'Kalangan Asuransi Masih Enggan Mengelola Premi Pesangon'
Paket RPP Pensangon

'Kalangan Asuransi Masih Enggan Mengelola Premi Pesangon'

Pengusaha menoleransi besaran maksimal premi asuransi pesangon hanya 3%. Poin soal pengelolaan premi tersebut belum jelas. Pekerja menilai beleid ini menimbulkan kasta baru. Depnakertrans dan parlemen yakin calon PP ini adalah solusi di tengah macetnya implementasi UU Ketenagakerjaan.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
'Kalangan Asuransi Masih Enggan Mengelola Premi Pesangon'
Hukumonline

 

Kubu parlemen pun mengamini suara eksekutif. Masak 3% memberatkan? RPP ini adalah solusi di tengah macetnya penerapan Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, sambut Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Max Sopacua.

 

Menurut Max, batu sandungan para pebisnis adalah Pasal 156 UU 13/2003 tentang komponen penghitung pesangon. Jika memaksakan pasal ini, perusahaan bisa bangkrut. Hitung saja pesangon karyawan bergaji puluhan juta yang masa kerjanya lama, tutur Max yang dari Fraksi Partai Demokrat.

 

 

Jamsostek berpendapat premi tersebut sebaiknya bersifat iuran pasti. Jangan manfaat pasti, ungkap Direktur Operasi dan Pelayanan Ahmad Ansyori, (14/8). Dengan memakai iuran pasti, pekerja akan menerima sejumlah dana pensiun sesuai dengan iuran yang disetorkan.

 

Menurut Ahmad, jika menggunakan manfaat pasti, beban pengusaha membengkak. Maklum, metode ini diwajibkan oleh Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 24 tentang Akuntansi Biaya Manfaat Pensiun. PSAK 24 ini mengatur, faktor pengali biaya manfaat adalah penghasilan terakhir pekerja.

 

Ahmad menganggap premi yang hanya 3% ini untuk menjamin hak pegawai. Jika terlalu besar, banyak pengusaha yang tak membayar kewajibannya, tuturnya. Ahmad mencatat, saat ini saja masih ada 60 ribu pekerja yang belum dibayar haknya setelah di-PHK.

 

Sementara itu, kalangan pegawai menginginkan premi itu dibayar utuh oleh pengusaha. Upah pekerja jangan dipotong lagi untuk bayar premi, sergah Timbul Siregar, Wakil Ketua Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI).

 

Meraba sistem pooling asuransi

Sejumlah dana premi tersebut dapat dikelola oleh Jamsostek, perusahaan asuransi, atau dana pensiun. Celakanya, kalangan industri proteksi risiko keder menyambut ketentuan ini. Tak ada perusahaan asuransi yang berani menanggung risiko sebesar ini, keluh Sofjan.

 

Ahmad pun mengakui. Belum ada perusahaan reasuransi yang mau. Reasuransi merupakan 'asuransinya asuransi'. Artinya, reasuransi adalah lembaga keuangan yang menomboki perusahaan asuransi jika terjadi klaim.

 

Kalangan dana pensiun pemberi kerja (DPPK) pun angkat tangan. Bukan kompetensi kami. Mungkin tepatnya ditanyakan kepada pengelola dana pensiun lembaga keuangan (DPLK), ujar Ketua Asosiasi DPPK Eddy Pratomo.

 

Dana pensiun memang ada dua jenis, yaitu DPPK dan DPLK. Jika perusahaan mengelola sendiri dana pensiun karyawannya, berarti disebut DPPK. Jika belum ada DPPK, perusahaan bisa mengelolakan dana pensiunnya ke perusahaan swasta lainnya. Inilah yang dinamakan DPLK.

 

Umumnya, DPLK adalah perusahaan swasta yang juga punya unit usaha asuransi. Sedangkan DPPK kompetensinya hanya mengelola pensiun. Kami tak berpengalaman mengelola asuransi pesangon ini, kilah Eddy.

 

Selain itu, menurut Eddy, dana pensiun tunduk pada rezim Departemen Keuangan (Depkeu). Kami di bawah Depkeu. Sedangkan RPP ini mengacu pada UU Ketenagakerjaan dan UU 3/1992 Jamsostek. Condongnya ke Depnakertrans.

 

Karena itulah Sofjan mengusulkan adanya pooling atau semacam konsorsium. Lebih bagus lagi jika pooling itu diisi beragam lembaga. Ada Jamsostek, asuransi jiwa, juga dana pensiun, sambungnya. Sayang, Sofjan mengakui skema ini belum begitu gamblang.

 

Sementara itu, Iskandar menjelaskan pengelolaan premi ini bakal diatur lebih lanjut dengan sebuah Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans). Bisa saja lewat pooling, sendiri-sendiri, atau menunjuk BUMN, tuturnya.

 

Jika nantinya ditunjuk, Jamsostek pun angguk kepala. Pada prinsipnya, siapapun yang ditunjuk harus siap, tukas Ahmad. Hanya, Ahmad menggarisbawahi, premi ini harus jelas pengaturannya. Apakah tanggungan sepenuhnya pengusaha, atau sebagian dibayar oleh karyawan.

 

Selain itu, menurut Ahmad, yang paling penting adalah penegakan aturan itu sendiri. Siapa pihak pengawasnya? Depnakertrans harus bersinergi dengan Depkeu. Kalaupun ada perusahaan yang tidak membayar harus diteliti, apakah memang dia tak sanggup, atau justru dia tak mau? ungkap Ahmad bersemangat.

 

Tetap 5 kali PTKP

Ada satu lagi ganjalan, kali ini untuk kalangan buruh kerah putih. RPP Penghitungan Pesangon tetap mengatur lima kali penghasilan tidakkena pajak (PTKP) sebagai faktor penghitung besaran pesangon maksimal. PTKP yang berlaku saat ini sebesar Rp1,1 juta. Jadi, besaran faktor pengali komponen pesangon Rp5,5 juta.

 

Artinya, klausul ini cenderung merugikan pekerja yang bergaji di atas Rp5,5 juta. Ini menimbulkan kasta-kasta di kalangan buruh sendiri, teriak Timbul. Dia menilai, ada sebagian hak pekerja yang hilang.

 

Iskandar berpendapat, pemerintah sudah berpikir masak-masak soal itu. Dari 27 juta tenaga kerja, terdapat 99% pekerja yang berpenghasilan di bawah 5 kali PTKP (Rp. 5,5 juta, red), ujarnya. Ia menekankan, RPP ini justru mengayomi sebagian besar kaum pekerja.

 

Iskandar menekankan, pemerintah menyilakan buruh gaji besar bernegosiasi sendiri dengan pemodal, jika mereka ter-PHK. Prinsipnya, peraturan ketenagakerjaan menganut freedom to contract. Tak ada larangan untuk sejahtera, tuturnya.

 

Iskandar menjelaskan, ketentuan baik dalam UU Ketenagakerjaan maupun RPP Pesangon ini hanyalah standar minimum. Pekerja dan pengusaha bisa berunding membuat kesepakatan yang lebih baik dari materi UU ini. Tapi kontrak tak boleh lebih buruk daripada materi UU, pungkasnya.

Perbincangan soal paket Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pesangon (RPP Pesangon) kembali mengencang. Maklum, beleid ini sempat ramai diperdebatkan pada Mei silam baik oleh kalangan pengusaha maupun kelompok buruh. Setelah itu mulai reda, dan baru mencuat kembali saat-saat ini. Soalnya, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans), penggagas RPP itu, sudah menuntaskannya dan mengirimnya ke Departemen Hukum dan HAM. Tapi, pengesahannya tergantung Pak Presiden, ungkap Direktur Kelembagaan dan Pemasyarakatan Hubungan Industrial (KPHI) Iskandar, Selasa (14/8).

 

Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK).

 

Premi asuransi 3%

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menegaskan kalangan pengusaha emoh total jika besaran premi asuransi pesangon ini menembus batas 3% dari nilai gaji buruh. Iklim investasi tak akan jalan, ujarnya dari saluran telepon (14/8).

 

Pihak pemerintah sendiri sudah menyepakati suara pengusaha. Premi ini ditetapkan 3% dan dibayar oleh pengusaha. Semangatnya kan melindungi dan menjamin kepastian hak bagi pekerja jika di-PHK, sambung Iskandar. Ia menegaskan klausul besaran premi ini sudah final.

Halaman Selanjutnya:
Tags: