Terabaikannya Tobacco Warning Labels
Berita

Terabaikannya Tobacco Warning Labels

Hingga sekarang pemerintah belum membuat produk hukum yang secara komprehensif mengatur industri rokok. Para perokok makin tak peduli dengan peringatan pemerintah. Kemenangan bagi industri rokok?

Oleh:
Lut/IHW
Bacaan 2 Menit
Terabaikannya <i>Tobacco Warning Labels</i>
Hukumonline

 

Melihat perjuangan berat yang dilakukan anggota dewan yang tergabung dalam IPF, kalangan LSM tidak tinggal diam. Aksi teranyar mereka adalah menyoroti masalah Tobacco Warning Labels atau peringatan kesehatan di bungkus rokok. Peringatan ini sudah diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.

 

Pasal 8

(1)   Peringatan kesehatan pada setiap label harus berbentuk tulisan.

(2)   Tulisan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.

 

Pasal 9

(1)     Tulisan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dicantumkan dengan jelas pada label di bagian kemasan yang mudah dilihat dan dibaca.

(2)     Tulisan peringatan kesehatan dicantumkan pada salah satu sisi lebar setiap kemasan rokok, dibuat kotak dengan garis pinggir 1 (satu) mm, warna kontras antara warna dasar dan tulisan, ukuran tulisan sekurang-kurangnya 3 (tiga) mm, sehingga dapat jelas dibaca.

 

 

Gerakan yang dimotori oleh Tobacco Control Support Center—Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC—IAKMI) menyoroti bahwa peringatan itu sangat tidak efektif. Fakta ini diperkuat dengan hasil survei Pusat Penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat UI (FKMUI).

 

Survei yang melibatkan 1239 responden di daerah urban dan rural, Jakarta dan Cirebon yang dilakukan pada Maret 2007 menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat pernah membaca peringatan kesehatan di bungkus rokok. Namun, sebagian besar mereka tidak percaya akan kebenaran isi peringatan kesehatan yang ada. Selebihnya, mengatakan peringatan itu belum terbukti, peringatannya tidak jelas dan tidak peduli karena mereka terlanjur ketagihan.

 

Fakta yang demikian buruk kata Executive Secretary Pusat Penelitian FKMUI Rita Damayanti salah satunya disebabkan pesan yang tidak pernah diganti dan tidak ada ketentuan luasnya ukuran peringatan kesehatan. Padahal, jika dibandingkan dengan Singapura, dengan merek rokok yang sama dan diproduksi oleh industri yang sama ternyata kemasannya berbeda.

 

Rokok merek Mild produksi HM Sampoerna yang dijual di Singapura ternyata separuh permukaan permukaan lebar berisi peringatan kesehatan berupa gambar dengan pesan tunggal. Sedangkan Mild Sampoerna di Indonesia, peringatan itu hanyalah tulisan kecil pada permukaan belakang bungkus rokok.

 

Jelas sekali kalau Indonesai belum memiliki aturan tentang peringatan kesehatan seperti yang sudah berlaku di banyak negara. Tanpa adanya peraturan pemerintah tentang bentuk, ukuran dan jenis peringatan kesehatan, industri tembakau akan cenderung menggunakan tempat yang terbatas untuk kepentingan promosi produk. Mereka juga menerapkan standar ganda, katanya usai memaparkan hasil survei di kantor Yayasan Kanker Indonesia Jakarta, Selasa (8/1)

 

Padahal, jika melihat hasil survei, ternyata lebih dari 76 persen responden, baik perokok maupun bukan perokok menginginkan pesan kesehatan berbentuk gambar dan tulisan. Bahkan, Mereka mengusulkan gambar yang spesifik, informatif dan menakutkan, ujarnya.

 

Cengkeraman

Tulus Abadi, anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempunyai penilaian tersendiri terhadap lemahnya aturan di industri rokok. Bagi Tulus, industri rokok di Indonesia mempunyai dimensi kepentingan yang amat luas, nyaris tak terbatas.

 

Hampir tidak ada sisi kehidupan yang ‘suci' dari sentuhan ‘tangan kuasa' industri rokok. Sektor ekonomi, keuangan, sosial, budaya, pendidikan, pentas musik, olahraga, dan pesta politik pun tidak menggeliat jika tidak disentuh oleh ‘raja midas', industri rokok. Jalannya roda pemerintah ini pun amat bergantung pada injeksi industri rokok. Efek candu yang diciptakan dan menimbulkan ketergantungan kronis ini seolah menegasikan semua aspek eksternalitas rokok, ujarnya.

 

Ketika dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan akibat rokok begitu menggawat, ironisnya hingga detik ini pemerintah belum membuat produk hukum yang secara komprehensif mengatur industri rokok. Bagaimanapun industri rokok adalah industri yang memproduksi dan memasarkan ‘barang bermasalah'.

 

Saat ini masalah bahaya rokok hanya diatur oleh PP No.19/2003, yang merupakan turunan dari Pasal 44 UU Kesehatan. Namun, faktanya, PP ini nyaris tidak bisa ‘mematuk' siapa pun yang melanggarnya, termasuk pelanggaran jam tayang iklan rokok oleh media massa. Pun, secara historis-politis, proses pembahasan PP ini justru didikte oleh industri rokok. PP 19 itu sangat kental adanya cengkeraman industri rokok, tandasnya.

 

Dalam PP No. 19/2003, pemerintah tidak menentukan kandungan kadar nikotin sebesar 1,5 miligram (mg) dan kandungan kadar tar sebesar 20 mg pada rokok kretek, sebagaimana diatur dalam PP No. 81/1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.

 

Menurut Tulus, tidak adanya batas maksimal kadar nikotin dan tar pada rokok merupakan ancaman yang membahayakan bagi perokok pasif. Untuk itu, pemerintah harus lebih tegas dan konsisten terhadap pengaturan masalah rokok dan meninjau kembali PP No.19/2003.

 

Pengaturan lain yang merupakan bukti intervensi industri rokok adalah penambahan media tayang iklan rokok. Kalau di PP sebelumnya hanya diatur di media cetak dan media luar ruang, maka di PP 19 tersebut ditambah media elektronik.

 

Bertanggung Jawab

Tidak jelasnya soal pengaturan di industri rokok berimbas ketika seseorang penikmat rokok merek Mild menggugat HM Sampoerna, sebagai produsen rokok Mild. Perdebatannya mengerucut soal tanggung jawab pelaku usaha jika rokok bikinannya merugikan konsumen.

 

Menurut Prof. Tan Kamello, Pakar Hukum Perjanjian dari USU, bahwa setiap kegiatan atau produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha yang mengakibatkan kerugian kepada konsumen, maka pelaku usaha harus bertanggung jawab terhadap konsumen.

 

Jika ada peringatan di bungkus rokok, bagi Kamello itu merupakan eksoneratif clausul. Artinya kurang lebih pembatasan atau pengalihan tanggung jawab si pelaku usaha. Tetap saja itu tidak dapat dibenarkan karena merugikan kepentingan konsumen, tandasnya.

 

Pendapat senada di lontarkan oleh Sudaryatmo. Anggota Pengurus Harian YLKI ini berujar, Setahu saya yang memberi peringatan itu pemerintah, bukan pelaku usaha. Jadi pelaku usaha tetap harus bertanggung jawab. Kata-kata peringatan itu tidak menjadikan pertanggungjawaban pelaku usaha dialihkan kepada konsumen.

 

Kalaupun peringatan yang tertera itu adalah bikinan pelaku usaha, pelaku usaha tetap harus bertanggung jawab. Karena itu tidak menunjukkan bahwa pelaku usaha sudah memberikan informasi yang benar kepada konsumen. Melainkan pelaku usaha hanya menjalankan kewajiban yang ditetapkan pemerintah untuk mencantumkan peringatan itu di bungkus rokoknya, demikian Sudaryatmo.

Kampanye anti rokok tak henti-hentinya disuarakan. Sejumlah LSM menggelar berbagai aksi. Mulai dari seminar, lokarkarya, hearing dengan anggota DPR dan pejabat pemerintahan hingga demonstrasi memasang spanduk maupun menyebar poster dan stiker. Tema sentralnya adalah ‘100% Smoke-free Environments'.

 

Seluruh aksi ini tak lain adalah untuk memberi dukungan kepada kalangan anggota DPR yang concern memperjuangkan agar segera disahkannya RUU Penanggulangan Dampak Tembakau (RUU Tembakau) bagi Kesehatan.

 

Seperti diketahui RUU Tembakau ini mandeg di level rapat paripurna badan legislatif (Baleg). Dan, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2008, RUU Tembakau ini lagi-lagi tidak masuk. Meski demikian, Perjuangan kami bukan berarti tidak ada kemajuan, ujar Hakim Sorimuda Pohan, anggota Komisi IX DPR RI kepada Hukumonline di Jakarta, Selasa (8/1).

 

Hakim memaparkan tekad rekan-rekannya yang tergabung dalam Forum Parlemen Indonesia (Indonesian Parliament Forum-IPF) yang menelurkan RUU Tembakau ini untuk melakukan revisi Prolegnas 2008. Itu perjuangan kami selanjutnya, tandas Hakim.

 

Pernyataan Hakim bukan tanpa alasan. Perjuangan menggolkan RUU Tembakau yang sudah memperoleh 230 dukungan dari anggota DPR ternyata tidak mudah. Pada periode 2005 dan 2006, RUU Tembakau ini sama sekali tidak digubris oleh Baleg meski sudah dilengkapi dengan naskah akademis. Lalu pada 2007, RUU ini disepakati untuk dibahas di Baleg. Dan, di akhir 2007 lalu, pada Rapat Paripurna Baleg diputuskan RUU Tembakau tidak masuk Prolegnas 2008.

Tags: