Sapta dan Conoco Kembali Berseteru di Meja Hijau
Utama

Sapta dan Conoco Kembali Berseteru di Meja Hijau

Majelis hakim memutuskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara ini. Pengacara Conoco bersikukuh, perkara ini semestinya diselesaikan di lembaga arbitrase.

Oleh:
Her
Bacaan 2 Menit
Sapta dan Conoco Kembali Berseteru di Meja Hijau
Hukumonline

 

Edward tak menjawab pertanyaan Todung. Ia mempersilahkan Conoco mengajukan banding. Ia menegaskan, dengan ditolaknya eksepsi Conoco, sengketa ini akan berlanjut hingga ke pokok perkara. Sidang akan dilanjutkan pada tanggal 8 Januari 2008 dengan agenda jawaban dari pihak tergugat, pungkas Edward.

 

Musuh bebuyutan

Bagi Sapta, Conoco tak ubahnya musuh bebuyutan. Tidak kali ini saja Sapta memaksa Conoco berseteru di meja hijau. Dalam perkara yang sama, setahun silam, keduanya pernah terlibat sengketa di PN Jakarta Pusat. Dalam putusan sela, ketika itu hakim juga menyatakan PN Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara ini. Hanya, pada putusan akhir, gugatan Sapta justru dinyatakan tidak dapat diterima. Alasan majelis, Sapta mencampuradukkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan wanprestasi.

 

Tujuh tahun silam, Sapta dan Conoco mulai bergandeng tangan. Keduanya sepakat bekerja sama untuk jasa pengelolaan alat-alat pembor (Rig Management Services). Kerja sama itu tertuang dalam kontrak bernomer TE 10707/RD tertanggal 1 Agustus 2001.

 

Sebagaimana terungkap di berkas gugatan, kontrak itu menyebutkan, kerja sama Sapta dan Conoco berdurasi tiga tahun, mulai 1 Agustus 2001, dengan nilai kontrak USD 58,4 juta. Tak lama ditandatangani, isi kontrak itu diamandemen. Kerja sama tidak lagi dimulai pada 1 Agustus 2001 tapi pada 24 Oktober 2001. Conoco juga merubah spesifikasi barang dan mengurangi pesanan rig.

 

Pihak Sapta menyatakan, amandemen itu dilakukan Conoco secara sepihak. Karena kami lemah dan memiliki itikad baik, kami menyetujui amandemen itu, ungkap R Andika Yoedistira, salah satu pengacara Conoco, dari kantor OC Kaligis & Associates.

 

Amandemen kontrak itu, imbuh Andika, menyebabkan tertundanya pengiriman rig dan pelaksanaan penyelesaian proyek secara keseluruhan. Di sisi lain, Conoco justru menilai Sapta telah menyalahi kontrak. Conoco pun membatalkan kontrak.

 

Secara keseluruhan, Pihak Sapta menuding Conoco telah melakukan delapan PMH. Sapta pun meminta ganti rugi materiil sebesar USD 27.184.807 dan Rp4,019 miliar. Selain itu, Sapta menuntut ganti rugi imateriil sebesar USD 100 juta.

 

Serupa tapi tak sama

Tak ingin mengulang kegagalan gugatan yang pertama, kali ini gugatan Sapta hanya terfokus kepada PMH. Sebenarnya hampir sama dengan gugatan pertama, tapi beberapa hal diperdalam lagi, ujar Andika.

 

Perbedaan lainnya, kali ini gugatan tidak diajukan oleh kurator Sapta, Randy Rizaldi, tapi oleh Prawito Ten. Ia adalah orang yang melunasi utang-utang Sapta saat perusahaan ini terbelit perkara pailit. Berkat Prawito, perdamaian antara kreditur dan debitur tercapai. Sapta pun urung dipailitkan. Segala hak dan kewajiban Sapta menjadi milik Prawito, kata Andika.

 

Meski demikian, bagi Conoco, gugatan pertama dan kedua ini tak ada bedanya. Karena berawal dari kontrak, mestinya bukan PMH, tapi wanprestasi, kata salah satu pengacara Conoco, Fredrik J Pinakunary. Ia pun optimis bakal memenangkan gugatan ini.

 

Todung Mulya Lubis keluar dari ruang sidang PN Jakarta Pusat, Selasa (18/12), dengan kening berkerut. Berkas eksepsi setebal 58 halaman yang ia susun ternyata tak membuahkan hasil. Dalam putusan sela, majelis hakim menyatakan, PN Jakarta Pusat berwenang mengadili gugatan yang diajukan PT Saptasarana Personaprima terhadap Conoco Philips.

 

Diketuai Edward Pattinasarani, majelis menegaskan, penyelesaian perkara ini bukan menjadi kompetensi lembaga arbitrase. Majelis mengakui, hubungan Sapta dengan Conoco dilandasi oleh sebuah kontrak. Hanya, kontrak itu mengalami perubahaan ketika diamandemen. Klausula arbitrase, tandas majelis, hanya terdapat di kontrak awal. Di kontrak yang telah diamandemen, klausula seperti itu tak ada. (Majelis—red) Menyatakan menolak eksepsi yang diajukan tergugat, kata Edward.

 

Sebelumnya, selaku kuasa hukum Conoco, Todung memang mengajukan eksepsi soal kewenangan absolut. Ia bersikeras perkara ini hanya bisa diselesaikan di lembaga arbitrase. Berdasarkan kontrak, apabila terjadi sengketa harus dibawa ke lembaga arbitrase, tuturnya.

 

Todung sempat mempertanyakan keputusan majelis, sebelum Edward memungkasi sidang. Kami mengajukan banding atas putusan sela yang dulu, tapi belum diputus. Dan kami pasti akan mengajukan banding untuk putusan sela yang sekarang. Bagaimana kalau banding kami yang dulu dikabulkan? ujar Todung.

Tags: