Panel Hakim Sorot Ketidaksinkronan Isi Permohonan
Pengujian Hatzaai Artikelen

Panel Hakim Sorot Ketidaksinkronan Isi Permohonan

Pemohon mengakui bahwa delik pencemaran dan penghinaan itu tetap dibutuhkan, karena bila dicabut, maka orang akan seenaknya menghina dan mencemarkan nama baik orang lain.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Panel Hakim Sorot Ketidaksinkronan Isi Permohonan
Hukumonline

 

Palguna menilai kedua isi posita ini tak sinkron bila dikaitkan dengan petitum pemohon. Di petitum saudara kan hanya menguji sanksi pidana yang dinilai berlebihan, ujarnya. Memang, dalam petitum, yang dipersoalkan pemohon adalah sanksi pidana penjara yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP. Sedangkan, Pasal 207 dan Pasal 316 KUHP diuji keseluruhan isi pasalnya.

 

Ketidaksinkronan itu, lanjut Palguna, karena di posita pemohon menganggap norma penghinaan atau pencemaran itu bukan perbuatan pidana sedangkan di petitum pemohon tak mempersoalkan normanya. Tapi justru mempersoalkan sanksi pidana yang dianggap terlalu berlebihan. Anda harus tegaskan ini, ujarnya.

 

Anggara pun buru-buru menjelaskan kesalahpahaman ini. Ia menegaskan bahwa kliennya, khusus mengenai Pasal 310 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 311 ayat (1), memang hanya mempersoalkan sanksi pidana penjara, bukan isi normanya. Pidana penjara itu kan pidana yang eksesif atau berlebihan. Karena orang menyatakan pendapatnya secara lisan dan tulisan, kemudian dengan pidana penjara akan mematikan hak-haknya seperti hak untuk hidup, ujarnya.  

 

Mengenai posita yang juga mempersoalkan norma penghinaan dan pencemaran itu, Anggara punya jawaban sendiri. Kita ingin memberi gambaran supaya jelas dan terang, tuturnya. Sebetulnya, lanjut Anggara, perumusan delik (norma) memang sudah bermasalah. Sudah begitu, kenapa juga masih di pidana penjara, tegasnya.

 

Tapi, akhirnya Anggara mengakui bahwa delik pencemaran dan penghinaan itu tetap dibutuhkan. Memang, bila delik ini dicabut, maka orang akan seenaknya menghina dan mencemarkan nama baik orang lain. Palguna pun meminta pemohon menegaskan itu dalam permohonan. Permintaan itu langsung dijawab bahwa penegasan itu sudah termaktub dalam posita point 31.

 

Bahwa meski pemohon I juga menyadari bahwa kehormatan dan nama baik seseorang tetaplah patut untuk dijaga dan dihormati, sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 Tahun 2005) namun penggunaan penjara adalah berlebihan dan sewenang-wenang. Pidana penjara ini telah secara serius mengancam kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers, ucap Anggara membaca isi posita point 31 itu.

 

Mendengar penegasan ini, Palguna pun mengaku sudah bisa memahami. Pertanyaan atau kritikan sebelumnya berarti telah terjawab dengan isi posita point 31 itu. Tampaknya pak hakim belum tuntas baca permohonan ya?

Pengujian sisa pasal hatzaai artikelen atau penebar kebencian dalam KUHP yang diajukan oleh Bersihar Lubis dan Risang Bima Wijaya memasuki sidang pemeriksaan perbaikan permohonan. Kuasa hukum kedua wartawan senior itu, yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyampaikan beberapa perbaikan permohonan kepada panel hakim konstitusi, di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (5/6).

 

Namun, meski sudah diperbaiki, masih ada saja celah dalam permohonan yang menjadi bahan kritikan panel hakim konstitusi. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai adanya ketidaksinkronan antara posita dan petitum di dalam permohonan. Saya merasakan ada logika yang tidak nyambung, ujar hakim konstitusi asal Bali ini.  

 

Palguna mengatakan, dalam posita, pemohon berpendapat bahwa delik pencemaran atau penghinaan sudah tidak relevan lagi. Bahwa penggunaan kalimat atau kata dalam menyatakan pikiran dan/atau pendapat secara lisan dan tulisan akan selalu berkembang. Oleh karena itu kalimat atau kata yang dianggap menghina pada masa lalu sangat mungkin tidak lagi dianggap menghina pada masa sekarang. Begitu pula kalimat atau kata yang dianggap menghina pada masa sekarang sangat mungkin tidak lagi dianggap menghina di masa depan, demikian isi salah satu posita permohonan.

 

Selain itu, masih dalam posita, pemohon juga mempersoalkan perumusan delik pencemaran atau penghinaan yang telah merugikan hak konstitusional pemohon. Karena delik ini dengan mudah digunakan pihak-pihak yang tidak menyenangi kemerdekaan pers untuk kemudian melakukan pemidanan terhadap warga negara Indonesia, ujar Koordinator Pembela dari LBH Pers Anggara.   

Halaman Selanjutnya:
Tags: