Perlu Pembedaan Tegas antara Black dan Negative Campaign
Berita

Perlu Pembedaan Tegas antara Black dan Negative Campaign

Negative campaign sangat diperlukan untuk melihat track record kandidat secara utuh, asalkan disampaikan secara faktual. Tetapi perlu dibedakan dengan black campaign.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Perlu Pembedaan Tegas antara <i>Black</i> dan <i>Negative Campaign</i>
Hukumonline

Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) dan Pemilihan Presiden (RUU Pilpres) masih terus dibahas Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat. Masukan-masukan terus di disuarakan oleh pengamat. Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan black campaign (kampanye hitam) memang harus dihindari, tetapi negative campaign (kampanye negatif) justru perlu dipelihara. Negative campaign itu sangat penting, ujarnya di Jakarta, hari ini (12/9).  

 

Qodari menjelaskan perbedaan mendasar antara kampanye hitam dengan kampanye negatif. Kampanye negatif sesuai fakta, sedangkan kampanye hitam tidak sesuai fakta, ungkapnya. Menurutnya, seorang kandidat bisa saja menuduh lawan politiknya melakukan korupsi, asalkan tuduhan tersebut bersifat faktual. Ia mencontohkan salah satu kampanye negatif yang pernah dilakukan adalah kampanye untuk tidak memilih politisi busuk pada Pemilu 2004 lalu.

 

Menurut Qodari, kampanye negatif merupakan suatu keniscayaan dalam berpolitik. Pada dasarnya, lanjut Qodari, dalam kampanye setiap kandidat berusaha melakukan dua hal: Menunjukkan hal-hal yang baik terkait dirinya dan melakukan hal-hal lain yang terkait dengan saingan atau lawan politiknya, ujarnya.

 

Namun sayangnya, Qodari belum melihat adanya pembedaan yang tegas antara kampanye hitam dan negatif baik dalam RUU Pemilu maupun RUU Pilpres. Ia justru melihat dalam RUU Pemilu ada pasal yang maksudnya untuk menghalangi kampanye hitam, tapi bisa juga mematikan kampanye negatif.

 

Pasal 103 ayat (2) RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD

Pemberitaan kampanye dilaksanakan berdasarkan prinsip:

a. adil dan berimbang;

b. faktual;

c. tidak mengandung unsur SARA; dan

d. tidak provokatif 

 

Qodari mempertanyakan maksud provokatif dalam huruf d pasal tersebut. Dimana batasan provokatif? tanyanya. Karena, menurutnya tindakan kampanye negatif juga bisa dikatakan sebagai tindakan provokatif. Oleh sebab itu, ia mendesak Panitia Khusus RUU Pemilu DPR untuk merumuskan pembedaan kampanye hitam dan negatif.

 

Sementara itu, Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Yasona H Laoly setuju apabila dipertegas perbedaan tersebut. Namun, menurutnya harus dirumuskan dulu secara tepat definisi kampanye hitam. Jangan sampai nanti disalahgunakan, ujarnya. Pengaturan tersebut, menurutnya sangat berguna untuk membuat pemilu dilakukan secara fair, dewasa dan bermartabat.

 

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Cetro Hadar Gumay juga setuju dengan Qodari. Menurutnya, kampanye negatif bisa saja dilakukan dengan fakta-fakta yang dimiliki baik oleh saingannya maupun orang ketiga. Dan fakta itu bisa dipertanggungjawabkan, katanya.

 

Namun, Hadar mengingatkan resikonya cukup besar. Potensi ricuh dalam pemilu lebih besar. Nanti juga akan terjadi Pemilu maki-maki, jelasnya. Tetapi, lanjutnya, semua itu bisa diminimalisir dengan pengaturan yang jelas. 

 

Menurut Hadar lebih baik kita menjadi orang yang jujur. Daripada nanti belakangan baru diributkan belakangan, ujarnya. Ia juga mengakui gerakan jangan pilih politisi busuk pada pemilu 2004 sebagai bentuk  kampanye negatif. Sayangnya, ketika itu, gabungan LSM tidak menyebutkan nama politisinya karena alasan tidak memiliki dokumen yang lengkap.

 

Hadar juga mengakui bila kampanye negatif tidak disertai bukti dan fakta maka resiko hukum bisa ditanggung orang yang membeberkan. Bisa dituduh pencemaran nama baik, ujarnya.

 

Tak perlu diatur RUU

Anggota Dewan Pers Wina Armada Sukardi berpendapat sedikit berbeda. Meski mengaku pengaturan kampanye hitam sangat diperlukan, namun menurutnya tak perlu diatur dalam RUU Pemilu atau RUU Pilpres. UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik sudah cukup, ujarnya memberi alasan. Bila kampanye hitam hanya diartikan melalui pers saja, tambahnya.

 

Menurut Wina, ada asas-asas dalam UU Pers maupun Kode Etik Jurnalistik yang bisa digunakan untuk menghalangi kampanye hitam. Misalnya menghormati asas praduga tak bersalah dan menguji informasi yang didapatnya. Ada juga, lanjut Wina, yang dimaksud sebagai unsur kepatutan. Misalnya ada berita melalui SMS dari salah satu kandidat, katanya.

 

Bahkan, secara garis besar, Wina tidak setuju bila RUU Pemilu atau RUU Pilpres mengatur mekanisme kerja pres. Seharusnya fokus pada masalah Pemilu saja, ujarnya. Malah lebih bahaya lagi, pengaturan dalam RUU tersebut dapat menjadi kriminalisasi terhadap pers, bila melihat pada rancangan yang ada.

 

Laoly memiliki pendapatnya sendiri. Menurutnya, selain bisa dilakukan oleh pers, kampanye hitam bisa juga dilakukan selain oleh pers. Contohnya, bisa melalui selebaran. Terkait hal ini, lanjutnya, pengaturan dalam RUU Pemilu dan RUU Pilpres masih sangat dibutuhkan.

Tags: