Kelebihan Berat Badan Tak Bisa Jadi Dasar PHK Sepihak
Utama

Kelebihan Berat Badan Tak Bisa Jadi Dasar PHK Sepihak

Surat keputusan direksi Garuda Indonesia Airlines yang menghukum awak kabin yang overweight, dianggap sebagai kebijakan sepihak perusahaan.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Kelebihan Berat Badan Tak Bisa Jadi Dasar PHK Sepihak
Hukumonline
Anda pernah menonton film Barat berjudul 'View from the Top'? Film yang diproduksi pada 2003 itu berkisah tentang perjuangan seorang gadis ndeso untuk menjadi seorang pramugari. Walhasil sepanjang film, penonton 'disuguhi' pemandangan gadis-gadis nan cantik, molek dan bertubuh langsing. Dipastikan tidak ada perempuan yang bertubuh agak melebar sebagai pramugari dalam film itu.

Entah bagaimana ceritanya hingga gambaran mengenai pramugari yang ideal seperti yang ditunjukan dalam film itu, juga diterapkan di Indonesia. Di berbagai potongan iklan di media cetak maupun elektronik dipastikan kita akan selalu mendapati sosok pramugari yang sangat mempesona. Dan hampir dipastikan juga kita tidak akan pernah mendapati pramugari yang secara fisik 'tidak enak dipandang'.

Mungkin berangkat dari kondisi itu, PT Garuda Indonesia Airlines (GIA) juga ingin terus meningkatkan  pelayanan yang prima kepada masyarakat dengan berbagai cara termasuk meningkatkan 'kualitas' pramugarinya. Walhasil, pada Agustus 2005, Direktur Strategi dan Umum GIA mengeluarkan surat keputusan (SKEP) bernomor 5169.

SKEP itu bertajuk Persyaratan Jabatan Awak Kabin yang didalamnya diatur mengenai kriteria postur ideal awak kabin -Pramugari dan Pramugara- di GIA. Agar lebih konkret, SKEP itu melampirkan tabel postur tubuh proporsional. Selain SKEP juga mengatur mengenai 'sanksi' bagi awak kabin yang gagal memenuhi kualifikasi tabel, yaitu dengan perintah grounded alias tidak boleh terbang selama 3 bulan dan bisa diperpanjang untuk sebulan kemudian.

Praktis selama 4 bulan sang awak 'yang  tidak indah' itu hanya bisa mejeng di rumah saja. Konsekuensinya, mereka harus rela gajinya dipotong sekian persen. Lewat masa 4 bulan itu, si awak kabin harus mengikuti tes ukur berat badan. Kalau tetap tidak lolos, si awak kabin dimutasikan ke posisi lain. Itu pun jika ada formasi yang lowong. Jika tidak ada posisi yang kosong,  awak kabin harus mengundurkan diri tanpa hak apapun.

PHK sepihak?
SKEP yang mulai efektif diberlakukan per awal Januari 2006 itu akhirnya memakan korban. Sekian orang pramugari dan pramugara di-grounded selama 4 bulan. Selepas itu ada beberapa yang bisa lolos tes hingga bisa diijinkan 'terbang' lagi. Namun ada juga yang dimutasikan ke posisi lain.

Naas bagi Ariesty Andriani, Paula Catharina (keduanya pramugari) dan Andreas Klavert (pramugara).  Ketiganya gagal tes setelah digrounded 4 bulan. Sialnya lagi, tidak ada formasi yang lowong saat itu. Walhasil, mereka beroleh 'surat cinta' dari perusahaan yang isinya agar mereka mengundurkan diri.

Merasa haknya dilecehkan, ketiganya kemudian mengadu pada Ikatan Awak Kabin Garuda Indonesia (IKAGI).  Dari beberapa orang, cuma tiga orang ini saja yang berani mengadu kepada kita, terang Dewi Anggraeni, Sekjen IKAGI kepada hukumonline melalui gagang telepon, Sabtu (1/3). Menurut IKAGI, tindakan GIA ini adalah bentuk PHK sepihak.

Dewi menceritakan, IKAGI sudah berusaha merundingkan secara bipartit atas permasalahan ini, namun buntu. Ketika berlanjut ke mediasi, Disnakertans DKI Jakarta pada Agustus 2007 menganjurkan agar perusahaan memperkerjakan kembali dengan posisi yang berbeda. Buat kami anjuran Disnakertans terlihat aneh. Di satu sisi menyuruh perusahaan mempekerjakan kembali. Tapi di sisi lain anjuran itu kami anggap sebagai perintah mutasi, ungkapnya. Karena tidak puas, IKAGI kemudian melayangkan gugatan perselisihan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta.

Dalam gugatannya, IKAGI menuntut agar PHK dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. SKEP 5169 juga diminta untuk dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu, IKAGI menuntut agar ketiga awak kabin itu dipekerjakan kembali dengan dipulihkan hak-haknya seperti sedia kala.

Tidak Mengikat
Setelah persidangan berlangsung beberapa lama, tiba saatnya bagi majelis hakim yang diketuai Lexsi Mamonto mengetukan palu putusan. Dalam persidangan yang digelar pada Kamis (28/2), Lexsi memutuskan untuk mengabulkan sebagian gugatan IKAGI.

Pada putusannya hakim menyatakan penghentian hubungan kerja yang dilakukan GIA tidak sah. Karena tidak sah, maka PHK dan SK penghentian kerja yang dikeluarkan perusahaan menjadi batal demi hukum, cerita Dewi.

Amar putusan hakim yang membatalkan PHK itu ternyata berangkat dari argumen bahwa SKEP 5169 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hakim menyatakan bahwa SKEP itu telah cacat formal dan materil sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat lagi, sambung Nurisnaini, Biro Hukum IKAGI, di ujung telepon.

Cacatnya SKEP, lanjut Dewi, adalah karena SKEP dipandang sebagai kebijakan sepihak yang dikeluarkan oleh perusahaan. Serikat pekerja tidak pernah dilibatkan untuk membahas SKEP itu, bebernya. Selain itu, penerbitan SKEP juga dianggap sebagai tindakan melenceng dari perusahaan. Pasalnya, baik  perjanjian kerja maupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tidak pernah mengatur mengenai sanksi bagi awak kabin yang 'berlebih' secara fisik. Hanya demi alasan estetika, awak kabin dipecat dengan melanggar PKB.

Dihubungi terpisah, Ina Ratnawulan, kuasa hukum GIA membantah pernyataan Dewi. Menurutnya, aturan mengenai larangan terbang (grounded) bagi awak kabin yang overheight tidak semata-mata demi alasan estetis. Tapi juga kesehatan. Bagaimana kalau awak kabin yang karena overheight terkena serangan jantung saat di udara? jawabnya.

Selain itu, Ina juga menjelaskan bahwa aturan mengenai larangan overheight sebenarnya sudah sejak lama diatur. SKEP tahun 2005 itu hanya menyempurnakan saja dari SKEP yang sudah ada jauh sebelumnya, imbuhnya.

Mengenai hal itu, Dewi kembali menyanggah. Memang sudah ada. Namun standar ukuran badan proporsional itu selama ini mengacu pada ketentuan WHO. Tapi sejak tahun 2006 Garuda mengeluarkan aturan sendiri. Sebagai contoh, saya yang memiliki tinggi badan 163 cm, kalau mengacu pada ketentuan WHO maka berat ideal saya adalah 68 kg. Tapi kalau memakai data perusahaan, maka berat saya harus 58 kg, tandasnya.
Tags: