DPD cs Resmi Ajukan Judicial Review UU Pemilu Legislatif
Berita

DPD cs Resmi Ajukan Judicial Review UU Pemilu Legislatif

Kuasa hukum pemohon dengan dalih tidak mau mengganggu jadwal pemilu, meminta MK menjadikan permohonan ini sebagai prioritas pertama.

Oleh:
Rzk
Bacaan 2 Menit
DPD cs Resmi Ajukan Judicial Review UU Pemilu Legislatif
Hukumonline

 

Materi permohonan ini memfokuskan pada dua isu krusial yaitu tentang syarat domisili dan prosedur pengurus parpol yang menjadi calon anggota DPD. Dua syarat itu, menurut Todung, telah dihilangkan secara sengaja oleh pembentuk undang-undang. Ini bertentangan dengan semangat UUD 1945 soal keberadaan DPD, tudingnya. Tujuannya adalah untuk menggergaji, menggerogoti, membajak atau bahkan melemahkan DPD.

 

Todung memandang niat itu sangat bertolakbelakang dengan maksud diadakannya DPD dalam UUD 1945. DPD lahir karena selama ini kepentingan daerah kurang terwakili oleh institusi politik yang ada. Syarat domisili justru dimaksudkan agar wakil daerah di parlemen benar-benar berasal dari daerah itu sehingga bisa mendengar aspirasi masyarakat setempat. Syarat non-parpol pun juga bertujuan agar keterwakilan daerah tidak tergerus oleh kepentingan parpol.

 

Kalau begini adanya kepentingan daerah bisa-bisa semakin tidak terwakili, kita ingin kedaulatan daerah betul-betul diwakili secara otentik, ujar alumnus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.   

 

Hadar Gumay, Direktur Eksekutif CETRO, mengatakan apa yang ditunjukkan dalam UU Pemilu Legislatif merupakan kemunduran besar terhadap kualitas keterwakilan rakyat. Upaya pembentuk UU Pemilu Legilastif menghilangkan syarat domisili dan non-parpol merupakan pengkhianatan terhadap semangat UUD 1945.

 

Sementara itu, pengamat politik Arbi Sanit mengatakan pengajuan judicial review ini merupakan upaya menyelamatkan kedaulatan rakyat. Arbi yang didaulat sebagai ahli pendamping berpendapat UU Pemilu Legilastif telah diperalat oleh parpol untuk melebarkan sayap kekuasaan. Kondisi ini kalau dibiarkan akan sangat berbahaya dan mengulangi era orde baru ketika militer berkuasa sangat dominan. Ini sudah masuk pada keserakahan yang perlu dikontrol, tambahnya.  

 

Perkara prioritas

Atas nama pemohon, Todung meminta agar MK menjadikan permohonan ini sebagai prioritas utama. Dia mengatakan pada prinsipnya pemohon tidak ingin menganggu jadwal pemilu yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun begitu, pemohon juga tidak ingin UU Pemilu Legislatif merugikan DPD dan kepentingan daerah secara umum.

 

Jika permohonan ini mulus dikabulkan oleh MK, Todung berharap pemerintah merespon cepat agar tidak terjadi kekosongan hukum. Terlebih lagi, Pemilu 2009 sudah semakin di ambang pintu. Salah satu alternatifnya adalah dengan menerbitkan perpu yang secara tegas mencantumkan syarat domisili dan non-parpol. Kemungkinan lainnya, KPU diberi mandat untuk membuat peraturan pelaksana terkait persyaratan menjadi anggota DPD.

 

Kalau legislatif review ke DPR pasti makan waktu tidak sebentar, hasilnya pun belum tentu lebih baik dari yang sekarang, ujar Todung.

 

Terpisah, Anggota Pansus RUU Pemilu Legislatif Agus Purnomo mengatakan mengajukan judicial review adalah hak setiap warga negara yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan. Selaku pembentuk UU tersebut, politisi dari PKS ini menegaskan DPR siap hadir dalam persidangan sebagai pihak terkait.

 

Namun begitu, Agus menyangkal anggapan UU Pemilu Legislatif bertujuan menggerogoti DPD. Syarat domisili dihilangkan justru didasarkan pada fakta bahwa banyak anggota DPD yang justru berdomisili di Jakarta. Setahu saya ada sebagian mereka yang tinggal di apartemen. Jadi, yang (peraturan, red.) dulu aja tidak jalan kan, kilahnya.

 

Soal parpol menjadi di DPD pun, menurut Agus, adalah suatu hal yang lumrah. Dia mencontohkan Senator di Amerika Serikat yang berasal dari parpol. Dengan analogi yang sama, maka DPD pun seharusnya terbuka bagi orang parpol. Untuk argumen ini, Todung berkomentar, Itu salah kaprah, sejarah politik di Amerika jelas jangan disamakan dengan kita.

Bukan gertak sambal, bukan pula asal bicara. DPD menunaikan janjinya mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) terhadap UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif). Kamis (10/4), permohonan itu diantarkan langsung ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pimpinan serta sejumlah anggota DPD. Bersama mereka, ada juga Center for Electoral Reform (CETRO), Indonesia Parliamentary Center (IPC), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Sekretaris Nasional Masyarakat Hukum Adat, dan Paguyuban Pasundan. Kesemuanya bergandengan dengan DPD berkedudukan sebagai pemohon.  

 

Pasal yang kami ajukan adalah Pasal 12 dan Pasal 67 yang bertentangan dengan jiwa, semangat, dan original intent (maksud utama, red.) dari pembuat UUD 1945, kata Todung Mulya Lubis, advokat senior yang didaulat sebagai kordinator kuasa hukum pemohon. Di belakang Todung berdiri juga sejumlah advokat yang tidak asing lagi namanya, seperti Maqdir Ismail, Trimoelja D. Soerjadi, dan Bambang Widjojanto.

 

Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu Legislatif dianggap bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang mengatur tentang DPD.

 

Todung memaparkan secara sekilas UU Pemilu Legilastif mungkin dilihat tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, dia mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap UUD 1945 tidak melulu dilakukan dengan dicantumkannya rumusan pasal yang jelas-jelas bertentangan. Di luar itu, modus lainnya adalah tidak memuat rumusan yang seharusnya ada jika merujuk pada semangat yang terkandung dalam UUD 1945.

 

MK jangan berpikiran normatif sempit, harus imajinatif dan cerdas serta antisipatif. Kalau berpikiran sempit normatif konvensional memang orang akan disesatkan oleh perumusan UU Pemilu Legilastif ini, ujar Todung.

Tags: