AP I Minta Pemeriksaan Tambahan
Sidang Keberatan atas Putusan KPPU:

AP I Minta Pemeriksaan Tambahan

Angkasa Pura I menuding KPPU telah melabrak sejumlah perundang-undangan saat melakukan pemeriksaan. Pengelola bandara plat merah itu minta kepada hakim untuk mengadakan pemeriksaan tambahan, berupa keterangan ahli.

Oleh:
M-4
Bacaan 2 Menit
AP I Minta Pemeriksaan Tambahan
Hukumonline

 

AP I justru menuding KPPU telah melabrak sejumlah ketentuan hukum ( due process of law) saat melakukan pemeriksaan. Buktinya, kata kuasa hukum AP I Eri Hertiawan, pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan yang dilakukan KPPU melebihi jangka waktu yang ditentukan undang-undang. Beleid yang dimaksud adalah Pasal 39 ayat (1) UU Anti Monopoli jo Pasal 36 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Sementara jangka waktu pemeriksaan lanjutan diatur dalam Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU Anti Monopoli jo Pasal 50 Peraturan KPPU 1/2006.

 

Bukan masalah itu saja, pertimbangan yang bertentangan satu sama lain dalam putusan hingga isi putusan yang melebihi kewenangan KPPU, juga diajukan AP I dalam permohonan keberatannya.

 

Putusan Sela ditunda

Melihat ruwetnya masalah ini, AP I sejak awal mengajukan permintaan untuk pemeriksaan tambahan kepada majelis hakim. Mereka sendiri telah menyiapkan dua ahli untuk memperkuat dalilnya.

 

KPPU keberatan dengan permintaan tersebut. Alasannya, permintaan itu masih terlalu dini untuk diajukan. Kuasa Hukum KPPU M. Mukhlas mengatakan, permohonan pemeriksaan tambahan harusnya berdasarkan pertimbangan hakim, bukan atas pemintaan para pihak.  

 

Yang jelas, permintaan AP I belum bisa dikabulkan hakim, lantaran berkas permohonan keberatan baru diterima saat sidang perdana perkara itu pada 25 Juni. Oleh karena itu, hakim mengagendakan sidang berikutnya untuk menentukan permintaan pemeriksaan saksi ahli oleh AP I.

 

Namun, dalam sidang lanjutan yang digelar Kamis (10/07), putusan sela ternyata tak bisa dibacakan. Ketua majelis hakim Panji Widagdo menerangkan adanya hambatan teknis. Laptopnya yang menyimpan dokumen putusan sela ternyata error sejak pagi. Pembacaan putusan sela pun akhirnya ditunda ke hari Selasa (15/7).

 

Kuasa hukum KPPU lagi-lagi merasa keberatan. Sesuai Pasal 45 ayat (2) UU Anti Monopoli, pengadilan harus memberikan putusan dalam jangka 30 hari setelah dimulainya pemeriksaan keberatan. Penundaan semacam ini dianggap menghabiskan waktu. Bahkan, dengan penundaan ini tinggal 20 hari waktu yang tersisa untuk menjatuhkan putusan.

 

Muhammad Reza, Kasubdit Litigasi KPPU menanggapi penundaan tersebut sebagai kesalahan hakim. Dia tidak setuju pemeriksaan tambahan dari dua ahli yang diajukan AP I. Menurutnya, pemeriksaan ahli mengesankan KPPU kurang lengkap ketika memeriksa kasus tersebut. Jadi, seharusnya tidak boleh ada saksi baru karena mematahkan putusan KPPU, ujarnya. Lagipula, kata dia, bila merujuk Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2005, seharusnya sidang hanya berdasarkan putusan KPPU dan berkas perkara. Harusnya tidak boleh lebih dari itu, ujar Reza melalui telepon kepada hukumonline (10/7).

 

Sementara itu, Eri Hertiawan mengatakan jangka waktu persidangan selama 30 hari akan ditunda atau berhenti sementara sampai selesainya pemeriksan tambahan. Setelah pemeriksaan tambahan selesai, maka waktunya dihitung kembali, tandasnya.

PT Angkasa Pura I (AP I) sepertinya gerah dengan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Buktinya, mereka mengajukan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, tak lama setelah putusan diterima. Pantas jika AP I meradang. Pasalnya, KPPU memutus bersalah pengelola bandar udara (bandara) di kawasan timur Indonesia itu. Putusan yang dibacakan tanggal 22 Mei 2008 tersebut, terkait dengan monopoli jasa kargo di Bandara Hassanudin, Makassar, Sulawesi Selatan.

 

Setelah menerima salinan putusan tanggal 28 Mei, PT AP I segera mengajukan keberatan paling lama 14 hari kerja (Pasal 44 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat–UU Anti Monopoli). Artinya, perseroan milik pemerintah itu harus sudah mendaftarkan keberatannya tanggal 16 Juni 2008. AP I sendiri memohonkan keberatan atas putusan No. 22/KPPU-L/2007 tersebut tanggal 12 Juni lalu.

 

Dalam permohonannya, AP I menegaskan, prilaku usahanya merupakan perbuatan yang dikecualikan dalam Pasal 50 huruf (a) UU Anti Monopoli. Alasannya, AP I adalah penyelenggara bandara. Sehingga, berlaku asas lex spesialis yang mengacu pada UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan jo Pasal 32 huruf (b) Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 48 Tahun 2002 tentang Penyerahan Penyelenggaraan Bandar Udara Umum. Pasal 32 menyebutkan, Penyelenggara bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dalam memberikan pelayanan jasa kebandarudaraan diwajibkan: (b) memelihara kelancaran, keamanan dan ketertiban pelayanan pesawat udara, penumpang, kargo dan pos di bandar udara serta kegiatan pihak lain sesuai dengan sistem dan prosedur yang telah ditetapkan.

 

Kegiatan usahanya di bidang kargo terminal dilakukan AP I pada Zone Line I. Yang termasuk dalam Zone Line I adalah kawasan bukan untuk umum (non-public area) dan kawasan terbatas (restricted area). Zone Line I berbeda dengan Zone Line II yang merupakan kawasan publik (public area). Zone Line I sama sekali tertutup bagi publik, lantaran erat kaitannya dengan keamanan dan keselamatan penerbangan.

 

Di Zone Line I itulah terletak Strategic Business Unit (SBU) Speed and Secure Cargo Warehousing (SSC) yang merupakan fasilitas jasa kargo.  Penggunaan fasilitas ini oleh penyelenggara bandara didukung Pasal 34 a angka 3 KM 48/2002. Pasal itu berbunyi, Usaha kegiatan bandar udara meliputi: pergudangan (warehousing) yaitu kegiatan penampungan dan penumpukan barang-barang dengan mengusahakan gudang baik tertutup maupun terbuka di Bandar udara dengan menerima sewa penyimpan barang (lay over charge).

Halaman Selanjutnya:
Tags: