Lembaga Peradilan Dituding Turut Memberangus Kebebasan Pers
Berita

Lembaga Peradilan Dituding Turut Memberangus Kebebasan Pers

Tahun 2007 dinilai sebagai tahun kemunduran bagi Kebebasan pers. Hal itu ditandai dengan maraknya kekerasan terhadap pers. Baik oleh aparat penegak hukum, pemilik media dan pengusaha.

Oleh:
Mon/Ycb
Bacaan 2 Menit
Lembaga Peradilan Dituding Turut Memberangus Kebebasan Pers
Hukumonline

 

Dalam kasus lain, Hendra menjelaskan, terjadi pada Pimpinan Redaksi Tabloid Investigasi Eddy Sumarsono yang diancam pidana pasal 311 ayat (1) juncto 316 KUHP sebagai dakwaan primer dan subsider pasal 310 (2) juncto pasal 316 KUHP. "Eddy dituduh menyerang kehormatan dan mencemarkan nama baik Ismeth Abdullah selaku Kepala Otorita Batam," imbuhnya.

 

Dia menduga, walau UU Pers telah disahkan dan berlaku sejak tahun 1999, penegak hukum belum cukup memahami tentang delik pers. Mereka (aparat penegak hukum) tidak dapat membedakan delik pidana biasa dengan delik pers, terang Hendra. Selain itu, aparat penegak hukum dinilai belum memahami dan mendalami fungsi dan peran pers. Padahal dalam Pasal 6 UU No. 40/1999 Pers sudah jelas disebutkan, tegas Hendra.

 

Kepala Divisi Litigasi LBH Pers, Sholeh Ali menambahkan maraknya pengunaan KUHP dalam sengketa pers sengaja dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan para penguasa. Mereka berusaha mempengaruhi hakim, katanya.

 

Putusan pengadilan yang tidak memihak pada pers, lanjut Hendra, dikhawatirkan akan menimbulkan ketakutan bagi jurnalis dan media untuk menjalankan fungsi dan peran pers. Kami menghimbau agar penegak hukum menggunakan UU Pers dalam menyelesaikan sengketa pers, tegas Hendra.

 

LBH Pers juga merekomendasikan agar majelis hakim menolak perkara pers yang masuk ke pengadilan tanpa menggunakan dasar hukum UU Pers. Kami sering menyampaikan ini dalam pembelaan kami, kata Hendra. Terbukti dalam beberapa kasus, pembelaan itu diterima majelis hakim. Sebut saja kasus Majalah Tempo melawan Pasopati dan Majalah Tempo melawan Pemuda Panca Marga. Seharusnya ini dijadikan yurisprudensi, terang Hendra.

 

Kepolisian hendaknya menolak pengaduan terhadap sengketa pers bila belum diselesaikan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan UU Pers. Sengketa pers terlebih dulu harus diselesaikan di Dewan Pers, kata Ali menambahkan.

 

Kekerasan

Selain mendapat ancaman dari aparat penegak hukum, menurut catatan LBH Pers tahun 2007 jurnalis banyak mendapat ancaman kekerasan baik fisik maupun non fisik. Tahun 2007 kebebasan pers mengalami kemunduran yang signifikan, kata Hendra.

 

Sepanjang tahun 2007 kekerasan fisik yang menimpa pers berjumlah 20 kasus. Kekerasan itu berupa penganiayaan, pemukulan, pelemparan atau pengroyokan. Dilihat dari segi pelaku, militer dan aparat pemerintahan dinilai dominan melakukan kekerasan. Polisi dan TNI yang seharusnya melindungi jurnalis justru menjadi pelaku kekerasan, imbuh Muhammad Halim, Kepala Divisi Non Litigasi LBH Pers.

 

Jumlah kekerasan non fisik terjadi sebanyak 23 kasus. Biasanya berupa ancaman atau teror terhadap jurnalis atau perusahaan media. Gugatan perdata dan pemidanaan jurnalis juga masuk kategori kekerasan non fisik.

 

Redaktur Investigasi Majalah Tempo Metta Dharmasaputra mencatat ada pergeseran sumber ancaman. Menurut Metta, yang mengungkap dugaan penggelapan pajak Asian Agri, pada era Orde Baru kuli tinta terancam oleh penguasa dan laras senjata. Pada era reformasi, ancaman datang dari brutalisme massa. Tempo melawan Tommy Winata, buktinya, ujarnya dari sambungan telepon, Kamis (27/12). Saat ini, tantangan datang dari kalangan pengusaha. Hal yang paling baru, kekuatan uang jadi ancaman serius... uang bisa masuk ke semua lini, ke aparat, di ruang sidang, bahkan ke media. Kekuatan uang ini sulit disangkal, selorohnya.

 

Maklum, Metta baru saja dikeroyok soal objektivitasnya meliput Asian Agri, perusahaan milik konglomerat Sukanto Tanoto. Aparat kepolisian memperoleh kopian transkrip sms nomor hape Metta dengan berbagai pihak, untuk dalih mengail informasi. Padahal, sumber utama berita itu, Vincentius Amin Susanto sudah mendekam di balik jeruji. Kedua, para peneliti dari UGM dan UI menilai berita Metta tidak objektif. Peneliti tersebut disponsori oleh Asian Agri.

 

Metta juga diserang terlalu dekat dengan Vincent yang notabene turut tersandung hukum. Menurut Metta, melindungi narasumber tak cukup dengan merahasiakan identitasnya. Lebih jauh dari itu, jika dalam kondisi dilematis di mana narasumber sangat terancam, saya memilih berbuat sesuatu daripada berdiam diri, sambungnya. Menurut Metta beberapa waktu lampau, Vincent dan keluarganya menerima ancaman berat terkait masalah dugaan penggelapan pajak itu.

 

Karena sepak terjang investigatifnya menguak Asian Agri, Metta baru saja diganjar penghargaan Journalist of the Year dari organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Reformasi (PWI Reformasi). Metta meramalkan, untuk tahun depan, ancaman dari kalangan berduit tetap dominan. Untuk memerangi ancaman itu, setiap media harus mengandalkan laporan investigasi. Tak cukup hanya dengan jurnalisme omongan alias talking news, timpalnya.

 

Lembaga peradilan dituding turut menjadi pelaku dalam memberangus kebebasan pers. Indikasinya terlihat penggunaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai amunisi untuk menyelesaikan sengketa pers. Padahal sengketa pers telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

 

Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana dalam Catatan Akhir Tahun 2007. Lembaga peradilan justru membuat putusan-putusan yang kontroversial, tegas Hendra. Putusan perkara Soeharto versus Majalah Time contohnya. Lewat putusan tertanggal 28 Agustus 2007, Mahkamah Agung (MA) menghukum Majalah Time membayar ganti rugi sebesar Rp 1 triliun. "MA seharusnya menjadi benteng terakhir yang menjaga dan pelindingi kebebasan pers," katanya.

 

Dalam putusan kasasi no 3215/PDT/2001 itu, ujar dia, MA sama sekali tidak mempertimbangkan delik pers yang diatur dalam UU Pers. Padahal, sebelumnya Ketua MA Bagir Manan pada suatu kesempatan berjanji akan menggunakan UU Pers dalam menyelesaikan delik pers.

 

Begitu juga dengan kejaksaan, lanjutnya, dalam membuat dakwaan tuntutan juga berperan dalam menentukan nasib wartawan dalam terjadinya sengketa pers. Walaupun, semua kasus tersebut pada akhirnya ditentukan di tangan hakim. "Dan yang sangat menyedihkan hakim pun turut menodai kebebasan pers," tandasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: