Lagi, Masyarakat Hukum Adat Dinilai Tak Punya Legal Standing
Putusan MK:

Lagi, Masyarakat Hukum Adat Dinilai Tak Punya Legal Standing

Pemohon dinilai tidak dapat membuktikan kapasitasnya untuk secara sah mewakili kesatuan masyarakat hukum adat. Dalam sidang sebelumnya, ada saksi yang mempersoalkan keabsahan pemohon menyandang titel raja. Keberadaan mereka juga belum dikukuhkan dalam sebuah Undang-Undang maupun Perda.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Lagi, Masyarakat Hukum Adat Dinilai Tak Punya Legal Standing
Hukumonline

 

Jimly mengatakan tak terpenuhinya legal standing lantaran pemohon, yang mengaku sebagai raja adat, tidak bisa membuktikan kapasitasnya untuk secara sah mewakili kesatuan masyarakat hukum adat dalam permohonan yang diajukannya. Di samping itu, pemohon tak dapat membuktikan secara spesifik kerugian konstitusional dengan berlakunya UU 31/2007 itu.

 

Dalam sidang sebelumnya, memang ada pengakuan saksi yang mempersoalkan kapasitas Gasim Renuat, selaku pemohon yang mengklaim sebagai Raja Dullah. Saksi yang mempersoalkan, tak lain adalah kakak kandung Gasim sendiri, yaitu H.N. Renuat. Ketua DPRD Kabupaten Maluku Tenggara Mahmud Muhammad Taher juga menyatakan bahwa Gasim Renuat bukanlah Raja Adat, tetapi hanya Pejabat Kepala Desa Dullah. Gubernur Maluku pun menyatakan hal serupa.

 

Menimbang bahwa baik terhadap sanggahan saksi HN Renuat maupun terhadap keterangan yang disampaikan Gubernur Maluku selaku pihak terkait, pemohon tidak mengajukan bantahan sebaliknya, ujar Hakim Konstitusi I Gede Dewa Palguna saat membaca pertimbangan.

 

Karenanya, lanjut Palguna, MK berpendapat keterangan yang disampaikan oleh saksi HN Renuat dan Gubernur Maluku sebagai keterangan yang benar. Sehingga para pemohon tidak memiliki kapasitas bertindak untuk dan atas nama kesatuan masyarakat hukum adat selaku para pemohon.   

 

Persoalan perebutan posisi raja yang mengakibatkan legal standing tak terpenuhi patut disayangkan pemohon. Pasalnya, MK berpendapat ketiga kesatuan masyarakat hukum adat itu sudah memenuhi ciri yang telah ditetapkan. Yaitu, keberadaannya tak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 

 

Tak berdasarkan UU

Masalah legal standing pemohon memang sudah sempat dibahas pada sidang sebelumnya. Hakim Konstitusi HAS Natabaya mempertanyakan dasar hukum eksistensi masyarakat hukum adat yang menjadi pemohon. Kala itu, Natabaya mempertanyakan apakah ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang masyarakat hukum adat.

 

Sebagai catatan, bila mengacu pada UU Pemda dan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, eksistensi sebuah masyarakat hukum adat ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Sehingga dapat dibedakan antara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat. 

 

Namun, sejatinya, dasar pembentukan masyarakat hukum adat tak cukup dengan Perda. Konstitusi justru meminta agar pengakuan itu diberikan oleh UU. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang, demikian bunyi Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.  

 

Tapi boro-boro diakui dalam UU, permintaan pemohon untuk diatur melalui Perda saja selalu ditolak oleh DPRD. Faktanya sampai saat ini DPR belum membentuk UU pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tertentu. Saudara bisa cek, apakah DPR sudah membuat UU sejenis, tantang Kuasa Hukum Pemohon, Nazaruddin Salam.

 

Nazaruddin mengungkapkan perjuangan kliennya untuk diakui melalui Perda pun selalu kandas. Masalahnya sampai saat ini, Perda tersebut belum dibentuk oleh DPRD Kabupaten. Padahal Bupati sudah mengajukan (Rancangan Perda,-red) sejak tahun 2005, pungkasnya.

Persoalan mengenai eksistensi masyarakat hukum adat di persidangan kembali terjadi. Untuk kesekian kalinya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pemohon yang mendalilkan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dinyatakan tak mempunyai legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan judicial review.

 

Pemohon kali ini merupakan perwakilan dari tiga kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Maluku Tenggara. Yaitu, masyarakat hukum adat Lor Lim (Lim Itel), Dullah, serta Lo Ohoitel. Ketiganya semacam komunitas tingkat desa.

 

Masing-masing raja dari ketiga lembaga tersebut memang mencoba peruntungannya di MK. Mereka mengajukan pengujian UU No. 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku. Alasannya, pembentukan Kota Tual dianggap telah merugikan hak konstitusional mereka karena bisa mengurangi wilayah masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh ketiga raja itu. Mereka mendalilkan ada proses yang salah dalam pembentukan UU ini.  

 

Namun, ketiga raja itu harus gigit jari. Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyatakan permohonan tersebut tidak dapat diterima atau niet ontvankelijk verklard alias NO. Putusan tersebut diucapkan Jimly di ruang sidang MK, Selasa (18/6). Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima, ucapnya membaca putusan.   

Tags: