Menanti Putusan Manis Sengketa Pabrik Gula
Utama

Menanti Putusan Manis Sengketa Pabrik Gula

Selangkah lagi PN Gunung Sugih memutus perkara Sugar Group Companies. Semua saksi telah dihardirkan, termasuk para saksi ahli. Perkara ini telah melebar menjadi kasus pelanggaran MSAA.

Oleh:
Sut/Kml
Bacaan 2 Menit
Menanti Putusan Manis Sengketa Pabrik Gula
Hukumonline

 

Hal yang sama juga dialami Perry Cornelius, kuasa hukum Grup Salim. Pria yang juga partner Lubis, Sentosa & Maulana Law Offices itu tak sabar menunggu putusan hakim. Ia yakin perkara itu akan dimenangkan oleh kliennya. Pasalnya, gugatan yang diajukan oleh SGC tidak berdasar dan mengada-ada.

 

Syahdan, gugatan yang dilayangkan oleh SGC tidak hanya dilakukan di PN Gunung Sugih, namun juga dilakukan di PN Kota Bumi, Lampung Utara. Hanya saja, meski di daftarkan pada tanggal yang sama, tapi proses persidangan di PN Kota Bumi berjalan lebih lamban dibanding PN Gunung Sugih. Di PN Kota Bumi saat ini masih dilakukan pemeriksaan terhadap para saksi.

 

Hotman menuturkan, inti dari kedua gugatan yang diajukan oleh kliennya adalah sama, yakni pembatalan terhadap perjanjian utang yang dilakukan oleh Marubeni kepada SGC. Perjanjian utang itu, katanya, merupakan rekayasa yang dibuat oleh Grup Salim, untuk merebut kembali perusahaan yang pernah dilegonya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN.

 

Dalam perjanjian itu, ungkap Hotman, tanah dan harta benda milik Gula Putih Mataram digunakan sebagai jaminan utang rekayasa Sweet Indolampung dan Indolampung Perkasa terhadap Marubeni. Begitu juga dengan Indolampung Distillery yang mesin-mesin dan peralatan pabriknya telah dijaminkan kepada Marubeni untuk menjamin utang Sweet Indolampung dan Indolampung Perkasa tanpa sepengetahuan Indolampung Distillery. Sementara itu, GPA ikut menggugat karena sebagai pemilik SGC merasa dibebani dengan adanya rekayasa utang tersebut.

 

Sebagai informasi, SGC merupakan salah satu aset yang dikelola oleh PT Holdiko Perkasa (Holdiko) untuk mengelola aset yang diserahkan oleh Grup Salim, di bawah pengawasan BPPN. SGC sendiri sebelumnya pernah dimiliki oleh Grup Salim. Namun, saat krisis 1998 menimpa Indonesia, seluruh perusahaan Grup Salim mengalami kesulitan dana. Bahkan, jika tidak ada Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dipastikan PT Bank Central Asia (BCA), salah satu perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Salim, bakal bangkrut.

 

Bank Indonesia (BI) akhirnya menggelontokan BLBI sekitar Rp 47,751 triliun kepada Grup Salim. Jumlah itu tergolong fantastis dan Grup Salim tercatat sebagai debitur BLBI terbesar di Indonesia. Namun, ternyata, Grup Salim tidak mampu mengembalikan utang-utangnya ke pemerintah.

 

Pada 21 September 1998, Grup Salim dan Pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan (Menkeu) menandatangani perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement atau MSAA. Perjanjian itu sebagai tindak lanjut dari pelunasan utang-utang Grup Salim kepada pemerintah.

 

Kronologi perkara:

April 1996: Sugar Group Companies (SGC) mulai berhutang kepada Marubeni. Sejak saat itu mereka aktif berhubungan.

Mei-Juni 1998: BLBI dikucurkan kepada Bank BCA dimana Salim adalah pemegang saham pengontrol

21 September 1998: Penandatanganan MSAA Salim dan Pemerintah, dengan closing date SGC tahun 2000

11 November 1998-29 Agustus 2001: SGC memperbaharui perjanjian dengan Marubeni, termasuk membebankan jaminan antara lain fidusia dan hak tanggungan terhadap aset SGC.

2001: Closing date penyerahan SGC

29 November 2001: GPA membeli saham SGC dari BPPN melalui lelang SGC seharga Rp1,161 triliun, lewat penandatangan Conditional Share Purchase and Loan Transfer Agreement. Kemudian dibuat dua perjanjian tambahan pada Desember 2001, dan Januari 2002

4 Mei 2002: Tercipta perdamaian lewat Settlement Agreement setelah GPA sebelumnya sempat mengajukan klaim atas perjanjian pembelian saham ke Arbiter di Singapura

11 Maret 2004: Grup Salim mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) dari pemerintah

23 Agustus 2006: Marubeni menagih ke piutang ke dua anak perusahaan SGC

19 Oktober 2006: GPA melayangkan gugatan terhadap 53 pihak di PN Gunung Sugih dan 48 pihak di PN Kota Bumi

Dihimpun dari berbagai sumber

 

Dalam perjanjian yang konon diatur oleh International Monetary Fund (IMF) itu, Grup Salim terpaksa menyerahkan 108 aset yang dimilikinya kepada pemerintah. Ke-108 aset itu kabarnya melebihi total utang Grup Salim kepada pemerintah Indonesia. Diantara 108 aset itu, di dalamnya termasuk SGC, yang saat ini sedang bersengketa.

 

SGC akhirnya dilelang oleh pemerintah melalui BPPN pada 24 Agustus 2001. Lelang pabrik gula itu akhirnya dimenangkan oleh GPA yang menjadi afiliasi dari konsorsium Trimanunggal dan Yanatera Bulog. GPA, milik taipan Gunawan Yusuf, membeli SGC dengan nilai penawaran sebesar Rp 1,161 triliun. Kontrak jual beli antara GPA dengan Holdiko dilakukan pada 29 Nopember 2001.

 

Dari informasi yang diiperoleh Hukumonline, sebenarnya saat akan dilelang, aset SGC mencapai Rp 2,7 triliun. Hanya saja, perusahaan itu punya utang Rp 1,4 triliun di beberapa krediturnya. Persoalannya, waktu itu BPPN tidak bisa melakukan free and clear terhadap utang SGC. Makanya, BPPN mengobral harga pabrik pabrik gula itu dengan nilai Rp 1,3 triliun. Lalu sisanya? Ya ditanggung oleh pembeli, cetus Perry.

 

Selanjutnya, pada 12 Desember 2001, antara Holdiko, BPPN, dan GPA, menandatangani kontrak tambahan. Intinya, BPPN akan melakukan upaya terbaik sebagai fasilitator dalam proses pengurusan pengalihan lahan dari aset-aset yang dijual kepada GPA. 

 

BPPN juga menegaskan jika pihak GPA merasa keberatan dengan kondisi aset yang ditawarkan oleh BPPN, GPA diberikan hak untuk mundur dari transaksi sampai batas waktu 28 Pebruari 2002. Nyatanya, meski GPA telah melakukan uji tuntas keuangan dan hukum serta kunjungan lokasi, mereka tetap tidak menggunakan hak mundurnya sampai batas waktu tersebut berakhir.

 

Permasalahan kemudian timbul. Setelah Gunawan Yusuf membeli aset-aset itu, ternyata sejak 1999, kata Hotman, Soedono Salim telah menjaminkan harta kekayaannya tersebut kepada Marubeni.

 

Hal ini diketahui saat direksi Sweet Indolampung dan Indolampung Perkasa secara tiba-tiba menerima surat tagihan dari Marubeni. Marubeni mendalilkan adanya tagihan piutang yang didasarkan pada perjanjian induk yang dibuat sesudah BPPN memiliki kedua perusahaan itu. Merasa telah membeli aset itu secara legal dari BPPN, Hotman menyatakan Marubeni tidak mempunyai hak menagih utang kepada manajemen baru SGC.

 

Syahdan, sebelum menyerahkan aset itu kepada BPPN, pada 1999 Grup Salim menandatangani akta pemberian hak tanggungan dengan Marubeni. Dalam akta itu, Salim menyatakan masih berwenang melakukan pengikatan terhadap tanah dan bangunan tersebut. Padahal, seperti yang sudah disebutkan, sejak September 1998, aset-aset itu telah diserahkan kepada BPPN. Atas fakta itu, Hotman mensinyalir Grup Salim telah memberikan data yang tidak benar saat meneken perjanjian MSAA.

 

Obligor yang 'baik'

Pernyataan Hotman ini dibantah oleh Perry. Perry mengatakan saat BPPN melelang SGC, semua peserta lelang termasuk GPA telah diberitahukan segala kondisi (info memo) dari SGC termasuk tentang aktiva, pasiva, utang dan piutangnya. Selain itu, para peserta lelang juga diberi kesempatan untuk melakukan due dilligence dan legal audit. Jadi, kalau sekarang dia tidak tahu, itu sangat mustahil, ujarnya.

 

Menurutnya, Grup Salim adalah satu-satunya obligor yang memenuhi ketentuan MSAA. Buktinya hanya Grup Salim yang membentuk perusahaan induk (holding), seperti yang disyaratkan dalam MSAA, sementara obligor lainnya tidak, kata Perry.

 

Mengenai akta pemberian hak tanggungan yang dipermasalahkan Hotman, Perry mengatakan sebetulnya masalah itu imbas dari perjanjian pembiayaan (financing) yang dilakukan Marubeni dengan SGC pada 1997. Di tahun itu, SGC yang sedang kesulitan membayar utangnya, memohon Marubeni untuk mengucurkan dana dalam bentuk US dollar dan Yen Jepang.

 

Hanya saja, SGC kembali mengalami kesulitan untuk membayar cicilan utang pokok plus bunganya. Akibatnya, perjanjian pembiayaan itu dilakukan dua kali. Dan itu, kata Perry disetujui oleh BPPN supaya SGC yang sudah diserahkan ke BPPN tidak koleps.

 

Kasus ini sederhana. Dia (Gunawan Yusuf) tau perusahaan yang dibelinya punya utang dan dalam perjanjian dia harus bayar. Sekarang ketika utangnya harus dibayar, dia ributkan yang jauh lebih tinggi yang bukan urusannya, imbuh Perry.

 

Perry bisa saja mengatakan kasus itu perkara sederhana, namun yang jelas, saat ini hakim PN Gunung Sugih sedang kelimpungan menghadapi puluhan berkas yang tebalnya beratus-ratus halaman. Dan jawabannya, kita tunggu saja sebentar lagi.

Mungkin hakim-hakim di Pengadilan Negeri (PN) Gunung Sugih tak pernah menyangka akan kedatangan para pengacara kondang dari Jakarta. Biasanya, di PN kelas dua itu, hanya digelar sidang dengan perkara pidana yang menggunakan pasal karet, seperti pencurian, penganiayaan dan lain-lain. Namun, sejak tahun lalu, para pengacara kondang seperti Hotman Paris Hutapea menyambangi pengadilan yang berada di Kabupaten Lampung Tengah itu, minimal satu kali dalam seminggu,.

 

Hotman mewakili 4 perusahaan yang tergabung dalam Sugar Group Companies (SGC). Kelima perusahaan itu adalah PT Sweet Indolampung, PT Indolampung Perkasa, PT Gula Putih Mataram dan PT Indolampung Distillery. Selain itu Hotman juga mewakili PT Garuda Pancaarta (GPA), pemilik dari SGC. Tak tanggung-tanggung, kelima perusahaan milik Gunawan Wijaya itu menggugat 53 pihak dengan nilai gugatan lebih dari AS$ 1,2 miliar .

 

Pihak yang digugat antara lain Marubeni Corporation (Marubeni) dan keluarga Salim yakni Soedono Salim (Liem Sioe Liong), Anthony Salim dan Andree Halim. Marubeni diwakili kuasa hukumnya, OC Kaligis, sedangkan keluarga Salim diwakili oleh Todung Mulya Lubis. Tergugat lainnya Sumitomo Mitsui Banking Corporation dan beberapa tergugat dari Jepang juga diwakili oleh pengacara Lucas.

 

Jika, perkara itu ditangani oleh para pengacara papan atas, tentu kasus yang dihadapi bukan perkara biasa. Memang ini bukan perkara biasa, ujar Hotman kepada Hukumonline. Ia mengatakan, saat ini proses persidangan hampir rampung. Pada 23 Oktober nanti, para pihak akan membacakan kesimpulannya masing-masing. Dan, seminggu setelah itu, hakim diperkirakan akan membacakan putusan perkara yang diajukan sejak 16 Oktober 2006 silam.

 

Sudah pasti, adrenalin para pihak yang berperkara naik saat menanti amar putusan para hakim daerah tersebut. Berdebar-debar, itu pasti, celetuk Marx Adriyan, kuasa hukum SGC, yang juga partner pada Kantor Hotman Paris & Partners itu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: