Pengadilan Sesat, Revisi KUHAP Menjawab
Berita

Pengadilan Sesat, Revisi KUHAP Menjawab

Salah adil terjadi karena sistem peradilan pidana masih bercelah bagi terjadinya pelanggaran yang dilakukan aparat penegak hukum. Terutama untuk kebanyakan kasus prodeo. Seringkali tersangka atau terdakwa alpa didampingi penasihat hukum.

Oleh:
CRP
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Sesat, Revisi KUHAP Menjawab
Hukumonline

 

Menurut pengajar hukum acara pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda, kasus ini terjadi akibat kesalahan dalam keseluruhan rangkaian proses penyidangan mulai dari penyidikan hingga pemeriksaan di pengadilan. Chairul mengatakan, dalam banyak kasus prodeo semacam dialami Risman-Rostin, hakim di Indonesia cenderung melanjutkan pemeriksaan meski seharusnya terdakwa didampingi penasihat hukum. Sehingga menurut Chairul, KUHAP ke depan harus tegas mengatur, bahwa pemeriksaan perkara dengan ancaman 5 tahun atau lebih tanpa dampingan penasihat hukum maka semua prosesnya harus batal demi hukum.

 

Praktek yang sering terjadi selama ini, penyidik atau hakim hanya menanyakan apakah tersangka/terdakwa membutuhkan penasihat hukum tanpa berusaha menerangkan lebih lanjut hak-hak si  pesakitan atas penyediaan pengacara. Proses lalu jalan terus, vonis pun dijatuhkan. Ini menurut pengamatan Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi YLBHI Taufik Basari.

 

Tentu saja, ujar Taufik, hampir semua pesakitan kasus prodeo menjawab tak perlu pengacara. Alasan rata-rata, takut biaya tinggi dan perkara menjadi berlarut-larut. Keawaman mereka itu diperparah lagi dengan tidak diberikannya penjelasan tentang hak-hak pendampingan penasihat hukum cuma-cuma.  Chairul menambahkan, Pada dasarnya itu memang bukan hak si tersangka atau terdakwa, tapi kewajiban negara menyediakan penasihat hukum bagi mereka, ujar Chairul. Informasi tentang itulah yang menurut Taufik acap tidak diberikan penyidik maupun hakim kepada si pesakitan.

 

Indriyanto mengatakan sistem peradilan pidana di Indonesia memang acapkali menomorduakan hak-hak si tersangka/terdakwa dalam kasus prodeo. Ini lantaran sistem hukum acara yang ada sekarang belum begitu mendukung hak-hak si pesakitan. Sehingga, peristiwa ini, ujar Indriyanto, masih sangat potensial terjadi.

 

Hakim komisaris

Menurut mantan Jaksa Muda Pidana Khusus Ramelan peristiwa salah adil tersebut memang lazim terjadi bahkan di Amerika Serikat yang penegakan hukumnya dikenal sudah lumayan terjaga. Di Indonesia sendiri pada 1974 pernah terjadi salah adil yang cukup populer. Adalah Sengkon dan Karta warga Jawa Barat yang dituduh membunuh tetangganya. Kesalahan penegak hukum terungkap sewaktu Sengkan tengah menjalani masa bui-nya. Karena merasa iba, pembunuh sebenarnya mengaku dialah yang telah membunuh tetangga Senkon-Karta. Ketika zaman kolonial juga pernah terjadi pengadilan sesat, ujar Ramelan. Karena itulah, lanjut Ramelan,  hakim agung zaman kolonial tiap tahun melakukan pengakuan dosa untuk kekhilafan mereka sebagai hakim tertinggi.

 

Menurut Indriyanto, dalam draft Revisi KUHAP terdapat lembaga yang bernama hakim komisaris. Ini untuk mengganti lembaga praperadilan yang ada dalam KUHAP sekarang. Inilah yang kata anggota tim perumus Revisi KUHAP bisa jadi jawaban ke depan untuk persoalan pengadilan sesat. Sebab, lembaga hakim komisaris ini memungkinkan hakim untuk menjadi investigating judge. Bukan berarti si hakim bisa melakukan penyidikan, namun ia bisa memeriksa apakah suatu perkara yang masuk ke pengadilan sudah memenuhi semua syarat baik secara formal prosedural maupun substansial.

 

Mengenai penyediaan penasihat hukum dalam perkara prodeo, nantinya hakim komisaris berwenang menyatakan sah atau tidaknya suatu penyidikan untuk bisa dilanjutkan ke meja hijau. Termasuk di dalam kategori ilegal, upaya paksa yang tidak sesuai keharusan dan tidak didampinginya penasihat dalam tahap penyidikan. Itu kalau tidak diubah-ubah lagi draft Revisi KUHAP tersebut nantinya, ujarnya. Revisi itu akan didukung pula oleh RUU Bantuan Hukum yang akan mengatur bagaimana kasus prodeo tetap bisa mendapat bantuan penasihat hukum secara cuma-cuma. 

 

Untuk saat ini, yang tersisa bagi Risman-Rostin hanya upaya hukum luar biasa, yakni Peninjauan Kembali. Mereka selain minta rehabilitasi, harus juga minta kompensasi, ujar Taufik. Tentu saja lantaran menurut Taufik ini masuk kategori pelanggaran Hak Asasi Manusia, ujar Taufik, tanpa si korban salah adil melakukan PK pun ketika ditemukan fakta sebaliknya, pemerintah harus proaktif bertindak. Selain pemulihan, tambah Taufik, Harus ada tindakan tegas untuk petugas penyidik yang memaksa korban mengaku waktu itu.

 

Rabu 26 Juni 2007, Warga Desa Modelomo, Kecamatan Tilamuta, Boalemo, di Provinsi Gorontalo mendadak geger. Seorang perempuan bernama Alta Lakoro yang telah dinyatakan tewas dibunuh  kedua orangtuanya pada 2002 silam, muncul kembali. Padahal kedua orangtua Alta yang bernama Risman Lakoro dan Rostin Mahaji (ibu tiri) itu telah menjalani hukuman tiga tahun penjara. Mereka dinyatakan Pengadilan Negeri Limboto secara sah dan meyakinkan telah membunuh Alta.

 

Munculnya Alta yang bak zombie adalah awal dari cerita pengadilan sesat alias salah adil yang  terjadi di Gorontalo itu. Seperti dilansir kantor berita Antara, majalah Tempo, dan majalah Gatra, peristiwa tersebut merupakan kado buruk buat hari ulang tahun kepolisian yang jatuh tiap premier Juli. Pasalnya, kekhilafan pengadilan itu dimulai dari proses penyidikan yang buta prosedur. Risman dan Rostin dipaksa mengaku telah membunuh buah hati mereka dan juga mengakui kerangka,--yang hingga kini tak diketahui kerangka siapa, adalah kerangka Alta. Tak tanggung-tanggung, selama proses penyidikan Risman mendapat penyiksaan fisik oleh aparat kepolisian.

 

Bukan cuma itu saja. Selama proses pemeriksaan,--mulai penyidikan di kepolisian kemudian berlanjut ke PN Limboto, pasangan suami istri itu tidak didampingi penasihat hukum. Padahal Risman-Rostin diancam hukuman lebih dari lima tahun. Inilah celah utama terjadinya salah prosedur, ujar pakar hukum Pidana Universitas Indonesia Indriyanto Senoadji kepada hukumonline melalui saluran telepon, Kamis (19/7).

 

Kesalahan pemrosesan perkara mulai terkuak tatkala Risman memberi pengakuan pada Tim Kuasa Hukum Risman-Rostin pasca munculnya Alta. Alat bukti petunjuk yakni kerangka yang disodorkan penyidik  ternyata tidak melalui proses visum et repertum. Menurut salah satu anggota tim kuasa hokum, RR Salahudin Pakaya, semestinya itu ilegal digunakan sebagai alat bukti di persidangan. Toh, pak hakim jalan terus.

Tags: