Ketentuan Poligami dalam UU Perkawinan ‘Digugat'
Berita

Ketentuan Poligami dalam UU Perkawinan ‘Digugat'

Perkawinan kedua dianggap sebagai perkawinan siri, yang kekuatan hukumnya lebih lemah.

Oleh:
Red
Bacaan 2 Menit
Ketentuan Poligami dalam UU Perkawinan ‘Digugat'
Hukumonline

 

Akibatnya, perkawinan itu dianggap sebagai kawin siri. Padahal kawin siri berbeda kekuatan hukumnya dalam hal waris dan hak-hak anak. Pemohon merasa poligami merupakan haknya sebagai warga negara dan hak calon isteri kedua. Hak isteri kedua itu dijamin pasal 28 B ayat (1) UUD 1945.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, LBH APIK termasuk yang bersuara keras memprotes aturan poligami. Menurut lembaga ini, pasal 3, 4 dan 5 UU Perkawinan menempatkan perempuan sebagai sex provider, seolah-olah lembaga perkawinan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis dan mendapatkan keturunan. Atas dasar itulah LBH APIK pernah menyusun draft revisi UU Perkawinan.

Masalah poligami pula yang hampir menjegal Zainal Ma'arif dari kursi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Isu poligaminya diangkat, meskipun Zainal secara terbuka melangsungkan perkawinan keduanya.

 

Langkah Insa bisa jadi akan membuka kembali wacana tentang poligami dan kemungkinan merevisi UU Perkawinan.

 

Masih ingat kehebohan politik yang terjadi pasca perkawinan kedua Aa Gym? Presiden sampai memanggil Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meuthia F. Hatta dan Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar. Di Istana, mereka membahas kemungkinan revisi peraturan-peraturan tentang poligami. Peraturan dimaksud antara lain Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (yang sudah diubah menjadi PP No. 45/1990).

 

Hampir lima bulan setelah panggilan mendadak itu, gaung revisi peraturan perundang-undangan tentang poligami tak lagi terdengar. Namun kini masalah itu kemungkinan akan muncul lagi. Adalah M. Insa, seorang warga yang tinggal di Bintaro, Jakarta Selatan, yang ‘menggugat' ketentuan poligami dalam UU Perkawinan. Insa mengajukan permohonan judicial review terhadap sejumlah pasal terkait poligami, mulai dari Pasal 3 ayat (1) dan (2), Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 9, hingga Pasal 15 dan pasal 24.

 

Berdasarkan pasal 3 UU Perkawinan, seorang pria pada azasnya hanya diperkenankan mempunyai seorang isteri, dan sebaliknya. Pasal ini dianggap sebagai payung hukum monogami. Namun pasal ini juga memberi pengecualian, dimana seorang pria boleh beristeri lebih dari satu jika memenuhi syarat: dikehendaki oleh para pihak (suami, isteri, dan calon isteri kedua), dan ada izin dari pengadilan.

 

Tentu saja hakim tidak bisan sembarangan memberikan izin. Menurut ketentuan pasal 4, izin hanya bisa diberikan jika memenuhi salah satu dari tiga syarat. Pertama, isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Kedua, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga, isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu, pasal 5 juga mengatur syarat-syarat yang pada hakekatnya mempersulit seseorang untuk melakukan poligami.

 

Sidang perdana atas permohonan ini akan digelar Kamis (10/5). Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, Insa mempersoalkan pasal-pasal tersebut karena menganggapnya telah menghalangi haknya sebagai warga negara untuk menjalankan aturan agama. Ketentuan dimaksud dinilai telah membatasi hak konstitusionalnya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Akibat diberlakukannya pasal-pasal tadi, pemohon merasa dihalang-halangi petugas pencatat perkawinan yang tidak bersedia mencatatkan perkawinan poligaminya yang sah sesuai dengan hukum Islam.

Tags: