Klausul CSR Hanya untuk Bidang Sumber Daya Alam
RUU Perseroan Terbatas

Klausul CSR Hanya untuk Bidang Sumber Daya Alam

Depkumham mengakui poin CSR yang menyebabkan undurnya pengesahan RUU ini. Kalangan usaha masih berat menerima, walau akan mematuhi jika wajib.

Oleh:
Ycb/IHW/CRM
Bacaan 2 Menit
Klausul CSR Hanya untuk Bidang Sumber Daya Alam
Hukumonline

 

Rupanya gaung keberatan para pebisnis itu sampai juga ke telinga anggota DPR. Hingga Selasa (19/7) dini hari, pasal CSR bergeser sedikit. Awalnya, kewajiban CSR untuk semua perseroan. Posisi kini, hanya bagi perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam (SDA). Bisa pertambangan, bisa perkebunan, tutur Ketua Panitia Khusus RUU PT (Pansus PT) Akil Mochtar, dari saluran telepon (18/7).

 

Akil menanggapi datar adanya protes dari para pengusaha itu. Saya pikir ini bukan hal yang luar biasa. Usaha SDA memang sudah sewajarnya punya kewajiban menjaga lingkungannya, lanjut Akil yang dari Fraksi Partai Golkar (FPG).

 

Akil menjelaskan CSR bakal diperlakukan sebagai biaya. Dengan demikian, menurut Akil, perusahaan justru bisa memanfaatkannya untuk mengurangi pajak. CSR layaknya biaya gaji karyawan atau komponen ongkos lainnya. Biaya mengurangi laba bersih, walhasil menyunat pajak penghasilan. Artinya, para pengusaha gak perlu reaktif.

 

Akil menambahkan, kewajiban CSR ini tak diatur besarannya. Setiap perseroan bisa menyesuaikannya menurut tebalnya kantong. Kami tidak menentukan berapa besarnya. Sesuai asas kepatutan dan kewajaran.

 

Meski hanya wajib bagi perusahaan bidang SDA, tidak menutup kemungkinan perusahaan lain juga didorong mempraktekkannya juga. Misalnya perusahaan asuransi atau perbankan. Lebih bagus kalau mereka menerapkannya, ujar Akil.

 

Akil menegaskan, pengusaha tak perlu risau soal sanksi. Sanksi sesuai peraturan perundangan. Sayangnya, Akil tak dapat merinci peraturan mana yang perlu dirujuk.

 

Akil membandingkannya dengan Undang-Undang Penanaman Modal (UU PM). UU PM malah mengandung sanksi yang lebih berat. Coba tengok Pasal 15 dan 34. Izin usaha si investor bisa dicabut kalau tidak melakukan CSR. Jadi, UU PT ini tak perlu disambut reaksi keras, ujar Akil yang juga duduk di Komisi III (Bidang Perundangan, Hukum dan HAM).

 

Undang-Undang 25/2007 tentang Penanaman Modal

Pasal 15

Setiap penanam modal berkewajiban:

a.       menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;

b.       melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;

c.       membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal;

d.       menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan

e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34

(1)     Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pembatasan kegiatan usaha;

c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau

d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

(2)     Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)     Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Harus pertimbangkan kemampuan perusahaan

Justru kalangan industri masih berat menerima kewajiban CSR ini. Bagi perusahaan semapan kami tidak masalah. Tapi kalau kewajiban itu dipaksakan kepada perseroan yang masih merugi bagaimana? bisik seorang sumber dari sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

 

Meski demikian, sumber tadi tetap memahami semangat di balik ketentuan itu. Himbauannya bagus. Toh program ini bermanfaat bagi masyarakat sekitar, juga untuk perusahaan itu sendiri, imbuh sumber itu.

 

Sementara itu, Kepala Divisi Komunikasi PT Semen Gresik Saifuddin Zuhri menyambut terbuka ketentuan ini. Kalau itu diatur dalam peraturan perundangan, sudah sewajarnya kami mengikuti, ungkapnya dari saluran telepon (18/7).

 

Saifuddin menjelaskan, sebuah BUMN seperti Semen Gresik terikat kewajiban bina lingkungan (PKBL), seperti yang diamanatkan oleh UU BUMN. Tapi, selain program itu, kami memang juga punya CSR. Nanti, sebuah BUMN perseroan bakal mendapat tambahan kewajiban lagi. Selain PKBL, tentu saja CSR itu sendiri.

 

Pada 2007, perusahaan serbuk abu-abu asal Jawa Timur ini menggelontorkan Rp24 miliar untuk PKBL dan Rp2 miliar untuk CSR murni -dari laba bersih sekitar Rp1 triliun. Programnya komplet. Dari pendidikan, pembangunan sarana ibadah, cek kesehatan gratis, hingga infrastruktur, ungkap Saifuddin bangga.

 

Secara terpisah, Linda D Ibrahim, pengamat CSR dari Universitas Indonesia, menilai positif klausul CSR. Hanya, bentuk CSR apa yang memang benar-benar dibutuhkan oleh komunitas, itu yang penting dan harus dijelaskan secara umum dalam peraturan,

 

Linda mengingatkan, dana CSR ini harus tepat sasaran. Syaratnya, aparat pemerintah jangan mengambil keuntungan pribadi dari sini. Berdasarkan hasil penelitian kami, ternyata ada beberapa perusahaan yang merasa hanya menjadi 'sapi perahan'. Mereka sudah menyetorkan dana ke pusat dengan maksud untuk pemberdayaan potensi lokal. Ternyata tidak dikembalikan lagi ke tingkat lokal.

 

Sikap berbeda datang dari Syuhelmaidi Syukur. Direktur Operasional LSM Aksi Cepat Tanggap (ACT) ini mengatakan bahwa sejatinya CSR itu bersifat volunteerism. CSR lebih bersifat kepedulian perusahaan, karena berada di luar core activity perusahaan tersebut. LSM ini sendiri menikmati kucuran dana CSR dari anak perusahaan Pertamina, Elnusa.

 

Sejauh ini jika dibandingkan dengan peran perusahaan asing, peran sosial perusahaan di Indonesia masih sangat terbatas atau lemah, kata  Syuhelmaidi. Parahnya lagi, sambung Syuhelmaidi, peran sosial perusahaan di Indonesia kebanyakan masih bersifat seremonial, sekedar pameran kebajikan.

 

Ada pula CSC

Hal ini, menurut Linda, merupakan ironi tersendiri. Ketika saat ini perusahaan di Indonesia masih banyak yang belum mau menerapkan CSR, ternyata di negara lain sudah mengimplementasikan tahap 'metemorfosis' CSR yang lebih baru. Yaitu Corporate Social Citizenship (CSC). Intinya, potensi lokal tidak hanya didudukkan sebagai stakeholder, tapi sudah menjadi shareholder dari perusahaan tersebut, tuturnya.

 

Dalam konteks Indonesia, menurut Linda, CSC masih agak sulit diterapkan. Karena, Selain CSR saja belum dipraktekkan, perilaku aparat di tingkat daerah masih cenderung korup, pungkas Linda.

Tinggal menghitung hari Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas (RUU PT) meluncur ke tahap pengesahan. Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat (Bamus DPR) menjadwalkan pengesahan RUU ini pada Sidang Paripurna Jumat (20/7) mendatang. Dengan demikian, RUU ini akan bersanding dengan RUU Cukai. Forum akhir pekan nanti merupakan penutupan masa sidang menjelang reses. Lalu Gedung Senayan ramai lagi pada 16 Agustus depan.

 

Seharusnya RUU yang merevisi UU 1/1995 ini sudah diketok pada Sidang Paripurna Selasa (17/7) silam. Memang diundur dari Selasa menjadi Jumat. Karena memang ada agenda krusial yang perlu dibahas, ungkap Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM (Dirjen PP Depkumham) Abdul Wahid Masru.

 

Abdul Wahid mengakui penyebab molornya pengesahan adalah klausul tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR). Salah satunya memang membahas Pasal 74, sambung Abdul Wahid ketika ditemui di kantornya. Ketentuan inilah yang mengatur CSR. Sayang, dia enggan bercerita lebih lanjut. Alasan selainjutnya, tanya saja ke DPR, imbuhnya.

 

Senin lalu, sejumlah pengusaha memprotes keras pewajiban CSR. Selain melenceng dari konsep sebenarnya, para usahawan ini menilai CSR bakal menambah beban perusahaan karena menjadi 'pajak' baru'.

Tags: