Polisi Akui Tidak Gunakan Protap
Tragedi Unas:

Polisi Akui Tidak Gunakan Protap

Pihak Polres Jakarta Selatan mengakui pasukan itu memang tidak menggunakan Protap saat tragedi Unas. Mereka berdalih kondisi di lapangan tak memerlukan alih komando Dalmas Lanjut kepada Brimob. Chaos bukan pada saat aksi massa sehingga Protap boleh diabaikan? Sampai sejauh kondisi yang bagaimana Protap berlaku?

Oleh:
Nov
Bacaan 2 Menit
Polisi Akui Tidak Gunakan Protap
Hukumonline

Setelah menyambangi Kapolda (11/6), Komnas HAM menemui Kapolrestro Jaksel dan Kapolsek Pasar Minggu beserta jajarannya. Tim Pencari Fakta (TPF) tragedi Unas yang diketuai oleh Nurkholis membeberkan hasil temuannya dan menodong klarifikasi dari pihak korps coklat.

Seperti diberitakan hukumonline Rabu lalu (11/6), TPF menemukan granat dan proyektil peluru karet sebanyak delapan belas butir. Setelah menerima penjelasan TPF, jajaran Kapolrestro Jakarta Selatan dan Kapolsek Pasar Minggu melontarkan jawaban yang sama dengan Kapolda.

Kapolrestro Jaksel, Kombes Chairul Anwar mengatakan peluru karet tersebut bukan jenis yang biasa mereka gunakan dalam satuan pengendalian massa (Dalmas). Terlebih lagi granat.

Selain fakta tersebut, TPF mengonfirmasi tindak kekerasan polisi ketika tragedi itu berlangsung. Tak disangka, Chairul yang diamini Kepala Bagian Operasi Polres Jakarta Selatan, AKBP Elbin Darwin membenarkan jika mereka tidak menggunakan Prosedur Tetap (Protap) sebagai acuan.

Mereka berargumen, kekacauan itu terjadi bukan sedang dalam aksi massa, sehingga penindakan tidak dilakukan khusus oleh Dalmas -ada polisi berpakaian preman juga. Chairul mengatakan, otomatis acuannya bukan lagi Protap 2006, tapi KUHP dan UU Kepolisian. Polisi masih memaknai Protap hanya berlaku jika dalam aksi massa.

Siapa saja aparat yang tersedia di situ sudah sepantasnya menindak. Jadi, tidak perlu ada alih komando (polisi memakai istilah lintas ganti) Dalmas Lanjut ke Brigade Mobil (Brimob) terlebih dahulu, seperti yang terperintah dalam Protap 2006.

Pasukan pengendali massa sendiri secara garis besar punya tiga tingkatan. Pertama, Dalmas Awal. Jenis ini tak memegang tameng dan helm pelindung serta pentungan. Dalmas ini mengawal masa jika kondisi masih hijau alias tertib. Kedua, Dalmas Lanjut. Ini jika kondisi meningkat jadi kuning –massa mulai kurang tertib, bakar ban, serta orasi provokatif. Jika sudah kuning, Dalmas Lanjut berbekal tameng, helm, pentungan, serta boleh melempar gas air mata. Ketiga, jika kondisi sudah merah, berarti jatahnya Pasukan Anti Huru-Hara (PHH) alias Brimob. Ini jika kondisi sudah chaos alias massa dianggap berbuat onar dan melanggar hukum.

Nah, polisi berpakaian preman inilah yang belum terkonfirmasi lebih lanjut perihal seberapa jauh mereka boleh bertindak. Apakah hanya memantau, mengindentifikasi, dan melaporkan kondisi lapangan kepada pihak pengaman atau boleh ikut-ikutan memukul massa, belum terang.

Sebelumnya, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira menjelaskan polisi berpakaian preman biasanya adalah para intel. Polisi ini yang menyusup ke tengah barisan massa. Intel hanya berperan preventif alias mengidentifikasi calon biang rusuh demonstrasi. Identifikasi ini mereka laporkan kepada pasukan pengaman yang berwenang menindak. Intel ini tidak diatur di dalam Protap.

Lalu, mari kita intip isi Protap itu sendiri yang mengatur tentang rambu-rambu pengamanan massa yang kudu ditaati oleh Dalmas. Protap ini keluaran terbaru, 5 Desember 2006, yang diteken oleh Kapolri Jenderal Pol Sutanto. Pasal 14 menyatakan Dalmas tidak boleh arogan dan terpancing oleh perilaku massa. Dalmas juga tidak perlu bertindak keras yang tidak sesuai dengan prosedur. Tindakan keras jika dalam kondisi yang proporsional –apakah hijau, kuning, atau merah.

Situasi di lapangan

Nah, ayo kita tilik situasi lapangan waktu itu –setidaknya menurut versi TPF. Ketika itu pagi buta. Aksi mahasiswa Unas menolak kenaikan BBM sudah reda. Namun, ada orang melempar bom molotov ke arah satuan Dalmas yang sedang beristirahat. Sampai sekarang belum diketahui siapa pelempar bom molotov itu, padahal pihak Polrestro Jakarta Selatan memiliki rekaman video aksi pelemparan itu.

Dengan kondisi seperti ini, Elbin atas sepengetahuan Chairul langsung memerintahkan pengejaran dan penangkapan. Sekitar 30 anak buahnya, termasuk polisi berpakaian preman mengejar sampai ke dalam kampus Unas. Celakanya, pengejaran polisi ini berubah ricuh.

Elbin hanya memerintahkan untuk menangkap. Elbin tak pernah membayangkan penangkapan itu meningkat menjadi aksi kekerasan. Ia mengaku sempat memerintahkan anak buahnya untuk berhenti melakukan kekerasan. Nyatanya, temuan TPF berkata lain, mahasiswa Unas babak belur lantaran kena bogem mentah polisi. Padahal, posisi mereka sudah lemah dan tak melawan.

Elbin berdalih anak buahnya sudah sangat letih, sehingga mudah terpancing. Mereka sudah bekerja lebih dari dua belas jam. Ia menganggap wajar kalau emosi anak buahnya cepat tersulut. Tapi, ia juga tidak menampik kalau anak buahnya bersalah. 

TPF Komnas HAM tidak sependapat. Yoseph Adi Prasetyo koordinator TPF Komnas HAM mengatakan tidak ada alasan berbuat kekerasan. Harusnya, polisi sudah mempersiapkan pasukan ganti untuk Dalmas yang sudah berjaga lebih dari 12 jam itu. "Polisi harus memperhitungkan itu," kata Komisioner Komnas HAM yang akrab dipanggil Stanley.

Terlepas dari dalih yang dikemukakan Elbin, Protap dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a sudah melarang Dalmas untuk bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Jangankan terpancing, memaki-maki dan mengumpat massa demonstran pun haram.

Revisi Protap

"Untuk ke depan, Komnas HAM akan merekomendasikan perbaikan Protap 2006," imbuhnya. Agar Protap juga mengatur pergantian anggota pasukan secara detil, sehingga tidak memforsir anggota yang itu-itu saja. Jadi, tidak ada alasan lagi polisi terpancing melakukan tindak kekerasan akibat letih.

Lagipula, Protap ini masih diartikan hanya berlaku guna mengawal demonstrasi. Lain kata, hanya untuk kondisi aksi massa. Nah, dalih seperti ini bisa jadi pembenaran tindakan beringas polisi waktu itu. Massa sudah bubar. Langit belum membiru. Ayam pun belum bangun. Tiba-tiba ada lemparan molotov –versi polisi, sedangkan versi mahasiswa yang dicatat TPF adalah kayu bekas bakaran. Bolehkah polisi dalam situasi di luar aksi massa mengabaikan Protap?

Faktanya, hingga kini, pihak polisi yang mengaku sudah punya rekaman kejadian itu belum mengungkap siapa pelempar benda itu –entah molotov atau kayu. Apakah mahasiswa Unas atau pihak lain, hingga kini belum terungkap. Memang, ini fakta yang justru belum menciptakan titik terang.

Walau kondisi di lapangan keras sehingga mudah menyulut emosi, memang sepatutnya polisi jangan mudah terprovokasi. Hukumonline pernah berbincang dengan Ronny Lihawa Sekjen Kompolnas dan Farouk Muhammad Ketua PTIK. Mereka berdua mengatakan kalau mau jadi polisi harus sabar, jangan mudah terpancing. Sudah risiko polisi, khususnya Dalmas, menjadi sasaran timpuk dan makian.

Yang sabar ya pak polisi. Kata Iwan Fals, rabalah dada kami jangan pakai belati. 

Tags: