Parliamentary Threshold Dikecam Sebagai Kezhaliman Demokrasi
Berita

Parliamentary Threshold Dikecam Sebagai Kezhaliman Demokrasi

Parliamentary threshold 2,5% jelas bertentangan dengan tiga prinsip nilai dasar hukum, yakni kesamaan, kebebasan, dan solidaritas.

Oleh:
Fat
Bacaan 2 Menit
<i>Parliamentary Threshold</i> Dikecam Sebagai Kezhaliman Demokrasi
Hukumonline

 

Menurut Patra, ketentuan parliamentary threshold 2,5% jelas bertentangan dengan tiga prinsip nilai dasar hukum, yakni kesamaan, kebebasan, dan solidaritas. Bukan hanya itu, ketentuan ini juga dianggap tidak sejalan dengan semangat refomasi yang berlandaskan demokrasi dan keadilan, karena ketentuan tersebut merupakan parktik diktatoriat partai besar.

 

Dengan adanya rumusan Pasal 202 ayat (1) tujuan perwujudan kedaulatan rakyat tersebut tidak akan tercapai, karena persyaratan persentasi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional telah membatasi kesempatan partai dan caleg untuk duduk sebagai wakil rakyat, ujarnya.

 

Praktek diskriminatif

Ketua Umum Partai Persatuan Daerah Oesman Sapta mengatakan, satu dari sepuluh partai yang menjadi pemohon sepakat menyerahkan sepenuhnya urusan uji materiil kepada YLBHI. Yaitu pelaksana yang kami tunjuk ini adalah orang-orang yang mengerti hukum, dan kami menyerahkan semuanya kepada mereka, katanya. Menurut Patra, pembentuk UU Pemilu Legislatif hanya berdasarkan pada argumen kekuasaan semata.

 

Bukan karena perumusan ketentuan pasal pada prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusi, katanya. Ia mengatakan, telah terjadi pertentangan antara parliamentary threshold dengan asas pemilu proporsionalitas, keterwakilan dan derajat keterwakilan yang lebih baik. Jadi, kalau dilanggar, ini akan meningkatkan keterwakilan, bohong! sergahnya.

 

Menurut Oesman, parliamentary threshold ini merupakan kezaliman demokrasi, karena hal ini telah melanggar HAM. Dengan kata lain, telah terjadi diskriminasi bagi partai yang tidak memenuhi persentase tersebut. Parliamentary threshold merupakan pengingkaran terhadap hak rakyat, ujarnya.

 

Hal senada juga dikatakan oleh Erros Djarot. Ketua Umum Partai Nasional Benteng Kerakyatan ini mengatakan Pasal 202 ayat (1) tersebut telah mendiskriminasikan partai yang tidak memenuhi persentase. Misalnya, jika seseorang yang dipilih langsung oleh rakyat tidak lagi digugurkan oleh partai, karena tidak terpenuhi ambang batas perolehan suara 2,5%. Untuk itu kita percayakan sepenuhnya persoalan ini ke YLBHI, pungkasnya. 

Untuk kesekian kalinya, UU Pemilu Legislatif Nomor 10 Tahun 2008 dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi. Sepuluh partai peserta Pemilu 2009 didampingi oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia berinisiatif mengajukan permohonan uji materiil atas UU Pemilu Legislatif. Permohonan rencananya akan didaftarkan pada Rabu siang (14/1).

 

Ada satu pasal dari UU Pemilu Legislatif yang dibidik pemohon, yakni Pasal 202 ayat (1) mengenai parliamentary threshold. Ketua Badan Pengurus YLBHI Patra M. Zen menjelaskan alasan di balik pengajuan uji materiil lini, karena telah terjadi kesewenang-wenangan atau wilekeur oleh DPR dan Pemerintah.

 

Patra memaparkan Pasal 202 ayat (1) UU Pemilu Legislatif bertentangan dengan enam pasal dalam UUD 1945. Di antaranya, Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi tentang negara hukum. Kemudian Pasal 2 ayat (1), yaitu Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ketiga, pada Pasal 28D ayat (1), yaitu Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

 

Kemudian, pada Pasal 27 ayat (1), yaitu Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan...... Lalu, pada Pasal 28D ayat (3) yang berbunyi, Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Terakhir, bertentangan pada pasal 28I ayat (2), yaitu Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

 

Pasal 202 ayat (1) UU Pemilu Legislatif

Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

Tags: