KUHP Masih Menjadi Momok Kebebasan Pers
Catatan Akhir Tahun:

KUHP Masih Menjadi Momok Kebebasan Pers

Kalangan pers menyayangkan aparat kepolisian maupun kejaksaan getol memainkan KUHP untuk menjerat wartawan. Di satu sisi, media sendiri juga belum mampu mengamalkan hakikat kemerdekaan pers.

Oleh:
Ycb
Bacaan 2 Menit
KUHP Masih Menjadi Momok Kebebasan Pers
Hukumonline

 

Alamudi memahami banyak publik yang belum puas atas kinerja media. Alasannya, masih banyak pers yang asal-asalan menyalahgunakan kebebasan pers tersebut. Dari 829 media cetak yang ada, baru 30% yang benar-benar sehat. Sisanya, sebagian sakit dan sebagian, tinggal tunggu waktu wafat, celetuk Alamudi.

 

Dengan kualitas jurnalis yang di bawah bandrol, banyak pengusaha media yang mendirikan nawala hanya untuk kepentingan politik dan ekonomi. Pendek kata, mereka hendak memeras atau ingin mendapatkan proyek. Terutama pers daerah yang mengancam pengusaha lokal dengan isu penggelapan pajak, tutur Alamudi memberikan contoh.

 

Jika motif pemerasan yang berkelindan, KUHP memang lebih tepat. Namun, jika masalahnya adalah etika jurnalistik, gunakan UU Pers dan serahkan kepada Dewan Pers. Ciri negara demokratis adalah jurnalis yang bebas dari ancaman penjara, sambung Alamudi.

 

Dua bulan lalu, Dewan Pers sudah menyodorkan rancangan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU) dengan pihak kepolisian. Isinya, yah itu tadi. Jika ada keluhan publik soal pemberitaan, harus dipilah menjadi dua golongan. Pertama, jika berkenaan dengan etika jurnalistik, diselesaikanlah lewat Dewan Pers. Atau, jika berkaitan dengan kriminal-pemerasan, hal ini porsi kepolisian dan kejaksaan untuk menerapkan KUHP. Sayang draft MoU tersebut belum kelar. Saya harap bulan depan bisa dibahas lagi, ujar Alamudi.

 

Situasi Asia Tenggara

Aliansi Pers Asia Tenggara (Southeast Asian Press Alliance, Seapa) berpendapat setali tiga uang. Alert Coordinator Chuah Siew Eng menilai KUHP (Criminal Code) lebih dominan daripada UU Pers (Press Law). Hal ini, meninggalkan jurnalis pada posisi yang rentan, tulisnya dalam sebuah rilis yang diterima oleh Hukumonline, Jumat (28/12).

 

Seapa memberi contoh palu kasasi Mahkamah Agung (MA) yang justru memukul Majalah Time. Bertolak belakang dari dua putusan pengadilan di bawahnya, MA justru memenangkan gugatan mantan presiden Soeharto yang senilai AS$106 juta (setara setriliun rupiah).

 

Seapa menilai kemerdekaan pers di ranah Asia Tenggara belum tumbuh subur. Terutama di Burma. Junta militer sempat membungkam akses internet tatkala kondisi sedang bergolak beberapa bulan lalu. Sensor dan kontrol ketat berlaku bagi media yang hendak meliput di negeri Aung San Suu Kyi ini.

 

Organisasi yang berdiri pada November 1998 ini juga mencatat Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo pada akhir Desember ini memberangus sebuah stasiun radio. Tuduhannya, penghinaan terhadap pemerintah dan negara.

 

Memasuki tahun 2008, kondisi kebebasan pers masih tidak stabil, teriak anggota Dewan Pers Abdullah Alamudi dari balik telepon, Jumat (28/12). Pasalnya, menurut Alamudi, masih banyak pihak yang enggan menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). Masyarakat, terutama aparat kepolisian dan kejaksaan lebih suka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sambungnya.

 

Bahkan, pemerintah via Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) sempat menghembuskan wacana revisi UU Pers. Kala itu, Menteri Sofjan Djalil (kini Menteri Negara BUMN) hendak menghidupkan kembali sensor dan bredel. Kalangan parlemen pun masih ogah menggunakan UU Pers, tuding Alamudi.

 

Namun, Menkominfo Muhammad Nuh, pengganti Sofjan, menyerahkan kembali urgensi revisi ini kepada kalangan pers. Jika demi penguatan peran pers, ayo kita revisi. Tapi kalau untuk menambah kontrol dari negara, dengan tegas kita tolak, tukas Alamudi.

 

Organisasi profesi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada beberapa kasus kriminalisasi pers. Pihak kejaksaan menyeret kolumnis Koran Tempo Bersihar Lubis ke Pengadilan Negeri Depok. Mantan Pemimpin Umum Radar Jogja Risang Bima Wijaya dan Pemimpin Redaksi Tabloid Oposisi Medan Dahri Uhum Nasution juga berujung ke jeruji besi. Umumnya mereka berhadapan dengan pasal 'pencemaran nama baik' dan 'kejahatan menyerang kehormatan', tulis Ketua Umum Heru Hendratmoko dan Ketua Divisi Advokasi Eko Maryadi, dalam sebuah rilis, Jumat (28/12).

 

AJI merekam kekerasan yang dialami oleh kuli tinta meningkat. Jika tahun lalu terdapat 53 kasus, saat ini justru terjadi 75 kejadian. Jakarta merupakan tempat yang paling rawan, dengan adanya 17 kasus.

Tags: