Lembaga Survei Politik Dituntut Transparan
Berita

Lembaga Survei Politik Dituntut Transparan

Dalam setiap pengumumannya, lembaga survei dituntut berani mengungkapkan identitas diri, metode penelitian, serta dengan siapa lembaga tersebut bekerja sama, agar prinsip transparansi dan akuntabilitas bisa tercapai.

Oleh:
Fat
Bacaan 2 Menit
Lembaga Survei Politik Dituntut Transparan
Hukumonline

 

Peran masyarakat

Sementara itu, Direktur Center for Electoral Reform (CETRO) Hadar Navis Gumay mengatakan peran serta masyarakat dalam mengawasi kiprah lembaga survei juga penting. Masyarakat harus memastikan bahwa lembaga survei yang melaksanakan penelitian tidak melakukan manipulasi hasil. Makanya, lembaga survei juga dituntut untuk menginformasikan dengan siapa mereka bekerja sama dalam melakukan survei.

 

Menurut saya itu saja sudah cukup kok untuk mengatasi persoalan yang ada selama ini, karena kemudian kalau mau didorong semuanya lewat pintu dan dibiayai pemerintah, wah ini kita mundur, jangan dibilang pemerintah tidak punya interest (kepentingan) sendiri, mereka punya itu, dan tidak tertutup kemungkinan hasil survei tersebut juga dipropaganda, katanya saat dihubungi hukumonline (9/1).

 

  Pasal 245 UU No. 10 Tahun 2008

(1)    Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang pemilu, dan penghitungan cepat hasil pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.

(2)    Pengumuman hasil survey atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang.

(3)    Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari  berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara.

(4)    Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi yang digunakannya dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggaraan pemilu.

(5)    Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan tindak pidana pemilu.

 

Hadar mengatakan, KPU selaku penyelenggara pemilu memiliki hak untuk membuat peraturan partisipasi masyarakat mengenai lembaga survei. Misalnya lembaga-lembaga survei ini perlu mendaftar dan kemudian mereka harus menginformasikan kepada KPU, mengenai organisasinya dan keinginan mereka untuk melakukan survei.

 

Saya kira biarkan saja dibuka cukup dengan pengaturan yang minimal tapi perkiraan saya cukup preventif, jadi dia (lembaga survei) tidak bisa main-main. Dan buat kita juga jangan terlalu percaya juga kalau ini dibiayai oleh suatu parpol, atau pihak tertentu itu harus kita pahami juga dengan hati-hati, katanya.

 

Ranah privat

Direktur Riset Institut Survei Publik (RISP) Isra Ramli tidak sependapat dengan Laode. Menurut Isra, survei politik itu tidak boleh dilakukan oleh lembaga survei yang dibiayai pemerintah. Survei politik merupakan isu kekuasaan, maka dari itu harus biarkan menjadi ranah privat dari lembaga survei itu sendiri.

 

Isra mengatakan bahwa lembaga survei yang dibiayai negara adalah lembaga yang melakukan survei terkait kepentingan publik dan bangsa secara prinsipil. Misalnya penerimaan kesiapan masyarakat dalam penyaluran bantuan langsung. Jadi itu kemudian yang didanai, yang diumumkan secara terbuka sebagai sebuah pertanggung jawaban negara kepada masyarakat, katanya.

 

Lembaga survei politik, lanjutnya, biarlah melakukan surveinya sesuai dengan permintaan dari klien mereka, baik partai maupun personal. Namun, pada pengumuman hasil survei, lembaga tersebut diwajibkan untuk menyebutkan bahwa penelitian yang dilakukan bekerja sama dengan parpol ataupun personal yang menjadi kliennya dengan melaksanakan pinsip transparansi dan akuntabilitas. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir manipulasi politik dari lembaga survei, katanya.

 

Menurutnya, ada untung dan ruginya oposisi jika lembaga survei dibiayai oleh negara. Paling tidak incumbent itu memiliki informasi tentang sejauh mana keberhasilan dan kegagalan parpol yang berkuasa dalam menjalankan program pemerintahannya, terlebih terkait isu kebijakan publik. Sehingga parpol oposisi tersebut bisa bertindak secara lebih tepat dalam memperbaiki penampilan dihadapan publik.

 

Jadi keuntungan dia (oposisi, red) di situ, itu penting sekali bagi dia, bagi publik atau lawannya informasi itu sudah bagus, kalau itu diumumkan secara terbuka akhirnya oposisi itu mengetahui titik kelemahan dari incumbent, asal dilemparkan publik, pungkasnya.

Belakangan ini, lembaga survei sepertinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kancah politik. Tidak hanya perhelatan skala nasional seperti pemilu legislatif atau pemilu presiden, lembaga survei juga mulai merambah ajang-ajang pemilihan kepala daerah. Quick count atau perhitungan cepat biasanya menjadi produk andalan lembaga survei. Kiprah yang cukup siginifikan, sayangnya tidak disertai dengan perangkat hukum yang memadai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pemilu hingga kini belum menerbitkan peraturan tentang lembaga survei.

 

Ketiadaan peraturan memunculkan kesan dunia lembaga survei bak dunia antah berantah. Tudingan miring pun muncul, mulai dari isu objektivitas, validitas data, dan yang paling miris adalah survei pesanan. Lembaga survei memang rentan dipersoalkan independensinya. Maklum, produk mereka diyakini sejumlah kalangan, bisa mempengaruhi masyarakat dalam menggunakan hak pilih mereka.

 

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Ode Ida mengatakan, perlu ada lembaga survei yang dibiayai oleh negara, agar terjamin kinerja dan kredibilitas dari lembaga tersebut. Menurut La Ode, surveyor seperti ini tidak akan terpengaruh dengan pemerintahan yang sedang berkuasa. Karena biaya yang diberikan kepada lembaga survei berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), bukan dari pemerintah secara khusus.

 

Syaratnya, lanjut La Ode, surveyor tersebut harus independen. Sebelumnya para surveyor tersebut mengajukan proposal, dan proposal tersebut diuji oleh sebuah tim khusus. Menurutnya, dalam bertugas, lembaga survei ini tidak akan terpengaruhi dengan incumbent, karena program yang dijalankan oleh tim khusus ini harus dilaksanakan oleh lembaga yang netral dan di luar pemerintah. Tim khusus itu terdiri dari masyarakat, kalangan universitas yang independen dan integritasnya telah teruji, karena semua lembaga survei itu juga basic-nya netral, ujarnya.

 

Bukan hanya itu, lembaga survei yang ingin mengikuti program ini, harus mengikuti tender terlebih dahulu. Menurut La Ode, ada beberapa pihak yang netral yang bisa dijadikan panitia adhoc untuk memproses semua lembaga survei yang ingin mengikuti tender. Panitia adhoc dimaksud bisa dari kalangan kampus, lembaga penelitian, Non Goverment Organization (NGO) dan kalangan internasional.

Tags: