Upah Selama Proses Tak Dibayar, Manajer Terancam Dibui
Berita

Upah Selama Proses Tak Dibayar, Manajer Terancam Dibui

Praktiknya, upah buruh yang diskorsing dalam rangka PHK tidak pernah dibayarkan pengusaha. Namun pekerja Hotel Sultan berhasil menyeret pihak manajer ke persidangan untuk diadili. Bisa menjadi preseden.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Upah Selama Proses Tak Dibayar, Manajer Terancam Dibui
Hukumonline

 

Pasal 93 UU Ketenagakerjaan

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:

     f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak

      mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat

       dihindari pengusaha.

 

Pasal 186 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

 

Benar saja. Setelah beberapa lama diproses di kepolisian, perkara ini akhirnya disidangkan. Acep Saefudin, sang manajer, didakwa dengan dakwaan tunggal setelah dianggap melanggar pasal 186 UU Ketenagakerjaan.

 

Putusan Sela Ditolak

Pada persidangan yang digelar pada Rabu (9/4) kemarin, majelis hakim yang diketuai Makmun Masduki membacakan putusan sela atas eksepsi yang diajukan penasehat hukum atas dakwaan JPU.

 

Seperti lazimnya perkara pidana biasa, majelis hakim di dalam putusan sela memang hanya  berkutat pada masalah formalitas surat dakwaan, bukan pokok perkara. Mengacu pada ketentuan pasal 143 KUHAP, hakim akan memeriksa sejauh mana identitas terdakwa, locus delicti, tempus delicti dan uraian tindak pidana secara cermat, jelas dan lengkap dituangkan dalam surat dakwaan. Dengan demikian, eksepsi yang menyatakan bahwa surat dakwaan jaksa obscuur tidak beralasan dan harus ditolak, kata Makmun.

 

Pada bagian lain, hakim Makmun juga menolak eksepsi penasehat hukum yang menyatakan bahwa perkara ini lebih kental nuansa hukum perdata ketimbang pidana. Untuk eksepsi ini, sudah memasuki pokok perkara yang harus dibuktikan pada tahap pembuktian, sehingga eksepsi ini harus ditolak, Makmun menandaskan. Dengan ditolaknya eksepsi tersebut, maka persidangan akan berlanjut ke tahap pemeriksaan pokok perkara. Artinya, JPU harus bisa membuktikan bahwa si manajer memang bersalah dalam perkara ini.

 

Syahril Muhammad, penasehat hukum terdakwa kepada hukumonline mengaku tidak puas dengan putusan sela ini. Menurutnya, majelis hakim terlalu cepat 'memvonis' bahwa perkara ini adalah perkara pidana. Sekali lagi saya nyatakan, ini adalah perkara hubungan industrial, tegas Syahril di luar persidangan.

 

Syahril lantas menunjuk ketentuan Kepmenakertrans No 150 Tahun 2000. Dalam Kepmen itu, lanjutnya, dibedakan antara buruh yang tidak boleh bekerja karena skorsing dengan buruh yang tidak boleh bekerja bukan karena skorsing. Itu dibedakan. Implikasinya juga berbeda, cetusnya.

 

Dalam konteks perkara ini, Syahril melihat bahwa Jhonson Simanjuntak dkk adalah buruh yang tidak boleh bekerja karena skorsing yang tunduk pada ketentuan Pasal 155 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Jadi bukan tunduk pada Pasal 93 Ayat (2). Sehingga perkara ini adalah perkara hubungan industrial. Yang dimaksud Syahril adalah rumusan hak pengusaha melakukan penyimpangan terhadap ketentuan ketenagakerjaan berupa tindakan skorsing.  

 

Pasal 155

 

(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.

(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.

(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

 

Satu hal yang patut dicatat bahwa para buruh yang tidak boleh bekerja karena skorsing (sesuai dengan pasal 155 Ayat 3) maupun bukan karena skorsing (pasal 93 Ayat 2), pengusaha tetap wajib membayarkan upah beserta hak lainnya yang biasa diterima buruh.

 

PHI

Sengketa antara manajemen hotel dengan Jhonson Simanjuntak dkk ternyata sempat mampir ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Saat itu manajemen yang mengajukan gugatan PHK terhadap buruh. Namun karena masalah teknis surat kuasa, gugatan manajemen kandas di meja hakim.

 

Ketika disinggung mengenai apakah ada rencana untuk mengajukan kembali gugatan PHK, Syahril  belum bersikap. Saya belum mendapatkan kuasa untuk melakukan itu (gugat PHK, red), jelasnya. Artinya, hingga kini, nasib keempat pekerja itu masih tetap dalam proses skorsing setelah berjalan lebih kurang 16 bulan.

 

Meskipun UU Ketenagakerjaan memberikan perlindungan kepada buruh untuk tetap mendapatkan upah ketika dalam proses PHK maupun menjalani skorsing, namun praktek berbicara lain. Buruh malah hampir tidak pernah menikmati upah selama proses itu. Jadi, mudah-mudahan dengan adanya perkara ini, bisa menjadi trigger bagi aparat penegak hukum untuk menindak pengusaha yang tidak membayarkan upah proses ini, Aben berharap.

Apa yang menimpa manajemen Hotel Sulthan, Jakarta, saat ini tampaknya bisa menjadi pelajaran berharga. Acep Saefudin, Manager HRD The Sultan Hotel kini harus duduk di kursi pesakitan. Ia diseret ke persidangan lantaran dianggap melakukan tindak pidana ketenagakerjaan.

 

Perkara ini bermula pada Desember 2006, tatkala manajemen Hotel Sultan menjatuhkan skorsing kepada empat pekerja, masing-masing adalah Jhonson Simanjuntak, Valentino Pasaribu, Rupi Parman dan Yoyo Haryono. Sanksi skorsing dijatuhkan karena empat pekerja itu dianggap 'berulah' sehingga membikin suasana kerja menjadi gerah.

 

Para pekerja tidak tinggal diam. Mereka menganggap skorsing sebagai upaya membungkam hak-hak pekerja untuk mendapatkan kepastian hukum atas perubahan yang terjadi di dalam perusahaan. Seperti diketahui, pada Agustus 2006, The Sultan Hotel adalah nama baru bagi Hotel Hilton Jakarta. Adanya perubahan nama itu, membuat pekerja khawatir akan terjadi perombakan manajemen yang berujung pada ketidakpastian status dan hak bagi para pekerja.

 

Versi pekerja, pihak manajemen tidak merespon kerisauan mereka. Alhasil, para pekerja mengadukan masalah ini ke Disnakertrans Jakarta. Di sinilah pihak manajemen mulai bereaksi. Sejak saat itu, manajemen juga tidak membayarkan gaji kepada keempat pekerja yang dinilai mbalelo itu. Tepatnya sejak awal 2007. Rupanya, kuartet pekerja cukup mengetahui hak normatif mereka seperti yang termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Didampingi kuasa hukum dari LBH Jakarta, mereka mengadukan manajemen Hotel ke Polda Metro Jaya pada April 2007.

 

Kiagus Ahmad, pengacara publik LBH Jakarta menyebutkan bahwa tindakan penghentian pembayaran gaji merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 93 Ayat (2) huruf f UU Ketenagakerjaan. Dalam pasal 186 ayat (1) jelas disebutkan sanksi bagi pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 93 Ayat (2) itu, ujar Aben, demikian ia disapa.

Halaman Selanjutnya:
Tags: