Masalah ‘Kecil' Tetapi Bisa Menjadi Besar
Upah Lembur:

Masalah ‘Kecil' Tetapi Bisa Menjadi Besar

Satu masalah kecil yang kerap menjadi bibit perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan penghitungan waktu dan upah kerja lembur antara buruh dan pengusaha.

Oleh:
Rzk/IHW
Bacaan 2 Menit
Masalah ‘Kecil' Tetapi Bisa Menjadi Besar
Hukumonline

 

Cara Penghitungan Upah Lembur

Berdasarkan Pasal 11 Kepmen 102

 

1)      Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :

a.      untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah sejam;

b.      untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2(dua) kali upah sejam.

2)      Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka:

a.      perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 (empat) kali upah sejam.

b.      apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3(tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.

3)      Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3(tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.

 

 

Maraknya, perselisihan hubungan industrial terkait kerja lembur seolah-olah menunjukkan bahwa ada ketidakberesan. Mungkin pada tataran normatif atau justru implementasinya. Berangkat dari kondisi ini, hukumonline berencana membuat tulisan berseri yang membahas secara mendalam seputar pengaturan dan praktek upah kerja lembur. Pembahasan akan difokuskan pada empat sektor profesi: jurnalis, advokat, LSM, dan pegawai negeri sipil. Profesi-profesi itu dipilih karena masing-masing memiliki karakteristik khusus yang menjadikan pembahasan akan semakin menarik.

 

PNS ‘beruntung'

Jurnalis, misalnya, terlepas dari perdebatan apa jenis kelamin-nya, sudah sepatutnya tunduk pada peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Konsekuensinya, perusahaan media juga harus memberlakukan waktu kerja kepada wartawan sesuai UU, yaitu 40 jam seminggu.

 

Hakim PHI Saut pernah berujar, Jam kerja wartawan (jurnalis) mulai dihitung ketika di lapangan. Terlepas dapat atau tidak bahan beritanya, tapi ketika wartawan sudah menunggu dari pagi, itu harus tetap dihitung telah menjalankan kerjanya. Jadi salah kalau ada anggapan wartawan harus stand by 24 jam alias tidak terbatas jam kerjanya. Oleh karenanya, Saut berpendapat jurnalis berhak atas upah lembur jika bekerja lebih dari jam kerja seperti yang diatur dalam undang-undang.

 

Profesi advokat kurang lebih juga sama. Profesi ini dikenal bekerja dengan waktu yang tidak terbatas. Seperti halnya jurnalis, tuntutan kerjaan seringkali menahan kepulangan seorang advokat. Prakteknya, tidak semua kantor hukum memberikan upah lembur kepada advokatnya yang bekerja diluar jam kerja normal.

 

Kalangan LSM lebih kompleks. Sebagian kalangan memandang bekerja LSM lebih condong pada pengabdian dibandingkan para pekerja kantoran. Imbasnya, jika orang bekerja LSM hingga larut malam dianggap lumrah sehingga tidak mendapat upah lembur. Baru-baru ini, PHI menyidangkan kasus perselisihan hubungan industrial di tubuh Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia.

 

Dari sekian profesi, PNS mungkin yang paling beruntung. Kesejahteraan mereka diperhatikan oleh negara. Buktinya, belum lama ini telah terbit Peraturan Menteri Keuangan No. 64/PMK.02/2008 tentang Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 2009. Peraturan ini menaikkan besaran uang lembur dan uang makan lembur.

Satu contoh kasus yang pernah terekam berita hukumonline adalah kasus perselisihan antara Serikat Pekerja Mandiri Indomarco (SPMI) dengan pihak manajemen PT Indomarco Prismatama (Indomarco). Januari 2007, kedua pihak beradu argumen di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) gara-gara pekerja yang bernaung di bawah SPMI menolak bekerja di hari libur resmi. Pekerja berdalih aturan kerja pada hari libur tidak jelas. Sementara, pengusaha berdalih kerja pada hari libur tidak masuh hitungan lembur, tetapi kerja shift. Akhirnya, majelis hakim PHI memenangkan SPMI.

 

Waktu dan upah lembur sejatinya adalah ketentuan normatif, karena sudah diatur dalam Pasal 78 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Turunan dari pasal itu terbitlah Kepmenakertrans No. 102 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur (Kepmen 102). Selain itu ada juga Kepmenakertrans No. 233 tahun 2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus-Menerus, yang masih memiliki keterkaitan dengan masalah upah lembur.

 

Pada prinsipnya, kerja lembur harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja. Atas kerja lembur itu, pekerja berhak atas upah lembur yang sejamnya, berdasarkan Kepmen 102, sebesar 1/173 dikali upah sebulan. Namun jika perusahaan memberlakukan upah lembur yang lebih menguntungkan buruh, maka aturan Kepmen 102 itu tidak berlaku.

 

Secara umum, ada dua jenis kerja lembur. Pertama, kerja lembur dimana buruh bekerja melebihi jam kerja yang harus dijalankan tiap hari kerjanya. Atau kedua, kerja lembur pada hari yang telah ditetapkankan sebagai hari libur.

Tags: