap seluruh kejanggalan yang terjadi dalam proses persidangan di PN Manado.

 

Sementara itu, suasana sebaliknya terjadi di dalam ruangan sidang, suasana suka cita diekspresikan sejumlah karyawan PT NMR beserta keluarga terdakwa. Putusan ini membuktikan bahwa environmentalist dan industrialist dapat berjalan beriringan, ujar Rick Ness selepas sidang.

 

Dia menambahkan putusan majelis hakim tidak hanya membebaskan dirinya dari dakwaan jaksa, tetapi juga menguatkan adanya dugaan tindak pidana penyebaran informasi tidak benar oleh kalangan tertentu. Untuk ini, Rick Ness berencana akan berkonsultasi dengan tim penasehat hukumnya apakah akan meminta pihak yang berwenang mengusut tuntas dugaan tindak pidana ini atau tidak.

 

Sementara itu, JPU Purwanta langsung menyatakan akan melakukan upaya hukum kasasi atas putusan ini. Dia berpendapat pertimbangan putusan majelis tidak ada yang baru dan sebagian besar hanya mengadopsi dalil-dalil terdakwa. Terlihat jelas, majelis hakim mengenyampingkan upaya pembuktian dan saksi-saksi yang diajukan JPU, sambungnya.

 

Ketua tim penasihat hukum terdakwa Luhut Pangaribuan mengisyaratkan siap menghadapi upaya hukum yang akan ditempuh JPU. Menurutnya, KUHAP sebenarnya tidak mengatur tentang upaya hukum kasasi atas suatu putusan bebas. Namun, dia tidak memungkiri bahwa pada prakteknya hal tersebut diperkenankan. Kita tunggu sikap JPU dalam 14 hari, namun begitu menurut saya upaya hukum kasasi tidak relevan lagi karena apalagi yang hendak dibuktikan, ujar advokat senior ini.

Setelah melalui proses persidangan selama 20 bulan, majelis hakim PN Manado akhirnya menuntaskan kasus dugaan pencemaran dan perusakan lingkungan di Teluk Buyat. Masa penantian panjang yang dilalui para terdakwa, yakni PT Newmont Minahasa Raya (NMR) dan Presiden Direktur PT NMR Richard B. Ness, pun tidak percuma karena. Majelis hakim yang diketuai Ridwan Damanik akhirnya menjatuhkan putusan bebas terhadap mereka.

 

Para terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan, untuk itu harus dibebaskan dari segala dakwaan jaksa dan berhak mendapatkan ganti rugi dan rehabilitasi, demikian bunyi amar putusan majelis hakim. Alasan utama yang dikemukakan majelis hakim adalah penerapan asas subsidiaritas,

 

Asas subsidiaritas ini menyatakan dalam pelanggaran hukum lingkungan, maka penyelesaian secara pidana baru akan diterapkan apabila mekanisme hukum lain yakni administrasi, mediasi, dan perdata, sudah ditempuh dan terbukti tidak efektif. Namun, sebagaimana dijabarkan dalam bagian penjelasan umum UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, asas ini bukanlah harga mati alias dapat dikesampingkan dengan sejumlah syarat.

 

Majelis hakim menguraikan ada empat syarat, yakni sanksi hukum lain tidak efektif, kesalahannya terbilang berat, dampak yang dimunculkan besar dan meresahkan masyarakat. Majelis hakim berpendapat berdasarkan fakta persidangan, tidak ada alasan yang mendukung bahwa sanksi hukum selain pidana dalam perkara ini tidak efektif. Pasalnya, selama menjalankan kegiatan pertambangan di Teluk Buyat, NMR terbukti tidak pernah mendapat teguran baik secara lisan ataupun tulisan dari pihak pemerintah. Terlebih lagi, proses hukum perdata yang pernah ditempuh pemerintah dan NMR berujung pada perdamaian yang dituangkan dalam Perjanjian Itikad Baik (Goodwill Agreement).

 

Dengan dalil yang sama, majelis juga berpendapat tidak ada kesalahan berat yang dilakukan terdakwa. Sejak dimulainya operasi pertambangan pada 1996 sampai berakhir 2004, NMR selalu rutin melaporkan rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantuan lingkungan (RPL) kepada pemerintah. Hasil laporan itu menyatakan kandungan logam berat pada tailing tidak pernah melewati ambang batas yang telah ditetapkan.

Tags: