Pengaruh Agama dalam Perumusan Hukum Nasional Sulit Dihindari
Berita

Pengaruh Agama dalam Perumusan Hukum Nasional Sulit Dihindari

Sejak 1959 hingga 1990-an, ranah perbendaharaan ilmu hukum acapkali memposisikan kata ‘syariah' dalam konotasi negatif.

Oleh:
Ali/Mys
Bacaan 2 Menit
Pengaruh Agama dalam Perumusan Hukum Nasional Sulit Dihindari
Hukumonline

 

Dalam konteks itu, Jimly membedakan syariah dalam pengertian fikih, dengan syariah dalam pengertian qanun. Jika dikaitkan dengan hukum nasional Indonesia, maka qanun identik dengan hukum negara berupa peraturan perundang-undangan yang bersumber pada UUD 1945. Sumber inspirasinya, jelas Jimly, adalah segala norma yang berkembang dan dikembangkan dari dunia ilmu hukum (fikih). Tetapi ia tak boleh bertentangan dengan keyakinan hukum dan keyakinan keagamaan segenap warga negara Indonesia. Sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan sendirinya tidak boleh ada hukum nasional yang bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh warga negara Indonesia, ujar Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

 

Jimly berpendapat aktualisasi hukum Islam –misalnya—adalah bagian dari proses pembangunan hukum nasional. Aktualisasi hukum Islam dia bedakan menjadi dua bentuk. Pertama, upaya pemberlakuan hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu yang berlaku khusus bagi ummat Islam. Contohnya, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan UU Peradilan Agama. Kedua, upaya menjadikan syariah Islam dan fikih  sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional.

 

Meskipun demikian, Jimly mengingatkan bahwa aktualisasi hukum Islam harus dilakukan secara sistemik dan tindakan nyata. Aktualisasi itu tidak cukup bahkan akan merugikan jika dilakukan sekedar aksi politik yang mengkampanyekan tuntutan pemberlakuan syariat Islam. Agar proses aktualisasi berlangsung dengan baik banyak masalah yang harus diselesaikan.

 

Peluang penerapan prinsip-prinsip syariah di mata  HM Amin Suma cukup besar. Tetapi, kata Dekan Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, aktualisasinya harus ditopang institusi-institusi kesyariahan. Dan yang terpenting, partisipasi para pemangku kepentingan di bidang kesyariahan. Jika tidak, aktualisasi itu mustahil dilakukan.

 

Dimanapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekuler, pengaruh agama dalam merumuskan kaedah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konstitusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekuler, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Bahkan ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Budhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar.

 

Pandangan itu disampaikan Guru Besar Ilmu Hukum yang juga mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dalam makalah yang dia sampaikan dalam seminar internasional ‘Islamic Law in Southeast Asia: Opportunity and Challange di Jakarta, Sabtu lalu. Hukum agama di sejumlah negara, termasuk Indonesia, adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Di sini, bukan hanya hukum Islam dalam pengertian syariah yang dijadikan sumber hukum, tetapi juga hukum adat dan hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan diterima masyarakat.

 

Mengingat hukum agama adalah hukum yang hidup dalam masyarakat maka negara tidak dapat merumuskan hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakatnya sendiri. Dalam merumuskan kaedah hukum positif lainnya, para perumus...harus pula merujuk pada faktor-faktor filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan kaedah-kaedah hukum yang hidup, jelas mantan Menteri Sekretaris Negara itu.

 

Senada dengan Yusril, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa pembangunan hukum nasional harus memperhatikan aspek dan tata nilai yang diyakini masyarakat Indonesia. Nilai agama adalah salah satu yang kuat dipegang masyarakat. Lantaran mayoritas penduduk beragama Islam, kata Jimly, maka wajar apabila Islam memiliki peran dan posisi dalam pembentukan hukum nasional.

 

Tetapi Jimly mengingatkan syariah Islam tidak perlu dan tidak boleh direduksi maknanya sekedar menjadi persoalan internal institusi negara. Bahwa hukum negara harus mencerminkan esensi keadilan berlandaskan Ketuhanan, memang sudah semestinya melalui prinsip hierarki dan elaborasi norma. Sumber norma yang mencerminkan keadilan bisa berasal dari mana saja, termasuk dari hukum agama tertentu. Sekali nilai-nilai yang terkandung dalam hukum agama itu diadopsi, maka sumber norma agama itu tidak perlu disebut lagi. Karena namanya sudah menjadi hukum negara yang berlaku umum secara nasional, tandas Jimly.

Halaman Selanjutnya:
Tags: