MA Jatuhkan Vonis Pidana Ketenagakerjaan
Berita

MA Jatuhkan Vonis Pidana Ketenagakerjaan

Mahkamah Agung kuatkan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang menghukum pengusaha ‘bandel' yang tidak membayar upah pekerjanya. Sanksinya denda sebesar Rp15 juta.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
MA Jatuhkan Vonis Pidana Ketenagakerjaan
Hukumonline

 

Tindakan mogok kerja para karyawan itu, kata JPU dalam dakwaan, dibalas dengan pemecatan tanpa kompensasi apapun. Padahal UU Ketenagakerjaan sudah tegas menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja dilakukan setelah ada penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sebelum ada penetapan itu, masing-masing pihak harus tetap melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya. Pekerja tetap bekerja, pengusaha harus membayar upah.

 

Entah karena tidak mengetahui peraturan ketenagakerjaan atau apa, yang jelas Hani tidak lagi membayar gaji empat karyawannya yang sudah dipecat. Si para karyawan tidak tinggal diam. Mereka kemudian mengadu ke Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Utara.

 

Hani tetap bergeming meski telah diadukan ke pengawas ketenagakerjaan. Alhasil, pihak Sudinaker Jakarta Utara kemudian melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Pada 2006, kejaksaan menyeret Hani ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kala itu, Hani dijerat dengan dakwaan alternatif.

 

JPU dalam dakwaan kesatu menjerat Hani dengan Pasal 186 Ayat (1) jo. Pasal 93 Ayat (2) huruf f UU Ketenagakerjaan. Sementara pada dakwaan kedua JPU menggunakan Pasal 185 Ayat (1) jo. Pasal 90 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

 

Pasal 186 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

 

Pasal 93 Ayat (2) huruf f

pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha

 

Pasal 185 Ayat (1)

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

 

Pasal 90 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan

Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.

 

 

Majelis hakim PN Jakarta Utara pada 3 Oktober 2006 menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa Hani bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu. Oleh karenanya, majelis hakim yang terdiri Eddy Wibisono (Hakim Ketua), Jalaludin dan Tony Pribadi (keduanya hakim anggota), menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp15 juta.

 

Pada pertimbangan hukumnya, hakim masih menganggap bahwa keempat karyawan masih berstatus sebagai pekerja PT PMS. Dengan tidak dibayarkannya gaji kepada keempat karyawan, maka hakim menilai rumusan unsur dalam dakwaan pertama telah terpenuhi.

 

Dikuatkan PT dan MA

Atas putusan ini, Hani mengajukan upaya hukum banding. Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang diketuai Fadhly Ilhamy, beranggotakan Victor Hutabarat dan Sri Handojo menolak permohonan banding Hani. Putusan hakim diketuk pada 22 Februari 2007.

 

Menurut majelis tingkat banding, pertimbangan hakim PN sudah tepat kecuali mengenai sanksi yang dijatuhkan. Mengenai pidana denda dalam pelaksanaan bagi terdakwa terkadang agak sukar dalam penyelesaiannya… demikian salah satu penggalan pertimbangan hakim. Alhasil, untuk amar putusan mengenai denda, hakim PT DKI menambahkan sanksi kurungan selama 1 bulan jika Hani tak membayar denda.

 

Masih tak puas, Hani mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Berdasarkan petikan putusannya, majelis kasasi MA menolak permohonan kasasi Hani pada 30 Oktober 2007 lalu. Artinya, putusan yang menghukum Hani sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

 

Dihubungi melalui telepon, Priyo Handoko, Legal Department PT PMS mengaku tidak mengajukan upaya Peninjauan Kembali atas putusan itu. Sudah kami laksanakan isi putusan itu, tandasnya kepada hukumonline melalui telepon, Rabu (8/10).

 

Berdasarkan catatan hukumonline, penegakan sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggar UU Ketenagakerjaan amatlah minim. Jarang ada pengusaha yang bisa diseret ke pengadilan. Kalaupun ada, toh lepas juga. Salah satu contohnya adalah kasus Direktur HRD Hotel Sultan yang dilepas hakim PN Jakarta Pusat.

 

Bagi Anda pengusaha, berusahalah untuk tetap menghormati hukum ketenagakerjaan yang berlaku dalam memperlakukan pekerja. Jika tidak, Anda bisa ‘diketuk' palu hakim. Demikian yang dialami Hani Sapto Pribowo. Pengusaha ini, pada akhir 2007 lalu, ‘di-straf' majelis kasasi Mahkamah Agung lantaran dianggap terbukti melanggar tindak pidana ketenagakerjaan.

 

Hani Sapta Pribowo adalah Direktur Utama PT Philia Mandiri Sejahtera (PMS), perusahaan yang bergerak di bidang penyedia jasa operator head truck  di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

 

Kasus Hani ini bermula ketika pada November 2005 hingga Maret 2006, ia tidak membayarkan gaji empat orang karyawannya. Berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), gaji tidak dibayar karena keempat karyawan dianggap ‘berulah' setelah ikut mogok kerja menuntut upah yang saat itu sangat jauh di bawah upah minimum provinsi.

 

Selain masalah hak upah, mogok kerja karyawan juga menuntut agar status kerja mereka berubah menjadi karyawan PT Jakarta International Container Terminal (JICT). Maklum, selama ini PMS memang meng-outsourcing-kan karyawannya ke JICT.

Halaman Selanjutnya:
Tags: