Mempersoalkan Hilangnya Norma
Uji Materi UU Pemilu Legislatif:

Mempersoalkan Hilangnya Norma

Dua norma yang hilang adalah syarat domisili dan non parpol untuk menjadi anggota DPD. Hakim Konstitusi Mukhtie Fadjar bisa memahami dilema yang dihadapi oleh pemohon.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Mempersoalkan Hilangnya Norma
Hukumonline

 

Norma yang Hilang dalam UU Pemilu

 

Calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat calon….., juga harus memenuhi syarat:

a.  Berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan;

b.  tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon.

 

 

Ketua majelis yang memimpin sidang panel ini, Mukhtie Fadjar mengaku bisa memahami dilema yang dihadapi oleh pemohon. Kita bisa pahami kesulitan saudara, tuturnya. Menurut Mukhtie, ini merupakan jurus sapu jagat. Namun, langkah ini jelas memiliki kelemahan.

 

Mukhtie mengatakan apakah semua persyaratan dalam Pasal 12 itu bertentangan dengan UUD 1945. Misalnya, harus Warga Negara Indonesia. Apa itu bertentangan? tanyanya. Lalu, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apa itu juga bertentangan? ujar Mukhtie melanjutkan retorikanya. Itu bila dianatomi satu persatu.

 

Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menanyakan apa saran pemohon kepada Mahkamah dalam membuat putusan. Bila permohonan dikabulkan, maka akan timbul kekosongan hukum. Mahkamah memang tak berwenang memasukan dua norma yang hilang itu ke UU Pemilu teranyar. Todung mengaku sudah memikirkannya. Setelah ada kekosongan, maka Presiden diminta untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu).

 

Selain itu, Todung juga mengharapkan MK memberi saran dalam pertimbangannya. Hal ini, menurut Todung sudah sering dilakukan oleh MK. Contoh teranyar adalah Putusan MK terhadap UU Kejaksaan. Dalam putusan itu, MK meminta DPR agar mensinkronkan kewenangan penyidikan oleh kejaksaan.    

 

Sayangnya, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna seakan tak tertarik dengan permintaan Todung ini. Memang, Palguna mengakui, kalau pun berupa saran, maksimal hanya di pertimbangan hukum. MK tak mungkin mengajari Lembaga Negara lain, ujarnya. Lagipula, dalam sistem Eropa Kontinental yang dianut Indonesia, pertimbangan hukum dianggap tak mengikat. Seringkali pertimbangan hukum di MK yang berupa saran, diabaikan.

 

Legal Standing Pemohon

Selain masalah substansi, majelis hakim pun menyoroti legal standing atau kedudukan hukum masing-masing kelompok pemohon. Dalam permohonan ini memang ada tujuh kelompok pemohon. Yaitu DPD sebagai lembaga negara, sebagian anggota DPD, Warga Negara yang berdomisili di daerah, Sekretaris Nasional Masyarakat Hukum Adat, Center for Electoral Reform (Cetro), Indonesia Parliamentary Center (IPC), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).

 

Mukhtie pun membedah satu persatu legal standing ketujuh pemohon ini. Untuk DPD selaku pemohon, ia mengingatkan bahwa argumentasi harus sedikit diubah. Sebagai lembaga negara, lanjutnya, bukan hak konstitusional DPD yang dilanggar tapi kewenangan konstitusionalnya. Kewenangan apa yang dirugikan dengan lahirnya UU ini, ujar Mukhtie sebagai bahan perbaikan permohonan.

 

Sedangkan, Palguna mengingatkan sebagai lembaga negara, harus ada hasil keputusan rapat DPD terkait langkah uji materi ini. DPD itu lembaga negara majemuk. Ketua atau Wakil Ketua DPD bukan Kepala, tapi hanya speaker dari lembaga, jelasnya. Wakil Ketua DPD La Ode Ida meyakinkan bahwa DPD telah menggelar rapat paripurna terkait langkah uji materi ini. 

 

Enam kelompok pemohon yang lainnya dikategorikan berbeda. Cetro diklasifikasikan sebagai badan hukum privat karena berbentuk yayasan. IPC masuk kepada kelompok perseorangan WNI karena belum berbentuk badan hukum. Sedangkan Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat juga diklasifikasikan sebagai kelompok perseorangan karena ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf b belum terpenuhi. Selebihnya, kelompok pemohon yang lain juga dikategorikan sebagai perseorangan WNI.

Dilema. Itulah yang dihadapi oleh pemohon uji materi UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) saat berhadapan dengan majelis hakim konstitusi. Selasa, (15/4) merupakan sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi yang dimohonkan oleh tujuh kelompok pemohon ini. Disinilah forum dimana pemohon harus menjelaskan maksud dan tujuan mengajukan judicial review.

 

Kuasa Hukum pemohon, Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa permohonan ini berbeda dengan permohonan sebagaimana biasanya. Umumnya, di MK, judicial review adalah pengujian UU dengan UUD 1945. Kali ini, pemohon justru mempersoalkan hilangnya dua norma yang dianggap sebagai karakteristik lembaga perwakilan seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

 

UU No 10 Tahun 2008 memang baru sebulan diketok. Sebelumnya, Pemilu legislatif mengacu pada UU No.12 Tahun 2003. Namun, alangkah kecewanya pemohon begitu mengetahui tak ada syarat domisili dan non-parpol untuk menjadi anggota DPD sebagaimana diatur dalam UU yang lama. 

 

Alasan inilah yang digunakan pemohon untuk ‘membabat habis' persyaratan dan kelengkapan administrasi untuk menjadi anggota DPD yang terdapat pada Pasal 12 dan Pasal 67 UU Pemilu yang baru. Kami minta agar kedua pasal itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, ujar Todung. Ia pun mengkaitkan dua pasal itu bertentangan dengan Pasal 22C ayat (1) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang mengatur tentang DPD.  

Halaman Selanjutnya:
Tags: