Ketika 'Mahkamah' Diadili Pengadilan
Berita

Ketika 'Mahkamah' Diadili Pengadilan

Meski tidak mendapat izin dari pemegang hak cipta, terdakwa tetap mengalihwujudkan dan menjual 'Mahkamah' kepada publik.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Ketika 'Mahkamah' Diadili Pengadilan
Hukumonline

 

Setelah mengalihwujudkan 'Mahkamah' ke dalam bentuk bunga rampai, aktivitas Yayasan Lontar tidak berhenti di situ saja. Antologi Drama Indonesia kemudian diluncurkan bersamaan pada ajang pameran Indonesia Book Fair 2006 yang dihelat di Jakarta. Pada saat pameran itu, keempat jilid dari buku itu dijual dengan harga Rp200 ribu dengan diskon sebesar 10 persen.

 

Sebagai ahli waris pencipta, Mutiara Sani, merasa haknya dikangkangi Adila dan Yayasan Lontar. Alhasil, ia melaporkan Adila ke Polda Metro Jaya pada Februari 2007 lalu. Setelah lebih dari setahun, laporan Mutiara itu akhirnya berlanjut ke persidangan.

 

Dalam persidangan persana, jaksa Sukamto menjerat Adila dengan dakwaan kumulatif. Pada dakwaan pertama, Adila dianggap melanggar pasal 72 Ayat (1) UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Singkatnya, dalam dakwaan ini, Adila dinilai tidak memiliki hak untuk memperbanyak dan mengumumkan 'Mahkamah' tanpa seizin pemegang hak ciptanya. Ancaman hukuman yang dikenakan berdasarkan pasal ini adalah pidana penjara antara 1 bulan hingga 7 tahun dan atau pidana denda berkisar Rp1 juta hingga Rp5 miliar.

 

Dalam dakwaan kedua, Adila dianggap bersalah karena telah menjual buku Antologi yang memuat 'Mahkamah' itu kepada publik. Rumusan tindak pidana Adila ini menurut JPU sesuai dengan ketentuan pasal 72 Ayat (2) UU Hak Cipta dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan atau pidana denda maksimal sebesar Rp500 juta.

 

Sayang, hingga berita ini diturunkan, hukumonline tidak berhasil mendapatkan konfirmasi dari Panji Prasetyo, kuasa hukum Adila. Ketika dicegat sebelum persidangan pun, ia enggan menjawab pertanyaan wartawan.

 

Sekelumit tentang 'Mahkamah'

(Alm) Asrul Sani mungkin lebih dikenal sebagai penulis skenario film Jenderal Naga Bonar (1988). Namun, 'Mahkamah' ciptaannya sudah ditayangkan TVRI sejak 1984. Baru kemudian pada 1988, 'Mahkamah' untuk pertama kalinya dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta. Terakhir, 'Mahkamah' kembali dipentaskan pada 2007 lalu sekaligus mengenang 3 tahun wafatnya Asrul Sani.

 

'Mahkamah' bercerita tentang seorang pensiunan Jenderal bernama Saiful Bahri, yang merasa hidupnya di dunia akan berakhir karena penyakit yang dideritanya. Menjelang ajalnya, ia terbebani dua hal. Pertama, soal posisinya di kantor yang mulai jadi rebutan bawahannya. Kedua, pengalaman masa lalunya di mana ia pernah menjatuhkan hukuman mati atas diri sahabatnya bernama Kapten Anwar dalam sebuah pengadilan medan perang.

Diolah dari berbagai sumber

 

Seputar Hak Ekonomi?

Dihubungi terpisah, M Yogi Widodo, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hak atas Kekayaan Intelektual (YLBHKI) menerangkan bahwa di dalam hak cipta melekat dua jenis hak, yaitu hak moral (moral rights) dan hak ekonomi (economic rights). 

 

Bagian Umum dari Penjelasan UU Hak Cipta

Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan.

 

Dalam konteks perkara ini, M Yogi Widodo mempertanyakan sejauh mana Yayasan Lontar menempatkan pencipta asli 'Mahkamah' dalam buku itu. Kalau memang mencantumkan nama almarhum Asrul Sani sebagai pencipta, menurut saya, terdakwa tidak melanggar hak moral si pencipta, terang Yogi, demikian ia disapa.

 

Yogi menduga bahwa adanya tuntutan pidana melalui Mutiara Sani ini berasal dari masalah ketidaksepakatan mengenai hak ekonomis. Hak ekonomis ini seharusnya juga dipertimbangkan oleh terdakwa sebagai pengalih wujud. Apa lagi kalau benar buku itu dikomersilkan? Dia juga harus membayarnya, singgung Yogi.

 

Pernyataan Yogi itu cukup menggelitik. Pasalnya, dari sekian banyak naskah drama yang terangkum dalam Antologi itu, mengapa hanya 'Mahkamah' yang bermasalah. Apakah naskah drama yang lain tidak ada penciptanya sehingga tidak butuh izin penciptanya? Atau masalah hak ekonomis tidak mencuat dalam naskah drama yang lain? Kita simak saja bagaimana jawaban dari terdakwa di persidangan nanti.

 

 

Sebuah mahakarya tampaknya memang ditakdirkan menjadi rebutan atau minimal menjadi pangkal sengketa. Sebut saja misalnya lukisan Sultan Mahmud Badarudin II karya pelukis Eden Arifin yang sempat menimbulkan masalah hukum antara Eden dengan Bank Indonesia dan Perum Peruri.  

 

Begitu pula juga yang menimpa naskah 'Mahkamah'. Karya sastra ciptaan (alm) Asrul Sani itu kini menjadi batu sandungan bagi Adila Suwarno Soeparno. Adila yang mantan Direktur Eksekutif Yayasan Lontar itu kini terpaksa duduk di kursi pesakitan. Di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pada Selasa (8/4), Adila didakwa melakukan tindak pidana pelanggaran hak cipta.

 

Perkara yang membelit Adila ini berawal ketika pada Januari 2006 silam, Adila -yang saat itu masih sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Lontar- berkirim surat kepada ahli waris Asrul Sani. Saat itu, Adila bermaksud meminta izin untuk memuat naskah drama 'Mahkamah' ke dalam buku berjudul Antologi Drama Indonesia. Dari  judulnya, saat itu diketahui bahwa Yayasan Lontar memang sedang 'mengkodifikasi' beberapa naskah drama yang diciptakan para penulis naskah Indonesia. 

 

Mutiara Sarumpaet Sani, istri (alm) Asrul Sani, merespon permohonan Adila. Melalui surat yang dilayangkan pada akhir Januari 2006, Mutiara menyampaikan penolakan atas permohonan Adila. Mutiara dalam suratnya dengan gamblang tidak mengijinkan Yayasan Lontar untuk memuat 'Mahkamah' di Antologi Drama Indonesia dan menerbitkan serta mengedarkan karya tersebut ke dalam bentuk media apa pun.

 

Namun entah mengapa, baik Adila maupun Yayasan Lontar, bergeming dengan surat penolakan dari Mutiara Sani itu. Yayasan Lontar akhirnya tetap menerbitkan buku Antologi Drama Indonesia yang terdiri dari 4 jilid itu. 'Mahkamah' sendiri tetap dimuat dalam buku jilid terakhir.

Tags: