Ketika Surat Pembaca Berbuah Gugatan
Utama

Ketika Surat Pembaca Berbuah Gugatan

Surat pembaca disediakan sebagai ruang untuk masyarakat menyampaikan informasi kepada publik. Layakkah pengirimnya digugat atas dasar pencemaran nama baik? Apakah media yang bersangkutan juga bertanggungjawab?

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Ketika Surat Pembaca Berbuah Gugatan
Hukumonline

 

Perkara ini menjadi menarik karena berdasarkan catatan hukumonline, baru kali ini surat pembaca menjadi obyek gugatan. Praktisi hukum yang juga mantan Anggota Dewan Pers, Hinca Panjaitan membenarkan pandangan itu. Ini adalah perkara yang unik. Karena setahu saya baru sekali ini ada orang yang digugat karena menulis surat pembaca, kata Hinca.

 

Menurut Hinca, rubrik surat pembaca harus disediakan oleh media dalam rangka melayani kepentingan publik (public service obligation). Surat pembaca merupakan ruang bagi masyarakat untuk memberitahukan informasi kepada publik, yang belum atau tidak tercover oleh pemberitaan media, Hinca menjelaskan. Surat pembaca itu bukan 'keranjang sampah' bagi seseorang untuk menghantam pihak lainnya, tambahnya.

 

Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, berpendapat tak jauh berbeda. Menurutnya, masyarakat sebagai konsumen berhak untuk menyampaikan keluhannya kepada pelaku usaha. Sepanjang berisi keluhan konsumen dan didukung oleh bukti dan fakta yang kuat dan mendukung, menurut saya tidak ada yang salah jika konsumen tersebut mengeluarkan uneg-unegnya di dalam surat pembaca, urainya.

 

Soedaryatmo mengaku kaget ketika Aseng yang notabene merupakan konsumen malah digugat oleh Duti selaku pelaku usaha. Padahal itu adalah hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang jelas. Jadi kalau ada pihak yang merasa kerebatan dengan materi surat pembaca, ya silahkan untuk mengajukan jawaban secara tertulis juga. Nah kalau pelaku usaha sudah memberikan jawaban, seharusnya tidak perlu lagi ada gugat menggugat.

 

Sampai berita ini diturunkan, pihak Duti yang diwakili oleh Boaz Homer, belum dapat dihubungi melalui sambungan telepon.

 

Komunikasi sebelum kirim surat pembaca

Surat pembaca, kata Soedaryatmo, sejatinya bisa dioptimalkan untuk mempertahankan hak konsumen. Namun alangkah lebih baiknya jika konsumen mau menyampaikan keluhannya secara langsung terlebih dahulu sebelum membuat surat pembaca, bebernya.

 

Biasanya YLKI selalu menyarankan agar konsumen mengadukannya terlebih dahulu kepada pelaku usaha. Dalam batas waktu tertentu jika pelaku usaha tidak memberikan tanggapan, baru si konsumen membuat surat pembaca, tambah Soedaryatmo.

 

Namun begitu, Soedaryatmo tidak melarang jika konsumen ingin 'potong kompas' langsung membikin surat pembaca. Itu hak konsumen juga, sepanjang didukung bukti dan fakta yang kuat. Konsumen mungkin punya pertimbangan lain, yaitu ada kepentingan publik yang mungkin juga terkait dengan perkara yang sedang dialaminya. Atau mungkin konsumen juga berpendapat dengan dicantumkan di dalam surat pembaca, mungkin pelaku usaha lebih memperhatikannya, tandasnya.

 

Untuk mencegah perkara serupa terjadi di kemudian hari, Soedaryatmo berbagi tips bagi para konsumen yang ingin menyuarakan curahan hatinya di dalam surat pembaca (lihat boks). Tidak mau kalah, Hinca pun juga menyampaikan masukannya.

 

Tips Menulis Surat Pembaca

1.      Konsumen menyampaikan keluhan langsung pada produsen terlebih dahulu

2.      Jika materi surat pembaca dirasa menyangkut kepentingan publik, jangan segan untuk menyampaikan kepada media untuk dibuatkan pemberitaan

3.      Gunakan bahasa yang positif dan konstruktif

4.      Konsumen harus memiliki data dan bukti yang kuat

5.      Tulisan surat pembaca jangan menghakimi

                     Sumber: Soedaryatmo, Hinca Panjaitan

 

Redaksi harus bertanggung jawab?

Ditanya lebih jauh mengenai kemungkinan ditariknya pihak redaksi suatu media untuk ikut bertanggung jawab dalam perkara ini, Soedaryatmo menepisnya. Biasanya di beberapa media dicantumkan disclaimer dimana disebutkan, pertanggungjawaban terhadap isi maupun materi dari surat pembaca ada di penulis, bukan di pihak redaksi, ujarnya.

 

Sementara Hinca berpendapat lain. Meskipun tidak dapat dikategorikan sebagai produk pers, namun Hinca berpendapat suara pembaca masuk dalam kerja jurnalistik. Prinsipnya kerja jurnalistik itu kan 6-M, yaitu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi. Sedangkan untuk surat pembaca, redaksi hanya perlu mengolah dan menyampaikan informasi yang ada di mejanya yang berasal dari masyarakat. Jadi surat pembaca merupakan kerja jurnalistik, urainya.

 

Lebih jauh Hinca menyebutkan, pada praktiknya redaksi tidak mungkin meloloskan semua surat pembacanya. Pasti akan disortir terlebih dahulu oleh pihak redaksi. Mana pembaca yang beritikad baik untuk menyampaikan informasi, mana yang tidak. Jadi logikanya, tidak mungkin redaksi meloloskan surat pembaca yang hanya bertujuan untuk menyerang atau mencemarkan nama baik pihak lain, cetusnya.

 

Ketika surat pembaca diterbitkan, masih menurut Hinca, maka redaksi tidak bisa melepaskan tanggung jawabnya begitu saja. Hinca kemudian memberikan ilustrasi. Ibarat rumah yang memiliki banyak kamar, begitu pula dengan 'rumah redaksi' suatu media. Ada kamar jurnalistik, ada kamar editorial dan ada kamar surat pembaca. Namun karena berada di satu rumah redaksi, maka pemimpin redaksi harus bertanggung jawab atas isi rumah itu.

 

Karenanya bentuk pertanggungjawaban redaksi, Hinca menambahkan, adalah menyediakan hak jawab ataupun hak koreksi bagi pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya. Itu bentuk pertanggungjawabannya. Tidak lebih, tidak kurang. Tapi kalau media bersangkutan tidak mau melayani hak jawab maupun koreksi, baru ada kemungkinan untuk menuntut secara hukum. 

 

Dalam perkara Duti vs Aseng ini, Hinca menilai sikap Duti yang meskipun telah mengajukan hak jawab namun tetap memilih melayangkan gugatan adalah sikap berlebihan. Itu sangat berlebihan sekali. Kecuali pihak media bersangkutan tidak melayani hak jawabnya, pungkasnya.

Sungguh apes nasib Khoe Seng Seng alias Aseng. Maksud hati ingin menyuarakan kegelisahan hatinya, namun Aseng malah harus bersiap menghadapi gugatan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Adapun pihak yang mengajukan gugatan perdata itu adalah PT Duta Pertiwi Tbk (Duti).

 

Seperti diberitakan Koran Tempo 3 Agustus 2007, Aseng digugat lantaran telah mencemarkan nama baik Duti, yang tidak lain merupakan pengembang ITC Mangga Dua Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, Duti menuntut ganti rugi total Rp17 milyar.

 

Perkara ini sendiri bermula ketika pada 26 September 2006, Aseng mengirimkan sejumlah surat pembaca, salah satunya ke Harian Kompas, yang berisikan keluh kesahnya sebagai pemilik salah satu kios di ITC Mangga Dua. Menurut Aseng Duti tidak transparan mengenai status tanah ITC Mangga Dua. Lebih jauh ia menyebutkan, ketika ia hendak memperpanjang Hak Guna Bangunan (HGB), belakangan diketahui HGB ITC terbit di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik Pemprov DKI Jakarta.

 

Pihak Duti tak berdiam diri. Melalui Harian Kompas 4 Oktober 2006, Duti meanggapi juga melalui rubrik surat pembaca. Duti membantah dituding telah membohongi para pemiliki kios ITC terkait masalah HGB. Lebih lanjut Duti menjelaskan pihaknya telah memberitahukan perihal HPL kepada para penghuni kios. Namun perkara tidak berhenti sampai di situ. Belakangan, Duti menggugat Aseng di PN Jakarta Utara atas dasar pencemaran nama baik yang dilakukan melalui surat pembacanya.

 

Hendrayana, kuasa hukum Aseng menyesalkan tindakan Duti mengajukan gugatan terhadap kliennya. Gugatan itu sangat aneh karena mereka (Duti, penggugat- red) telah menggunakan hak jawabnya yang juga dimuat di dalam surat pembaca di beberapa media, terang Hendrayana yang juga Direktur LBH Pers ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags: