Pengguna Internet Bawa UU ITE ke MK
Utama

Pengguna Internet Bawa UU ITE ke MK

Pemohon menguji satu pasal dalam UU ITE yang mengatur penghinaan dan pencemaran nama baik. Hakim Konstitusi menyarankan pemohon agar memasukan Pasal 45 ayat (1) yang memuat sanksi pidana ke dalam petitum

Oleh:
Ali/Rzk
Bacaan 2 Menit
Pengguna Internet Bawa UU ITE ke MK
Hukumonline

 

Di depan panel hakim konstitusi, Iwan memaparkan pertentangan antara Pasal 27 ayat (3) UU ITE itu dengan konstitusi. Ia mengutip sejumlah pasal terkait HAM dalam UUD 1945 yang dilanggar dengan berlakunya UU ITE itu. Yakni, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan (2), serta Pasal 28E ayat (2) dan (3). Ia juga mengutip Pasal 28F yang berbunyi Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

 

Iwan mengatakan Pasal 27 ayat (3) itu bisa sangat berbahaya. Rumusan Pasal 27 ayat (3) bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan, tegasnya. Ia menambahkan rumusan delik formil Pasal 27 ayat (3) UU ITE itu bersifat ambigu, kabur, serta terlalu luas sehingga merugikan hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945. 

 

Panel Hakim Konstitusi terlihat bisa memahami kasus yang menimpa Iwan ini. Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi menilai petitum pemohon kurang sinkron dengan posita. Dalam posita, lanjutnya, pemohon dengan gamblang menguraikan Pasal 45 ayat (1) UU ITE yang memuat sanksi pidana pencemaran. Namun, Iwan tak mencantumkan Pasal 45 ayat (1) ini di dalam petitumnya untuk diuji di MK. Dalam posita sudah dijelaskan tapi dalam petitum kenapa tidak disebutkan? tanyanya.

 

Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menyarankan seharusnya pemohon juga meminta agar Pasal 45 ayat (1) itu ikut juga diuji. Pasalnya, ketentuan pidana penjara dan sanksi denda dalam Pasal 45 ayat (1) itu sangat berpotensi merugikan pemohon. Lagipula, antara Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) merupakan suatu bagian yang terikat.

 

Bunyi Pasal 45 ayat (1) adalah Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Ditemui usai persidangan, Iwan mengatakan akan memperbaiki permohonan sesuai saran panel hakim konstitusi. Seluruh masukan sangat berharga. Tentu kita akan perbaiki, ujarnya. Iwan punya waktu empat belas hari untuk memperbaiki permohonan. 

 

Ancaman pengguna internet

Iwan bukan satu-satunya orang yang gerah terhadap keberadaan UU ITE. Sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia juga gencar menyuarakan penolakan, bahkan sebelum UU ITE resmi diundangkan. Aliansi berpendapat UU ITE mengancam kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi, khususnya melalui media internet. Prinsipnya, menurut Aliansi, mereka mendukung upaya pengaturan muatan internet. Pengaturan dirasa perlu untuk melindungi publik atas materi internet berupa pornografi, penghasutan yang berakibat kekerasan dan kejahatan lainnya.

 

Ini (Pasal 27 ayat (3)) akan menjadi momok baru para pengguna internet maupun komunitas pengguna internet serta pengguna informasi elektronik lainnya, ujar Anggara, Koordinator Aliansi, dalam jumpa pers beberapa waktu lalu.

 

Aliansi menilai UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3), cakupannya sangat luas dan multitafsir. Tidak hanya menjangkau orang yang membuat muatan internet asal, tetapi juga moderator serta pengguna lain yang hanya meneruskan muatan tersebut. Aliansi tidak asal bicara, karena mereka mencatat sejak UU ITE diberlakukan sudah ada beberapa kasus mencuat. Selain kasus Iwan Piliang yang kemudian menyeret moderator milis Agus Hamonangan, ada juga kasus mantan pasien rumah sakit Omni Internasional Prita Mulyasari, dan kasus EJA (inisial) yang diduga menyebarkan email tentang lima bank yang terbelit masalah likuiditas.

 

Selanjutnya, Aliansi mendesak pemerintah agar menarik kembali pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE. Aliansi berharap pasal-pasal itu dirumuskan ulang menjadi ketentuan yang tidak mengekang kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi. Aliansi juga menghimbau agar aparat penegak hukum menahan diri untuk tidak menggunakan pasal-pasal kriminalisasi dalam UU ITE.

 

Kami juga ada rencana untuk mengajukan judicial review ke MK, ungkap anggota Aliansi lainnya Supriyadi Widodo Eddyono. Sedianya, Aliansi bergerak bersama dengan Iwan Piliang sebagai korban UU ITE. Namun, tampaknya Iwan ingin segera mewujudkan niatnya menggugat UU ITE ke MK. Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, Aliansi berencana mengajukan permohonan yang sama dua minggu lagi.

Narliswandi Piliang atau Iwan Piliang mungkin tak pernah berpikir tulisannya yang berjudul Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto akan berbuntut panjang. Gara-gara artikel ini, ia harus berurusan dengan Satuan Cyber Crime Polisi Daerah (Polda) Metro Jaya. Tulisan yang dimuat di beberapa milis internet itu akhirnya membawa Iwan yang juga berprofesi sebagai jurnalis, menjadi tersangka kasus penghinaan dan pencemaran nama baik. Ia dituduh telah mencemarkan nama baik Anggota DPR dari Fraksi PAN Alvin Lie. Dalam tulisannya, ia menyebut Alvin diduga menerima sejumlah uang agar terhindar dari hak angket pembatalan penerbitan saham perdana Adaro.

                                                                                                                                         

Tak terima diberitakan seperti itu, Alvin melaporkan Iwan ke Polda Metro Jaya. Dasar hukum yang digunakan dalam pelaporan itu adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 27 ayat (3). Pasal itu berbunyi Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. 

 

Gara-gara kasus ini, Iwan memang jadi berurusan dengan polisi. Namun, gara-gara kasus ini juga, Iwan bisa memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian UU ITE ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kerugian konstitusional Iwan memang jelas. Ia merasa terancam dengan berlakunya Pasal 27 ayat (3) itu. 

 

Pemohon berkeyakinan memiliki legal standing dalam perkara pengujian UU ITE di depan Majelis Hakim MK yang memang nyata-nyata diderita oleh Pemohon akibat adanya panggilan penyidikan perkara pencemaran terhadap Saudara Alvin Lie di Internet, tutur Iwan saat membaca permohonan di ruang sidang MK, Senin (15/12). Dalam kasus pencemaran ini, Iwan bisa terancam pidana penjara maksimal enam tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE.

Halaman Selanjutnya:
Tags: