Sengketa Giro Wajib Minimum:
BI Kembali Tolak Eksekusi PN Jakpus

Sengketa Giro Wajib Minimum:

Mahkamah Agung menerbitkan SEMA yang isinya melarang setiap pihak untuk meletakan sita atas rekening GWM bank-bank di BI.

Oleh:
Sut/M-1
Bacaan 2 Menit
Sengketa Giro Wajib Minimum:
Hukumonline

 

Terhadap putusan PK MA, Ketua PN Jakpus lantas mengeluarkan penetapan eksekusi perkara No. 490/Pdt.G/1998/PN.Jkt.Pst ini. Juru Sita PN Jakpus lalu mendatangi BI untuk melaksanakan perintah eksekusi pencairan rekening GWM tiga bank tersebut pada 16 Juni 2008. Namun eksekusi tidak dapat dijalankan. Deputi Direktur Hukum BI, Heru Pranoto, keberatan mencairkan giro tersebut. Alasannya, GWM hanya dapat dicairkan oleh bank yang bersangkutan atau pihak yang diberi kuasa oleh ketiga bank tersebut.

 

Keberatan Heru beralasan. Sebab dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/24/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern disebutkan, penarikan rekening giro hanya dapat dilakukan oleh pemilik atau pemegang rekening giro atau pihak yang diberi kuasa oleh pemilik atau pemegang rekening giro (Pasal 11 ayat (1)).

 

GWM sendiri adalah cadangan wajib minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada BI. Besarnya GWM ditetapkan oleh BI yakni sebesar rasio atau prosentase tertentu dari dana pihak ketiga (dana simpanan nasabah). Kemarin BI kembali mengumumkan bahwa prosentase GWM diturunkan menjadi 7,5 persen. Penurunan ini terkait dengan kebijakan BI dalam menanggulangi krisis keuangan yang terjadi di seluruh dunia.

 

GWM dilarang disita

Perkara ini mengundang perhatian MA. Dengan alasan banyaknya pertanyaan yang diajukan terkait sita GWM, Ketua MA Bagir Manan akhirnya mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2008 tentang Sita Atas Rekening Giro Wajib Minimum Bank-Bank di Indonesia.

 

Salah satu isi dari SEMA yang diterbitkan tanggal 25 September 2008 itu menyatakan bahwa sita, baik sita jaminan maupun sita eksekusi, atas rekening giro atau cadangan wajib minimum dapat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung kebijakan dan pelaksanaan tugas BI. Karena itu sesuai dengan Pasal 9 UU No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang BI, dilarang meletakan sita atas rekening GWM bank-bank di Indonesia.

 

SEMA ini jelas menjadi kabar gembira buat BI. Kami menanggapi positif. (SEMA) itu hasil koordinasi kita dengan Mahkamah Agung. Bahwa memang GWM tidak bisa dijadikan jaminan, ujar Ahmad Fuad.

 

Ahmad mengatakan SEMA ini ke depan bisa menjadi petunjuk bagi hakim-hakim di seluruh Indonesia. Artinya (SEMA) itu membenarkan sikap BI yang tidak dapat melakukan sita eksekusi. Kalau atas nama silahkan mencairkan. Bagi BI sepanjang dia memenuhi syarat, maka bank bisa menarik, sepanjang cadangannya memenuhi prosentase tertentu dari dana pihak ketiganya. Kalau dia (bank, red) punya GWM sampai di bawah minimum, maka bank tersebut dikategorikan melanggar ketentuan pemenuhan GWM, urai Ahmad.

 

Pengamat perbankan Ryan Kiryanto sepakat dengan MA. Menurutnya, GWM tidak boleh dijadikan agunan karena sifatnya mandatory. Logikanya kalau mandatory tidak boleh digadaikan atau dijaminkan. Akan jadi aneh, wong itu kewajiban secara hukum bagi setiap bank.

 

Ryan menjelaskan, GWM dibuat guna menyelamatan bank yang kesulitan likuiditas. Di negara mana pun, kata dia, GWM tidak boleh diutak-atik oleh siapa pun. Kalau banknya misalnya kekurangan likuiditas, dia kan harus menarik GWM-nya. Kalau GWM-nya disita jaminan, yah gimana banknya bisa hidup. Makanya BI tetap kekeh tidak mau mencairkan. Kalau BI mencairkan barangkali BI salah juga, tandas ekonom senior PT Bank Negara Indonesia Tbk ini.

 

Sebelumnya, kuasa hukum Geria Wijaya, Iwan Kuswardi, mengatakan kliennya merasa dirugikan dengan terhambatnya pelaksanaan eksekusi pencairan rekening giro tiga bank tersebut. Kami heran, meskipun telah melaksanakan solusi yang diajukan Deputi Direktur Hukum BI Heru Pranoto, ternyata sita eksekusi tetap tak bisa dilaksanakan, sesal Iwan.

Setelah gagal melakukan eksekusi atas pencairan rekening giro wajib minimum (GWM) milik tiga bank, yakni PT Bank Windu Kentjana Internasional (d/h PT Bank Multicor), PT Bank Commonwealth (d/h PT Bank Arta Niaga Kencana) dan PT Bank Finconesia, bulan Juni lalu, Juru Sita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) kembali mendatangi Bank Indonesia (BI).

 

Maksud kedatangan masih sama, yakni melakukan eksekusi atas putusan Peninjauan Kembali (PK) No. 292 PK/Pdt/2003 tersebut. Namun, upaya Juru Sita lagi-lagi gagal. Bank sental Indonesia tersebut menolak mencairkan rekening. Alasannya, objek yang dimaksud dalam penetapan yang kembali dibuat oleh Ketua PN Jakpus tersebut tidak ada di BI. Isi penetapan adalah menyita giro bank milik ketiga bank tersebut yang ada di BI yang bukan GWM.

 

Tadi datang juru sita dari PN Jakpus. Tapi giro yang mereka maksud itu tidak ada. Kita tolak, karena tidak ada giro semacam itu. Karena tidak ada yang namanya giro selain GWM di BI. Akhirnya mereka pulang lagi, jelas Ahmad Fuad, Direktur Hukum BI kepada hukumonline, Kamis (9/10).

 

Sengketa sita GWM berawal dari gugatan ganti rugi sebesar Rp20 miliar oleh PT Geria Wijaya Prestige (Geria Wijaya) kepada tiga bank tersebut di tahun 1998. Ketiga bank itu dianggap wanprestasi. Setelah melalui proses hukum hingga tingkat PK, akhirnya Mahkamah Agung (MA) mengabulkan perusahaan pengelola beberapa hotel di Bali tersebut. Salah satu petitum dalam gugatan Geria Wijaya adalah permohonan sita eksekusi terhadap GWM milik ketiga bank tadi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: