Jaksa Berharap MA Ubah Perspektif
PK Kasus Munir

Jaksa Berharap MA Ubah Perspektif

MA beberapa kali menerima PK yang diajukan JPU. Hal itu dianggap diskresi MA.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Jaksa Berharap MA Ubah Perspektif
Hukumonline

 

JPU mencatat, MA pernah menerima tiga PK yang diajukan jaksa. Pada 1996 lalu, MA menerima PK dengan terdakwa Mochtar Pakpahan. Berikutnya, pada 2001, MA juga menerima PK dengan terdakwa Ram Gulumal. Lantas, 2006 lalu, MA juga pernah menerima PK dengan terdakwa Soetiyawati.

 

Alasan JPU mengajukan PK ialah adanya kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum, mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi. Bilamana mempergunakan surat palsu terbukti, seharusnya pembunuhan yang didakwakan terhadap Pollycarpus harus juga terbukti, urai JPU.

 

Kali ini JPU punya 'cerita' baru soal pembunuhan Munir. Yang meracuni Munir, kata JPU, adalah Pollycarpus sendiri melalui minuman dalam gelas yang dibawa dari Coffee Bean di bandara Changi Singapura.

 

Ketika pesawat transit dari bandara Changi, ungkap JPU, Pollycarpus tidak langsung ke hotel seperti kru pesawat yang lain, tapi ikut ke tempat transit. Bahkan, ia terlihat membawa dua gelas minuman. Selanjutnya, bersama Munir, ia duduk di Coffee Bean. Di tempat itulah Munir menenggak racun Arsenik.

 

Sebelumnya, dalam dakwaan yang lama, JPU menyatakan, Pollycarpus bersama dengan Yeti Susmiarty dan Oedi Irianto—keduanya awak Garuda GA 974--memasukkan racun arsenik ke dalam minuman welcoma drink yang berisi orange juice. Minuman yang disajikan di dalam pesawat itulah yang menghilangkan nyawa Munir.

 

Novum (keadaan baru) yang digunakan JPU untuk mengajukan PK ini adalah keterangan tujuh saksi kunci. Di antaranya adalah mantan Dirut Garuda, Indra Setiawan, yang kini menjadi tersangka baru. Saksi kunci lainnya adalah agen Badan Intelijen Negara (BIN), Mohammad Patma Anwar alias Ucok.

 

Menanggapi memori PK itu, tim kuasa hukum Pollycarpus menilai dasar hukum yang dipakai JPU sangat lemah. Mengacu pada penjelasan pasal 263 KUHAP, mereka menyatakan, alasan pengajuan PK bersifat limitatif alias terbatas.

 

Hanya terdakwa dan ahli warisnya saja yang berhak mengajukan PK, tandas Mohammad Assegaf. Jika JPU boleh mengajukan PK, maka PK tidak lagi limitatatif. Lebih dari itu, hal tersebut dinilai akan merusak sistem hukum dan melanggar hak asasi Pollycarpus.

 

Berdasarkan penelusuran Tim kuasa hukum Pollycarpus, JPU banyak mengambil alih argumentasi hakim agung MA, Parman Soeparman, yang setuju terhadap pengajuan PK oleh JPU. Assegaf dkk lalu mengutip beberapa argumen yang kontra. Di antaranya berasal dari Kepala Pusat Penerapan Hukum Kejaksaan Agung, I Wayan Pasek Suartha dan Humas MA, Djoko Sarwoko.

 

Karena JPU dinilai tak berhak mengajukan PK, maka novum yang disodorkan JPU pun dianggap tak beralasan. Jika JPU yang mengajukan PK, maka sama saja Pollycarpus yang telah dituntut bebas dituntut lagi. Hal itu melanggar ketentuan Pasal 76 KUHP tentang ne bis in idem, ujar Assegaf.

 

Assegaf Protes

Usai pembacaan memori dan kontra memori PK, sejatinya sidang beragendakan mendengarkan keterangan saksi Indra Setiawan dan Mohammad Patma Anwar. Namun, Assegaf belum siap bila keduanya mengungkapkan kesaksiannya. Ia pun melancarkan protes.

 

Assegaf minta agar Berita Acara Pemerikasaan (BAP) saksi dan terdakwa diserahkan kepada pihaknya terlebih dulu untuk dipelajari. Ia menilai tidak adil jika saksi memberikan keterangannya di persidangan, padahal pihaknya belum mempelajari BAP itu. Sidang harus ditunda, kata Assegaf.

 

JPU menolak keberatan Assegaf. Alasannya, menghadirkan kedua saksi tersebut bukan pekerjaan gampang. Indra kini mendekam di rutan Mabes Polri sedangkan Patma adalah agen intelijen. Kami minta agar saksi tetap didengar keterangannya, kata Poltak.

 

Namun, majelis hakim akhirnya menyutujui protes Assegaf. Majelis tetap memberi kesempatan kepada tim kuasa hukum Pollycarpus untuk mempelajari BAP. Indra dan Patma, yang sudah hadir di PN Jakarta Pusat, pun urung mengungkapkan kesaksiannya. Dijadwalkan, Rabu (22/8) nanti sidang ini bakal dilanjutkan.

 

Tak Diajak Rekonstruksi

Kepada wartawan, Pollycarpus memberi pernyataan yang mengejutkan. Saya tidak pernah diajak rekonstruksi di Coffee Bean di bandara Changi Singapura, padahal sewaktu rekonstruksi di Jakarta saya selalu diikutsertakan penyidik, ujarnya.

 

Pollycarpus juga menyangkal pernah berhubungan dengan Fatma. Saya tidak pernah sekalipun datang ke kantor BIN, apalagi bertemu dengan Fatma, imbuhnya.

 

Sementara itu, Sekretaris Eksekutif Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum), Usman Hamid, optimis PK ini bakal membuahkan hasil. Ia menyadari, KUHAP memang tak membolehkan JPU mengajukan PK. Namun, menurutnya, undang-undang bukan hanya berkaitan dengan aspek legal formal. Dan saya yakin MA bisa menerobos hukum formal itu, tandasnya.

 

3 Oktober 2006 lalu, melalui putusan bernomor 1185K/Pid/2006, majelis kasasi MA menyatakan Pollycarpus tidak terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. Ia hanya terbukti memakai surat palsu dalam penerbangan GA 974 rute Jakarta-Singapura, dan akhirnya hanya dijatuhi hukuman dua tahun penjara.

 

Putusan tersebut jauh lebih ringan dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menghukum Pollycarpus 14 tahun penjara.

Sidang permohonan Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir akhirnya digelar di PN Jakarta Pusat, Kamis (16/8). Sidang yang dipimpin Hakim Andriani Nurdin menghadirkan mantan terpidana, Pollycarpus Budihari Prayitno yang juga mantan pilot Garuda.

 

Dalam memori PK-nya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan, tidak ada larangan di KUHAP maupun peraturan perundangan lainnya bagi JPU untuk mengajukan PK kepada Mahkamah Agung (MA). JPU menegaskan, Pasal 263 ayat KUHAP harus dipahami dalam perspektif yang berbeda. Pasal tersebut menegaskan, PK dapat diajukan untuk perkara yang sudah inkracht yang tidak diputus bebas, dan hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK.

 

MA perlu menggeser perspektif dari offender oriented menjadi victim oriented, tandas JPU, yang dipimpin Poltak Manulang.

 

Menurut JPU, sesuai praktik yurisprudensi, MA telah melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk 'growth the meaning' terhadap ketentuan-ketentuan imperatif yang ada dalam KUHAP. Karena itu, beberapa kali MA pernah menerima PK yang diajukan JPU. Dari segi doktrin, lanjut JPU, hal itu merupakan diskresi MA.

Halaman Selanjutnya:
Tags: