Dalam Eksaminasi, Putusan KPPU Soal Temasek Dinilai Cacat Hukum
Utama

Dalam Eksaminasi, Putusan KPPU Soal Temasek Dinilai Cacat Hukum

Akademisi menilai putusan itu cacat formil dan materil. Mereka menyatakan putusan itu patut dibatalkan secara hukum. KPPU menganggap eksaminasi baik untuk perkembangan hukum.

Oleh:
Sut
Bacaan 2 Menit
Dalam Eksaminasi, Putusan KPPU Soal Temasek Dinilai Cacat Hukum
Hukumonline

 

Majelis eksaminasi juga menyatakan KPPU salah menjatuhkan putusan dalam perkara itu karena telah melampaui kewenangannya. KPPU juga dianggap secara terang dan jelas melawan ketentuan dalam UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (dahulu UU No. 1/1995), UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, dan UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi.

 

Jika KPPU menyatakan terjadi pelanggaran kepemilikan silang oleh Temasek, majelis ekseminasi justru berpendapat sebaliknya. Secara sederhana, majelis eksiminasi berpendat pemegang saham Indosat adalah Indonesia Communication Limited (ICL) dan Indonesia Communication Pte (IC), yakni 41%, sisanya pemerintah Indonesia dan publik. Dengan demikian, kalaupun ICL dan IC bersama-sama memiliki saham Indosat, keduanya bukanlah pemegang saham mayoritas.

 

Disamping itu, ICL maupun IC bukan pemegang saham dari Telkomsel, sehingga tuduhan mengenai kepemilikan silang oleh ICL maupun IC tidaklah terbukti. Sebab, pengertian kepemilikan saham mayoritas adalah pihak yang memiliki saham lebih dari 50%.

 

Saham Telkomsel yang dimiliki oleh Singapore Telecom Mobile Pte Ltd (STM) sebesar 35%, dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) sebesar 65%. Karena itu, STM bukan pemegang saham mayoritas di Telkomsel maupun Indosat. Maka dari itu, kata majelis, unsur mayoritas dan unsur kepemilikan silang tidak terpenuhi.

 

Sementara mengenai unsur pelaku usaha, majelis berpendapat, Temasek tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan Telkomsel dan PT Indosat Tbk. Majelis menilai kemampuan itu hanya dimiliki oleh pemerintah. Disamping itu STT adalah badan hukum yang didirikan di Singapura dan tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Sehingga, unsur pelaku usaha sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 huruf 5 UU Anti Monopoli tidak terpenuhi.

 

Karena kekeliruan tersebut, majelis eksaminasi menilai putusan KPPU cacat hukum baik secara formil maupun materil, sehingga patut untuk dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dapat dibatalkan.

 

Direktur Indonesia Development Monitoring (IDM), Dwi Mardianto mengatakan eksaminasi bertujuan untuk menguji semua pertimbangan dan putusan yang dibuat KPPU dalam perkara Temasek. Apakah putusan itu sudah sesuai dengan UU Anti Monopoli atau tidak. Ternyata, majelis eksaminasi berkesimpulan putusan itu bertentangan dengan UU tersebut, papar Dwi di sela-sela paparan publik mengenai hasil eksaminasi di Jakarta, Jumat (14/12).

 

Eksaminasi ini, lanjut Dwi, juga bisa menjadi bahan bagi komisioner KPPU, hakim Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, yang memeriksa perkara persaingan agar tidak membuat keputusan yang merugikan masyarakat luas.

 

Sementara itu ketua majelis KPPU yang memutus perkara Temasek, Syamsul Maarif, menyambut gembira adanya eksaminasi yang dilayangkan oleh para akademisi itu. Silahkan kalau ada pihak yang mau eksaminasi. Itu bagus untuk perkembangan hukum di Indonesia, ujarnya kepada hukumonline, Jumat (14/12).

 

Hanya saja, katanya, KPPU dalam memutus perkara tersebut telah melalui berbagai pertimbangan dan analisa yang mendalam. Yang jelas putusan KPPU itu pasti lebih lengkap, dibandingkan eksaminasi yang menggunakan naskah akademik, katanya.

 

Mengenai upaya yang dilakukan oleh para terlapor yang ingin mengajukan keberatan di pengadilan, Syamsul menegaskan pihaknya tidak akan melakukan persiapan secara khusus. Sudah biasa kok putusan KPPU diajukan keberatan. Nanti, ada tim kita yang menangani di pengadilan, imbuhnya.

Eksaminasi terhadap putusan KPPU  No. 07/KPPU-L/2007 tentang dugaan Pelanggaran UU Anti Monopoli terkait kepemilikan silang oleh kelompok usaha Temasek Holdings, Pte. Ltd, dan praktek monopoli PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) akhirnya datang juga.

 

Delapan akademisi yang tergabung dalam majelis eksaminasi itu antara lain Ningrum Natasha Sirait (Universitas Sumatera Utara), Shidarta (Universitas Tarumanagara), Didie Sunardi (Universitas Pancasila), Fredi Harris (Universitas Indonesia), Gunawan Widjaya (Universitas Pelita Harapan), Arief Hidayat, Lapan Tukan Leonardo dan Budi Santoso (masing-masing dari Universitas Diponegoro). Selain akademisi pihak lain yang melakukan eksaminasi adalah Udin Silalahi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Dwi Mardianto dari Indonesia Developments Monitoring (IDM).

 

Dalam kesimpulannya majelis eksaminasi menyatakan keputusan KPPU tersebut mengandung cacat formil. Alasannya, pemeriksaan yang dilakukan, mulai dari pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan lanjutan hingga pembacaan putusan, telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 5/1999 tentang Larang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli) soal jangka waktu pemeriksaan.

 

Majelis mencontohkan, setelah 163 hari laporan tersebut masuk, ternyata KPPU belum membuat keputusan apapun terhadap laporan yang dilayangkan oleh FSP BUMN Bersatu pada 18 Oktober 2006. Padahal Pasal 39 Ayat (1) UU Anti Monopoli jelas mengatur KPPU wajib menetapkan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan dalam 30 hari setelah menerima laporan.

 

Artinya, kata majelis, paling lambat pada 17 November 2006 KPPU sudah harus menetapkan perlu pemeriksaan lanjutan atau tidak. Namun, hingga akhir Maret 2007, penetapan itu tak kunjung keluar.

Tags: