Menang di Tripartit, Kalah pada PHI
Pesangon untuk Karyawan Asing

Menang di Tripartit, Kalah pada PHI

Dua guru asal Eropa dipecat tanpa pesangon. Pada tahap tripartit, Disnakertrans menganjurkan perusahaan memberi pesangon. Perusahaan tak mau membayarnya, keduanya maju ke PHI. Ironis, mereka kalah. Kasasi adalah pertempuran tahap lanjut.

Oleh:
CRR
Bacaan 2 Menit
Menang di Tripartit, Kalah pada PHI
Hukumonline

 

Mari kita intip klausul perjanjian kerja. Kedua karyawan asing tersebut menandatangani Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Baik Robin maupun Poelemans dalam gugatannya mengaku hubungan kerja mereka dengan BPK Penabur berbentuk PKWT. Hal itu tertuang dalam Employment Agreement (EA) pada 2004.

 

Penggugat I awalnya menandatangani EA untuk masa kerja selama satu tahun, mulai dari 2 Agustus 2004 sampai 1 Agustus 2005. Sama halnya dengan penggugat II, masa kerjanya terhitung sejak tanggal 9 Agustus 2004 sampai 8 Agustus 2005. Sayangnya, PKWT itu ditulis dengan bahasa Inggris. Padahal, Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan, kontrak kerja disusun dengan bahasa Indonesia.

 

Selain itu, PKWT mereka tidak didaftarkan ke instansi ke Disnakertrans sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Kepmenakertrans No. KEP-100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT. Permasalahan lain yang dituangkan dalam gugatan adalah perpanjangan masa kerja mereka, untuk seterusnya sampai dengan tahun 2007, tidak disertai perjanjian kerja tertulis. Yang lebih tidak manusiawi, setelah di PHK, mereka harus terus bekerja sampai kontrak mereka habis. Sedangkan sisa upah selama dua bulan terkahir (Oktober-November 2006), sampai kontrak berakhir belum juga dibayarkan.

 

Bukan hanya sisa upah, uang pesangon dan penghargaan masa kerja sesuai Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, tidak sepeserpun diberikan pihak tergugat kepada dua tenaga kerja asing itu. Padahal, masing-masing dari mereka sudah berusia lanjut. Robin berusia 60 tahun, sedangkan Poemelemans berumur 58 tahun. Masa kerja mereka antara tiga hingga enam tahun.

 

Majelis memandag perjanjian yang dilakukan kedua tenaga kerja asing itu dengan BPK Penabur bukanlah Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tetap (PKWTT), sehingga tidak dapat menerima uang pesangon dan penghargaan masa kerja jika di PHK. Yang bisa mereka terima hanyalah ganti kerugian.

 

Walaupun, menurut penggugat, surat perjanjian yang hanya dituliskan dengan bahasa Inggris dan tidak ada versi bahasa Indonesia itu merupakan pelanggaran yang menyebabkan PKWT menjadi PKWTT, sesuai Pasal 57 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, ternyata hakim tidak berpikiran sama. Hakim tetap tidak dapat menerima gugatan itu karena bertentangan dengan Pasal 42 ayat (4). Di sini dirumuskan dengan jelas, tenaga kerja asing hanya dapat dipekerjakan di Indonesia dalam hubungan kerja untuk jabatan dan waktu tertentu. Dengan kata lain, tenaga kerja asing sama sekali tidak dapat melakukan PKWTT dan otomatis memang tidak akan dapat uang pesangon dan penghargaan masa kerja.

 

Lagipula, gugatan mereka ternyata telah daluarsa. Harusnya, sesuai Pasal 82 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), gugatan tersebut diajukan dalam tenggat waktu satu tahun sejak diterima atau diberitahukannya keputusan PHK dari pihak pengusaha. Surat cinta PHK tersebut tertanggal 11 Oktober 2006 untuk Robin serta 9 Oktober 2006 bagi Poelemans. Hakim memandang gugatan yang diajukan 13 Desember 2007 ini dianggap telah melewati tenggat waktu yang ditentukan.    

 

Kontan saja, salah satu kuasa hukum kedua tenaga kerja asing itu, Rifki, langsung menyatakan kasasi. Memori kasasi akan segera menyusul sebelum 14 hari setelah dikemukakannya permohonan kasasi. Memori kasasi itu sudah Rifki ajukan Selasa ini (13/5). Ia menyatakan dalam memorinya nanti akan ada empat poin.

 

Pertama, ia akan menyinggung soal kesalahan penerapan hukum yang telah dilakukan oleh hakim dengan pernyataan menolak segala gugatan dengan perimbangan telah daluarsa. Seharusnya, jika gugatan dianggap daluarsa, putusan hakim bukannya menolak, tapi tidak menerima, katanya.

 

Kemudian, masalah pergantian hubungan kerja tenaga kerja asing tersebut. Semula PKWT menjadi PKWTT. Hal ini Rifki anggap bertentangan dengan Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Menurut Rifki, pasal itu tidak bisa diterapkan karena Keputusan Menteri yang mengatur tentang pelaksanaan pasal ini sampai sekarang belum juga dibuat. Karena itu, menurut Rifki, status hubungan kerja bisa berubah menjadi PKWTT, walaupun tenaga kerja asing.

 

Ketiga, soal evaluasi kinerja yang tidak transparan, Seharusnya sebelum PHK harus ada surat peringatan dulu. Ini tidak ada pembicaraan atau pemberitahuan mengenai evaluasi. Tiba-tiba langsung surat pemecatan. Mekanismenya kan tidak bisa langung begini, ujar Rifki.

 

Terakhir, poin memori kasasi yang dikemukakan Rifki adalah masalah Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS). Rupanya KITAS kedua orang kliennya yang ditahan oleh BPK Penabur, Dengan tidak adanya KITAS, keberadaan klien kami menjadi ilegal. Untuk itu, kuasa hukum merasa perlu untuk memasukan poin keempat ini dalam memori kasasi.

 

Pernyataan Rifki ini ditanggapi terpisah oleh Tri Endro Hakim Anggota PHI Jakarta Pusat. Ia berargumen putusan mereka yang menyatakan menolak seluruh gugatan itu bukan merupakan kesalahan penerapan hukum. Soal mengapa menolak dan tidak menerima, Tri Endro punya penjelasan. Itu karena memang dalam eksepsi sama sekali tidak menyinggung tentang daluarsa. Masalah daluarsa itu cuma pertimbangan tambahan, Kami hanya memutuskan sesuai dengan apa yang digugatkan. lagipula eksepsinya juga tidak menyinggung hal itu.

 

Tri Endro juga menanggapi perubahan status hubungan kerja itu. Apalagi yang harus dipermasalahkan? Pasal 42 ayat (4) itu sudah sangat jelas. Walaupun memang Kepmen yang mengatur tentang ini belum ada, pasal ini saja sudah cukup mengatur tentang tidak bolehnya pekerja asing melakukan hubungan PKWTT.

 

Hakim ad hoc PHI dari unsur serikat pekerja ini buka suara soal evalusikinerja pula. Ia mengatakan memang tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa perusahaan harus mengeluarkan surat peringatan terlebih dahulu sebelum dilakukan pemecatan. Itu tergantung kebijakan atau aturan perusahaan masing-masing. Jadi, tidak ada masalah pemecatan tanpa surat peringatan terlebih dulu, imbuhnya.

 

Tri Endro justru mengaku baru mengetahui masalah ini karena tidak tercantum dalam gugatan. Kali ini dia mengamini pendapat Rifki, Jika KITAS itu tidak ada, maka keberadaan kedua pekerja asing itu akan dinyatakan ilegal.

 

Petrus Selestinus kuasa hukum pihak tergugat, lebih cenderung bungkam. Ia berkilah bahwa terlalu dini mengomentari memori banding saat ini. Kita menunggu salinan memori itu dari pengadilan. Putusannya pun sampai sekarang saya belum ambil. Yang jelas kami akan tetap berpegang teguh pada putusan pengadilan tingkat pertama, katanya, Selasa (13/5).

 

Ketika ditanyai hukumonline mengapa tidak memunculkan daluarsa dan Pasal 42 ayat (4) dalam eksepsinya, Petrus menjawab, Hakim pasti tahu itu, pasti dijadikan pertimbangan untuk menolak gugatan mereka, tukasnya. Kalau Pasal 42 ayat (4) itu kami jadikan strategi untuk nanti. Tidak kami buka semua dong.

Sekolah dengan guru asing merupakan tawaran jasa pendidikan dengan kualitas unggul. Namun, di balik balutan kualitas dan gengsi yang mereka tawarkan, rupanya ada sebuah masalah. Problem yang dimaksud adalah ketenagakerjaan. Ternyata, masalah itu dialami oleh tenaga kerja asing.

 

Pada 17 April 2008, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta Pusat menolak gugatan yang dilayangkan oleh dua tenaga kerja asing yang bernama Collins Terence Robin dan Jacobus Peter Bernardus Poelemans yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Robin dari Inggris sedangkan Poelemans asal Belanda. Mereka dipecat oleh Ukrida Penabur Internasional (UPI). Ukrida bernaung di bawah Yayasan Badan Pendidikan Kristen (BPK) Penabur. Celakanya, Ukrida mengucapkan salam perpisahan zonder salam tempel –alias pesangon. 

 

Sekadar berkilas balik dengan singkat, pemecatan ini sudah melalui tahap tripartit di Disnakertrans Kotamadya Jakarta Barat pada 27 Juli 2007. Disnakertrans menganjurkan kepada pihak perusahaan untuk memberikan pembayaran kepada masing-masing karyawan sebesar Rp205,3 juta dan Rp255,3 juta.

 

Namun, Ukrida tak kunjung merealisasikan anjuran tersebut, Karena itulah, kedua buruh bule menyusun gugatan terhadap Ukrida (tergugat I) serta Yayasan BPK (tergugat II). Mereka melayangkan gugatan tersebut pada 13 Desember 2007 ke PHI.

 

Pihak penggugat diwakili tim kuasa hukumnya, antara lain Geoffrey Nanulaitta, Rifki Febriadi, Yudistira, dan Ervan Fauzi. Inti gugatannya, mereka menuntut pesangon. Sayang, majelis hakim yang diketuai Daniel, dan anggotanya M Sinufa Zebua, dan Tri Endro, tak menengok anjuran Disnakertrans. Majelis punya pertimbangan, tenaga kerja asing tidak menerima uang pensiun dengan statusnya sebagai pegawai atau pekerja tidak tetap.

Halaman Selanjutnya:
Tags: