Pelaksanaan Adopsi Harus Dipantau
Berita

Pelaksanaan Adopsi Harus Dipantau

PP No. 54 Tahun 2007 menyerahkan pengawasan pelaksanaan adopsi kepada pemerintah dan masyarakat. Tetapi pengawasan pasca adopsi sangat kurang.

Oleh:
CRR/Mys
Bacaan 2 Menit
Pelaksanaan Adopsi Harus Dipantau
Hukumonline

 

Bagi Purnianti, keberadaan lembaga pemantau atau pengawas merupakan keniscayaan. Misalnya jika terjadi permohonan adopsi WNA terhadap tiga anak yang berbeda suku di Indonesia. Kasus semacam ini pasti menimbulkan tanda tanya: Apa motif mereka untuk mengadopsi ke-3 anak dari suku yang berbeda itu? Mengapa mesti 3 anak? Apakah cuma karena ingin menolong orang miskin? Kenapa tidak anak-anak lain yang diadopsi, masih banyak anak miskin yang bisa diadopsi? Lembaga pemantau bisa menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu lebih dalam. Siapa tahu adopsi yang mereka lakukan adalah untuk percobaan atau keperluan lain.

 

Menurut Joni, pengangkatan anak sebenarnya menyangkut perubahan status legal seseorang. Oleh karena itu, persyaratan adopsi dirinci sedemikian rupa sehingga proses hukum dan akibat hukumnya juga diketahui. Termasuk status hubungan hukum antara anak dengan orang tua biologisnya sekalipun ia sudah puluhan tahun di tangan orang tua angkat.

 

Pemerintah dan masyarakat

Sesuai amanat UU Perlindungan Anak, PP No. 54 Tahun 2007 mengatur pengawasan pelaksanaan adopsi. Berdasarkan beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, pengawasan dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini Departemen Sosial) dan masyarakat. Sejalan dengan pandangan Purnianti, beleid ini juga menegaskan bahwa pengawasan diperlukan untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan atau pelanggaran dalam proses adopsi.

 

PP ini menguraikan siapa saja atau lembaga mana saja yang layak diawasi, yakni orang perseorangan, lembaga pengasuhan, rumah sakit bersalin, praktek-praktek kebidanan, dan panti sosial pengasuhan anak. Terhadap orang perorangan dan lembaga pengasuhan dilakukan karena dalam beberapa kasus terungkap adanya jual beli bayi, bahkan oleh lembaga pengasuhan anak berkedok yayasan.

 

Mestinya, petugas sosial dari Departemen Sosial melaporkan kelaikan calon orang tua angkat dan perkembangan anak setelah diangkat. Lalu, bagaimana pekerja sosial mengawasi anak-anak Indonesia yang sudah diadopsi oleh WNA? Apakah negara mau menyediakan dana?

 

Berdasarkan pasal 40 PP No. 54/2007, Pemerintah lebih menunggu kerelaan orang tua angkat untuk melaporkan perkembangan anak adopsinya ke perwakilan Indonesia di luar negeri. Minimal sekali dalam satu tahun hingga anak tersebut berusia 18 tahun.

 

Tapi Purnianti meragukan proses normatif itu bisa dijalankan. Apalagi mengingat koordinasi antar instansi Pemerintah yang relatif kurang. Bahkan instansi Pemerintah bisa kehilangan kontrol kalau si anak sudah menjadi warga negara asing, mengikuti kewarganegaraan orang tua angkatnya.

 

Pengangkatan anak Indonesia oleh warga negara asing (WNA) atau warga negara Indonesia seyogianya tak perlu menjadi persoalan kalau masing-masing pihak menyadari hak dan kewajibannya. Heboh adopsi anak Indonesia oleh WNA yang menjadi dasar terbitnya Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tak perlu terjadi kalau fungsi pengawasan adopsi berjalan.

 

Masalahnya, menurut kriminolog Purnianti, fungsi pengawasan baik pra, sedang maupun pasca adopsi sangat kurang. Sebelum disahkan, pengadilan harus merasa yakin atas alasan-alasan calon orang tua angkat untuk mengadopsi seorang anak. Setelah diadopsi, lembaga pemantau atau pengawas harus melakukan kontrol secara berkala. Seharusnya kita memiliki lembaga yang memantau pra dan pasca diadopsinya anak, ujar staf pengajar kriminologi Universitas Indonesia itu.

 

Proses persidangan adopsi anak Indonesia oleh WNA di PN Jakarta Selatan tiga pekan lalu yang berlangsung singkat dan jauh dari hiruk pikuk membuktikan kurangnya pengawasan. Demikian pula kasus lolosnya adopsi ilegal bocah asal Tegal bernama Trsitan Dowse ke luar negeri.

 

Menurut Purnianti, jika lembaga pemantau dimaksud ada dan menjalankan tugas dengan baik, maka kondisi anak yang diadopsi bisa terkontrol. Sehingga apabila ada 'ketidakberesan' akan segera tercium dan orang tua angkatnya dapat diminta pertanggunggjawaban. Purnianti menyayangkan belum adanya lembaga pengawasan adopsi.

 

Padahal, menurut Wakil Ketua Komnas Perlindungan Anak, M. Joni, keberadaan lembaga pengawas adopsi juga diperintahkan oleh UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Protokol internasional juga sudah mengintrodusir lembaga sejenis.

Tags: