Selamat Tinggal Rezim Kontrak
UU Minerba:

Selamat Tinggal Rezim Kontrak

Undang-Undang Minerba dianggap menghidupkan kembali semangat nasionalisasi. Salah satunya menghapus sistem kontrak dan beralih ke perizinan. Kontraktor asing pun harus terafiliasi dengan perusahaan dalam negeri.

Oleh:
Sut
Bacaan 2 Menit
Selamat Tinggal Rezim Kontrak
Hukumonline

 

Ada tujuh izin yang diatur dalam UU Minerba. Izin itu adalah Izin Usaha Pertambangan (IUP), IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), IUPK Eksplorasi, dan IUPK Operasi Produksi.

 

Izin Dalam UU Minerba

          Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.

          IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan

          IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi.

          Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.

          Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

          IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

          IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

 

BUMN dan Jasa Lokal

Selain rezim yang berganti, pemerintah pusat sepertinya ingin mengembalikan pengelolaan pertambangan seperti tahun 1967�ketika UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan diberlakukan. Apalagi kalau bukan mengutamakan kepentingan nasional. Salah satu contohnya adalah memberi prioritas kepada badan usaha milik negara (BUMN) untuk mengelola minerba.

 

Pasal 75 ayat (3) UU Minerba menyebutkan, BUMN dan badan usaha milik daerah (BUMD) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. Sementara kontraktor swasta boleh masuk asalkan tidak ada BUMN atau BUMD yang mau mengolah wilayah tambang tersebut. Itu pun harus melalui lelang (Pasal 75 ayat (4)).

 

Tekad pemerintah untuk mengutamakan perusahaan tambang plat merah sepertinya sudah bulat. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Negara BUMN tengah menggodok Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur masalah itu. Sayang kedua instansi ini belum mau memberi kisi-kisi PP tersebut. Yang jelas, PP tentang pengutamaan BUMN dan kepentingan nasional dalam pengelolaan minerba, bakal didahulukan dibanding 22 PP Minerba lain yang mesti dibuat pemerintah dalam satu tahun.

 

Keistimewaan buat BUMN tambang tidak berhenti di situ. Untuk BUMN yang sudah memegang kuasa pertambangan dan harus menyesuaikan dengan UU Minerba, pemerintah menjamin penyesuaian itu tidak akan merugikan BUMN yang bersangkutan.

 

Yang penting BUMN seperti PTBA (PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk) tidak akan dirugikan. Sedangkan KP (Kuasa Pertambangan) ikut aturan yang berlaku. Nanti akan dibikin PP tentang limit luas wilayah pertambangan batu bara, kata Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi Departemen ESDM, Bambang Setiawan, pekan lalu.

 

Bukan hanya BUMN yang diuntungkan, kontraktor tambang lokal juga merasa di atas angin. Soalnya, UU Minerba mewajibkan setiap pemegang IUP dan IUPK untuk menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional. Jika tidak tidak terdapat perusahaan lokal dan/atau nasional, pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia (Pasal 124 ayat (1) dan (2)). Begitu juga dengan tenaga kerjanya. Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan kontraktor dan tenaga kerja lokal (Pasal 125 ayat (3)).

 

Asing Wajib Divestasi

Nasionalisasi pengelolaan Minerba kemudian berlajut ke Pasal 112 mengenai divestasi saham perusahaan tambang asing. Pasal 112 ayat (1) menyebutkan, setelah lima tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMND, atau badan usaha swasta nasional.

 

Ketentuan ini jelas menjadi ancaman bagi kontraktor asing yang mau berbisnis tambang di Negeri ini. Pasalnya, investasi pengelolaan tambang nilainya tidak kecil. Butuh biaya besar dan waktu yang lama. Bagaimana mungkin kontraktor asing mau mendivestasikan sahamnya, jika keuntungan belum mereka peroleh selama lima tahun�sejak IUP dan IUPK dipegang.

 

Untuk mengatur persoalan ini, pemerintah juga tengah menyiapkan PP-nya. PP inilah yang  dikhawatirkan sejumlah pengamat pertambangan. Ryad Chairil mewanti-wanti BUMN agar mengawal penyusunan PP tersebut. Jangan sampai PP-nya tidak segalak UU-nya, tukas Ryad.

 

 

Sejak disahkannya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), muncul kekhawatiran dari kontraktor tambang. Apakah UU ini bakal menggangu bisnisnya atau justru mendukung? Pertanyaan ini menjadi rebutan bagi perusahaan tambang dalam negeri dan perusahaan tambang asing. Masing-masing jelas punya kepentingan.

 

Jika UU ini dibuat untuk kepentingan nasional, pengusaha lokal jelas mendukungnya. Dan sebaliknya, menjadi malapetaka bagi pengusaha asing. Namun, benarkah UU Minerba punya semangat kepentingan nasional? Sepertinya iya, kata pengamat hukum pertambangan Ryad Chairil.

 

Memang, sebagian besar pasal dalam UU Minerba punya semangat nasionalisme. Yang paling utama adalah pergantian rezim. Dari sebelumnya menggunakan rezim kontrak, kini beralih menjadi sistem perizinan. Di dalam UU Minerba yang baru ini, tidak disebutkan sama sekali mengenai kontrak, kecuali kontrak yang sudah diteken sebelumnya antara pemerintah dengan kontraktor (Pasal 169 UU Minerba). Untuk kontrak yang sudah diteken pun kontraktor harus menyesuaikannya dengan UU Minerba yang disahkan DPR pada 16 Desember tahun lalu ini (Pasal 170). Artinya akan ada renegosiasi kontrak? Inilah yang belum jelas dan pemerintah belum mau angkat bicara.

 

Terlepas dari penyesuaian itu, pergantian rezim dari kontrak menjadi izin tentu tidak lagi memposisikan kesejajaran antara pemerintah dengan kontraktor. Dalam rezim kontrak, posisi pemerintah seakan sejajar dengan kontraktor. Berbeda dengan sistem perizinan. Pemerintah berperan sebagai pengatur dan pemberi izin usaha pertambangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: