Pengelolaan Menara Bersama Memicu Monopolistik
Berita

Pengelolaan Menara Bersama Memicu Monopolistik

Penerapan Permenkominfo No. 2 Tahun 2008 di daerah berpotensi menimbulkan monopoli dan persaingan curang. KPPU memprediksi monopoli menara akan menimbulkan gangguan pada pasar telekomunikasi seluler.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
Pengelolaan Menara Bersama Memicu Monopolistik
Hukumonline

 

Sekedar informasi, saat ini ada empat laporan yang masuk ke KPPU terkait peraturan daerah tentang penggunaan menara bersama itu. Yakni, Makassar, Yogyakarta, Palu dan Badung.

 

Awal Januari lalu, Hinca Pandjitan melaporkan Pemda Kabupaten Badung, Bali, ke KPPU. Laporan itu terkait dugaan monopoli penyelenggaraan menara telekomunikasi atau biasa disebut Based Transceiver Stasiun (BTS). Dugaan itu bermula dari kontrak kerja sama Pemda Badung dengan PT Bali Towerindo Sentra tanggal 7 Mei 2007. Kontrak itu tentang Penyediaan Infrastruktur Menara Telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Badung.

 

Dalam perjanjian itu disebutkan Pemda Badung memberikan izin kepada Bali Towerindo untuk pengadaan dan pengelolaan BTS di Kabupaten Badung, setelah perusahaan itu menang lelang. Atas perjanjian itu, Pemda Badung tidak akan menerbitkan izin menara ke perusahaan lain di Badung.

 

Pemda Badung juga tidak akan memperpanjang operasional baik sementara atau tetap atas menara telekomunikasi yang sudah ada (existing tower) di Badung. Bagi pemilik existing tower, Pemda Badung meminta agar membongkar sendiri menaranya. Jika tidak, Pemda Badung akan membongkar paksa tapi atas biaya para pemilik menara.

 

Dalam laporannya, Hinca menduga Pemda Badung melanggar Pasal 19 huruf a dan c UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat. Pasal itu melarang pelaku usaha melakukan kegiatan yang beraibat terjadinya monopoli atau persaingan tidak sehat. Yakni berupa menolak atau mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan kegiatan yang sama dalam pasar yang sama, serta membatasi peredaran atau penjualan barang/jasa pada pasar yang bersangkutan.

 

Menurut Komisioner KPPU Tresna P. Soemardi, monopoli menara akan menimbulkan gangguan pada pasar telekomunikasi seluler. KPPU memprediksikan gangguan itu disebabkan berkurangnya jumlah pelaku usaha secara signifikan di pasar telekomunikasi seluler. Efeknya, tarif sewa menara akan tinggi karena perjanjiannya sewa menyewa yang eksklusif. Karena menara merupakan alat yang fital, monopoli yang berkepanjangan bisa menggangu kesejahteraan publik, ujar Tresna.

 

Agar Permenkominfo bisa berjalan maksimal, KPPU merekomendasikan supaya pemerintah memperhatikan penentuan lokasi bersama dengan mempertimbangkan nilai ekonomis dan lingkungan. Pemerintah juga harus memberikan masa transisi yang cukup agar tidak mengganggu pelayanan terhadap konsumen telekomunikasi. Existing tower harus tetap dimanfaatkan guna mengurangi inefisiensi. Dengan catatan, penggunaan existing tower harus memperhatikan prinsip terbuka untuk siapa saja (open access).

 

Selain itu, untuk mengurangi potensi praktik monopoli, pemerintah pusat/daerah melakukan intervensi terkait penerapan tarif, kualitas standar kualitas minimum layanan, batas waktu pemanfaatan lisensi dan pengaturan tentang sewa menyewa.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai penerapan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 2 Tahun 2008 tentang Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi berpotensi menimbulkan persaingan curang di daerah. Pasalnya, peraturan itu menjadi acuan bagi pemerintah daerah (Pemda) dalam membuat ketentuan soal menara telekomunikasi di daerah. Padahal sedianya permenkominfo itu bertujuan untuk menekan biaya investasi di sektor telekomunikasi. Banyak peraturan daerah yang anti persaingan, ujar Komisioner KPPU Dedie S. Martadisastra saat diskusi di KPPU, Kamis (5/2) kemarin.

 

Indikasi persaingan curang terjadi lantaran peraturan daerah (Perda) memberikan hak eksklusif kepada pelaku usaha untuk membangun dan mengelola menara telekomunikasi. Apalagi perusahaan yang ditunjuk pemda kerap tanpa melalui tender. Sementara, tidak ada regulasi yang mengatur tarif dan standar kualitas pelayanan mereka. Akibatnya muncul pengelola baru yang cenderung monopolistik.

Halaman Selanjutnya:
Tags: