Semakin Sulit Menguji UU yang Menyangkut WNA
Pasca Putusan UU Narkotika

Semakin Sulit Menguji UU yang Menyangkut WNA

Putusan yang menolak hak Warga Negara Asing mengajukan judicial review dinilai mempersempit sendiri kewenangan MK.

Oleh:
Ali/KML
Bacaan 2 Menit
Semakin Sulit Menguji UU yang Menyangkut WNA
Hukumonline

 

Menurut Toni, sapaan akrabnya, UU secara tekstual sudah menetapkan hanya WNI yang bisa mengajukan permohonan uji materil. Apalagi, Peraturan MK Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang Undang kembali menegaskannya.

 

Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor 06/PMK/2005

Tentang Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang

Pasal 3

Pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah;

a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai

   kepentingan sama;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

   perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

   diatur dalam UU;

c. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;

d. Lembaga negara.

 

Sementara itu, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin masih berpendapat ketentuan di atas dan Pasal 51 ayat (1) UU MK masih bisa disimpangi. Peluang masih ada, meski kecil, ujarnya. Tergantung kasus dan permohonan yang disampaikan, tambahnya. Secercah harapan sudah ada, tiga hakim mengajukan dissenting opinion terkait persoalan ini. Setidaknya ke depan bisa menjadi pemikiran alternatif yang bisa berkembang, harapnya.

 

Kritik MK 

Benny K. Harman tidak sependapat bila Pasal 51 ayat (1) UU MK menjadi dalih tak dibolehkannya WNA memohon uji materil. MK itu tak setia pada UU. Dia harus setia pada UUD 1945, tegasnya. Oleh sebab itu, sependapat dengan Firman, ketentuan tersebut sangat mungkin untuk dikesampingkan.

 

Benny menjelaskan sikap MK ini inkonsisten dengan penafsiran MK terhadap pasal 50 UU MK. Pasal tersebut berbunyi Undang undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang undang yang diundangkan setelah perubahan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut sempat dikesampingkan oleh MK, walau pada akhirnya MK memutus pasal itu inskonstitusional atas permohonan dari Kadin (Kamar Dagang Industri) beberapa waktu lalu.

                      

Sebelum diohonkan Kadin, ungkap Benny, MK mengesampingkan pasal itu terkait perkara yang dimohonkan  hakim Pengadilan Negeri Padang, Machri Hendra. Pada saat itu, Machri memohon uji materil Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985. Dia menambahkan kewenangannya sendiri. Dan itu bisa, ujarnya. Alasannya pada waktu itu, Pasal 50 UU MK menghambat tugasnya dalam menegakan konstitusi, ungkapnya.

 

Sebagai catatan, pada saat mengesampingkan atau menghapus pasal 50 itu, MK mendapat kritikan dari berbagai kalangan. MK kala itu dianggap memperluas sendiri kewenangan. Sehingga, label MK sebagai lembaga superbody mulai disematkan. Benny menjelaskan bila mengacu pada Pasal 50, seharusnya ketentuan Pasal 51 ayat (1) bisa dikesampingkan oleh MK. Oleh sebab itu, Benny mengkritik sikap MK yang sering kali tak konsisten dalam setiap.

 

Firman mempunyai kesimpulan sendiri. Sama seperti Kadin yang pada akhirnya menguji Pasal 50, ia menyarankan usaha mencoba menguji pasal 51 ayat (1) masih perlu diupayakan. Agar UU yang mengatur WNA tak lagi kebal judicial review. Namun pertanyaannya, siapa yang mempunyai legal standing mengajukannya? toh yang dirugikan secara langsung, salah satu dari lima syarat mengajukan judicial review, dari UU tersebut hanya WNA.

 

Perdebatan konstitusionalitas hukuman mati seolah tuntas sudah pasca putusan MK atas pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Diwarnai perbedaan pandangan hakim, Mahkamah Konstitusi menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Perbedaan pandangan bukan hanya seputar eksistensi hukuman mati dalam hukum positif Indonesia, tetapi juga mengenai hak Warga Negara Asing (WNA) untuk mengajukan pengujian terhadap undang-undang Indonesia.

 

Pasal 51 ayat (1) Undang Undang Mahkamah Konstitusi secara tegas dan jelas menyatakan hanya perorangan atau kelompok Warga Negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh Undang Undang Dasar 1945 (UUD) sehingga dapat mengajukan permohonan uji materiil UU. Inilah yang mendasari pendapat MK, bahwa WNA tidak dapat mengajukan judicial review terhadap perundang-undangan Indonesia karena mereka tak memiliki legal standing.

 

Anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman menyesalkan pertimbangan MK tersebut. Menurutnya, tugas utama MK adalah menjaga dan melindungi setiap orang, termasuk WNA. Namun, dalam putusannya, MK menjelaskan hukum Indonesia masih memberikan perlindungan hukum bagi WNA. Bentuknya melalui upaya hukum seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK). Masalahnya, bagaimana bila hakim perkara banding, kasasi, dan PK mengacu pada UU yang dasarnya atau diduga inkonstitusional? 

 

Padahal faktanya, banyak sekali UU yang isinya mengatur atau berkaitan dengan kepentingan WNA. Apakah UU semacam itu bisa dimohonkan pengujian bila diduga bertentangan dengan UUD? Sulit, jawab Fulthoni, pengamat Mahkamah Konstitusi (MK) dari Indonesia Legal Resource Center (ILRC) Jakarta.

Tags: