Ada Indikasi Kartel dalam Penetapan Harga Obat
Berita

Ada Indikasi Kartel dalam Penetapan Harga Obat

Harga obat di Indonesia masih mahal dibanding negara lain. KPPU mendesak pemerintah membuat regulasi batas atas harga obat di dalam negeri.

Oleh:
Sut
Bacaan 2 Menit
Ada Indikasi Kartel dalam Penetapan Harga Obat
Hukumonline

 

Sepertihalnya Didik, Ketua KPPU Benny Pasaribu mensinyalir adanya praktek monopoli berupa penetapan harga obat secara tidak wajar. Sangat kental nuansa oligopolistiknya dan berpotensi monopoli, ujar Benny. Mengenai modusnya sendiri KPPU belum bisa memastikan, sebab komisi ini masih melakukan monitoring.

 

Kesimpulan Analisis

1.      Jalur distribusi produk farmasi pada umumnya diawali dari produsen menuju distributor utama, pedagang besar farmasi (PBF) selaku distributor daerah, sampai pada retailer yaitu apotik dan rumah sakit.

2.      Produsen farmasi memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga jual sampai di tingkat pengecer. Sehingga iklim persaingan khususnya di jalur distribusi, dimana persaingan antara PBF dalam satu jalur distribusi (intrabrand) menjadi terbatas.

3.      PBF yang memiliki jaringan distribusi dan logistik yang luas memiliki nilai tambah di mata produsen farmasi.

4.      Beberapa produsen farmasi melakukan integrasi vertikal, khususnya forward integration melalui penguasaan terhadap PBF (bentuknya perjanjian jangka panjang) dan juga sampai di tingkat rumah sakit serta apotik.

5.      Data mengenai struktur psar mengindikasikan adanya beberapa kelas terapi yang cenderung terkonsentrasi.

Sumber: KPPU

 

Yang jelas KPPU akan melakukan langkah-langkah untuk menindaklanjuti masalah klasik ini. Pertama, akan memeriksa kebijakan pemerintah yang memungkinkan adanya liberalisasi harga obat, termasuk dugaan adanya regulasi yang membuat persaingan tidak sehat di industri farmasi. Kedua, menyelidiki prilaku pelaku usaha yang menyebabkan harga obat menjadi mahal.

 

Dalam waktu dekat ini, KPPU juga berencana mengirimkan surat kepada produsen obat di seluruh Indonesia untuk mengklarifikasi hasil temuan komisi anti monopoli tersebut. KPPU dalam suratnya juga meminta produsen obat supaya menegakan persaingan yang sehat. Jika tidak (dituruti), maka kami akan masuk kepada penegakan hukum dan bisa dijadikan kasus, Benny mengultimatum.


Masalahnya di Regulasi

Selain itu, KPPU segera mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah terkait penetapan harga obat di dalam negeri. Antara lain pemerintah diminta membuat regulasi tentang harga eceran tertinggi atau batas atas harga obat. Kemudian pemerintah juga perlu menyusun kebijakan harga obat generik bermerek (branded generic). Selama ini, kata Didik, pemerintah tidak pernah mengatur harga obat generik bermerek, melainkan hanya mengatur liberalisasi harga eceran tertinggi (HET) dan kandungan obat. Dalam waktu dekat Tim Monitoring akan mengeluarkan rekomendasi tersebut, tandas Didik.

 

Sekedar informasi, kajian yang dilakukan KPPU terhadap industri farmasi ini sebenarnya telah dilakukan sejak akhir 2007 silam. Kala itu, Ketua KPPU Mohammad Iqbal mengatakan tingginya harga obat bisa disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adanya prilaku usaha yang mengarah pada persaingan yang tidak sehat seperti kartel dan penyalahgunaan posisi dominan. Kemudian adanya kebijakan pemerintah yang tidak pas.  

 

Iqbal menjelaskan dari indikasi awal memang terlihat adanya kebijakan pemerintah yang belum pas di industri farmasi. Kebijakan tersebut, kata dia, bisa mendorong timbulnya prilaku yang anti persaingan. Harga yang tinggi yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Karena harga yang tinggi nampak dari harga obat generik yang ditetapkan pemerintah dengan obat generik yang belum ditetapkan oleh pemerintah. Bedanya-kan cuma nggak dikasih lebel. Masa harganya sudah lebih mahal tiga kali lipat,  katanya pria yang kini menjadi tersangka kasus suap tersebut.

 

Departemen Kesehatan (Depkes) pernah menelurkan dua kebijakan penting bagi industri farmasi, yaitu Kepmenkes No. 69/2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi di Label Obat dan Kepmenkes No. 68/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pencantuman Nama Generik Pada Label Obat. Keduanya diterbitkan pada 7 Februari 2006. Sayangnya penerapan kedua peraturan tersebut, khususnya Kepmenkes No. 69/2006, mengundang berbagai tanggapan miring dari pelaku usaha.

 

Ketua Umum Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Anthony Charles Sunarjo, kala itu juga menyambut baik kajian yang dilakukan KPPU. Menurutnya, banyak kebijakan pemerintah yang tidak strategis, sehingga dampaknya menakutkan bagi industri farmasi di Indonesia. Disamping itu, kata dia, media masa juga kerap memberitakan sisi negatif industri ini. Akibatnya, perusahaan farmasi di Indonesia jalan di tempat, kata Charles.

Tak dapat dipungkiri, harga obat di dalam negeri masih tergolong mahal. Apalagi untuk kaum menengah ke bawah. Belum jelas, apa yang menyebabkan harga obat menjadi mahal. Tapi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) punya temuan menarik. Hasil analisis sementara cukup mengejutkan. Indikasi kartel sangat kuat di bisnis ini, terang Wakil Ketua KPPU Didik Akhmadi dalam jumpa pers di kantor KPPU Jakarta, Kamis (29/01).

 

Didik tak asal bicara. Hasil monitoring yang dilakukan KPPU selama ini menunjukan adanya kecenderungan pola distribusi (penyaluran) obat yang terintegrasi vertikal dari hulu sampai hilir. Artinya, kondisi ini telah diatur oleh satu pelaku usaha atau kelompok tertentu. Termasuk kecenderungan terkonsentrasi, yakni mengerucut pada apotik tertentu yang terafiliasi dengan produsen obat, jelas Didik.

 

Teorinya, kata Didik, jika sebuah produk sudah terkonsentrasi di suatu pasar, seharusnya harganya bisa murah. Tapi yang terjadi di sini sebaliknya. Harga obat di tingkat konsumen justru mahal. Inilah masalahnya.

Tags: