RPP Kompensasi Belum Berpihak pada Korban
Berita

RPP Kompensasi Belum Berpihak pada Korban

Prosedur mendapatkan kompensasi dianggap berbelit-belit dan sulit dipenuhi korban dalam waktu singkat.

Oleh:
CRR/Rzk
Bacaan 2 Menit
RPP Kompensasi Belum Berpihak pada Korban
Hukumonline

 

Definisi itu juga memberikan pandangan bahwa kompensasi baru dapat diberikan jika ada pelaku yang terbukti bersalah. Itu syarat utamanya. Padahal, jika kembali pada prinsip hukum HAM internasional, pemulihan korban itu dimana kompensasi salah satu wujudnya tidak harus menunggu pelakunya dipidana atau tidak. Kalau tak ada pelaku yang dinyatakan bersalah mustahil korban mendapatkan kompensasi dari negara. Tengok saja pengalaman korban pelanggaran HAM berat dalam kasus Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura.

 

Selain definisi yang relatif tak berpihak pada korban, KPS juga menilai korban dipersulit lagi dengan prosedur dan syarat-syarat. Simak saja kalimat Permohonan kompensasi memuat sekurang-kurangnya, salah satunya, identitas pelaku pelanggaran HAM berat, yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) huruf (c) RPP. KPS menilai rumusan itu memberatkan korban. Logikanya dalam suatu peristiwa pelanggaran HAM berat, pelaku cenderung terorganisir dan piawai mengaburkan identitas, sehingga sulit dikenali secara jelas.

 

Syarat lain yang harus dipenuhi adalah korban harus melampirkan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Rumusan lain, pasal 4 ayat (2) huruf (f) tadi juga dianggap sangat ‘fatal' karena terkesan menunda-nunda pemulihan korban. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui korban, mulai dari penyelidikan oleh Komnas HAM dan Polisi, lalu penyidikan dan penuntutan oleh Kejaksaan. Belum lagi jika berkas penyelidikan harus bolak-balik penyelidik-penyidik, seperti yang terjadi baru-baru ini (pengembalian berkas dari Kejagung ke Komnas HAM-red).

 

Apabila perjalanan berkas mulus-mulus saja, tidak mengalami Kendala di kejaksaan, maka proses selanjutnya adalah pengadilan. Mulai dari pengadilan tingkat pertama, banding, lalu kasasi, bahkan kalau masih tidak ‘puas' akan ada peninjauan kembali (PK).

 

Proses yang memakan waktu lama ini tentunya sangat bertentangan dengan prinsip pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang harus dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak. Prinsip ini termaktub dalam penjelasan umum PP No.3 Tahun 2002 yang sudah lebih dulu mengatur pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.

 

Dari sekian prosedur yang menyulitkan korban ini, tersisa satu prosedur yang menimbulkan kesan Pemerintah enggan memberikan kompensasi. Berdasarkan rumusan pasal 6 RPP,  walaupun permohonan kompensasi sudah dianggap lengkap oleh LPSK, LPSK dapat segera melakukan pemeriksaan substantif. Pemeriksaan substantif ini dimaksudkan mencari kebenaran peristiwa pelanggaran HAM berat dan kerugian seperti apa saja yang nyata-nyata diderita korban.

 

Begitulah nasib korban pelanggaran HAM berat, setidaknya dalam pandangan KPS. Sudah menjadi korban, harus pula ‘disibukkan' prosedur yang berbelit dan lama. Padahal menurut Kepala Divisi Monitoring Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, mekanisme yang harus dilalui korban untuk menuntut kompensasi melalui LPSK lebih sulit dibanding mekanisme perdata. Jadi, ngapain juga korban susah-susah nuntut via LPSK (sesuai UU PSK, RPP) kalau melalui hukum perdata lebih menguntungkan korban, ujarnya.

 

Kalau memang begitu yang terjadi, Arsil khawatir RPP tidak akan efektif di lapangan. Koordinator Divisi Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, berpendapat serupa. RPP ini pertanda masa depan yang buruk buat korban. Sama saja pengulangan kondisi PP No. 3 Tahun 2002, ujarnya.

 

Direktur Perancangan Perundang-Undangan Dephukham, Suhariyono, tak menapiskan kritik dan masukan KPS. Menurut dia, sebagai sebuah draft, RPP Kompensasi masih terbuka untuk disempurnakan. Apalagi kompensasi itu kelak berkaitan dengan keuangan negara. Khususnya, perlu dikonsultasikan ke Menkeu terkait besaran ganti kerugian dan administrasi kepegawaian, katanya.

 

Korban pelanggaran hak asasi manusia bisa berharap mendapatkan pemulihan secara hukum jika Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Saksi Korban (RPP Kompensasi) disahkan. RPP ini merupakan amanat dari Undang-Undang No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

 

Namun, sebelum disahkan, RPP Kompensasi sudah dikritik sejumlah kalangan. Kritik demi kritik muncul bersamaan dengan konsinyering yang diselenggarakan Pemerintah dan para pemangku kepentingan. Salah satu yang mengkritisinya adalah Koalisi Perlindungan Saksi (KPS), sebuah koalisi lembaga swadaya masyarakat pemerhati hak asasi manusia. Menurut KPS, RPP Kompensasi masih mengandung cacat, yang berakibat pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM.

 

Aturan yang dinilai mengandung cacat antara lain definisi kompensasi, syarat-syarat, prosedur, dan perhitungan kompensasi. Cacat tersebut dianggap menganggu karena kompensasi merupakan salah satu upaya pemulihan korban dan sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap korban pelanggaran HAM. Apalagi sudah jelas, pemulihan kerugian korban sudah menjadi prinsip baku dalam hukum HAM internasional.

 

Misalkan soal definisi. Pasal 1 angka 4 RPP merumuskan bahwa kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Rumusan ini seolah menyiratkan bahwa negara sebagai pihak ‘pengganti' pelaku karena pelaku sebenarnya tidak sanggup memberi ganti kerugian.   

Tags: