Kejagung Siap Eksekusi Gunawan Santoso
Berita

Kejagung Siap Eksekusi Gunawan Santoso

Pihak terpidana baru menyiapkan dua 'novum', putusan Tommy Soeharto dan RKUHP. Kejagung menilai itu bukan novum.

Oleh:
Rfq
Bacaan 2 Menit
Kejagung Siap Eksekusi Gunawan Santoso
Hukumonline

 

Maka kita ultimatum dalam satu bulan. Jika tidak diajukan, akan segera dilakukan ekseskusi, tegas Hendarman, terkesan mengabaikan Pasal 264 ayat (3) KUHAP bahwa PK tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu.

 

Dihubungi hukumonline (14/2), Alamsyah Hanafiah mengakui pihaknya memang belum mengajukan PK. Pihaknya, kata Alamsyah, tengah mengumpulkan novum sebanyak-banyaknya. Sejauh ini, ia mengaku baru menyiapkan satu novum yakni putusan kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita dengan terpidana Tommy Soeharto.

 

Dengan menggunakan kasus Tommy, Alamsyah menuntut perlakuan yang sama antara kliennya dengan putra mantan Presiden Soeharto itu. Ia berdalih kejahatan yang dilakukan Gunawan modusnya dengan Tommy. Tommy dalam kasus pembunuhan dengan modus operandi yang sama dihukum 16 tahun, sementara Gunawan justru dihukum mati, Alamsyah protes.

 

Selain kasus Tommy, Alamsyah juga menggunakan rancangan KUHP (RKUHP) sebagai tameng. Dalam RKUHP, lanjutnya, hukuman mati tidak lagi dijadikan sebagai pidana pokok, tetapi sebagai pidana bersyarat. Setelah novum terkumpul, Alamsyah berencana segera mengajukan PK. PK adalah hak kita, eksekusi itu bukan hak kejaksaan, tapi hak Tuhan, tukasnya.

 

Ritonga menanggapi dingin rencana pihak terpidana mengajukan PK dengan dasar novum yang disebutkan Alamsyah. Ia menegaskan putusan Tommy tidak bisa dikategorikan sebagai novum. Menurut Ritonga, novum semestinya adalah keadaan yang ada dalam kasus tersebut yang sebelumnya tidak diketahui.

  

Saya belum pernah mendengar putusan perkara lain dibilang sebagai novum dalam perkara yang lain. Tapi, kalau mau dijadikan novum, terserah mereka, yang jelas itu bukan novum, ujar Ritonga.

Peninjauan kembali (PK) dan eksekusi putusan adalah dua tindakan hukum yang selalu menimbulkan polemik. Apalagi, jika terkait eksekusi hukuman mati. Kasus Tibo cs dan kasus Amrozi cs adalah contohnya. Pihak Kejaksaan selaku eksekutor selalu menganggap PK adalah trik terpidana untuk mengulur waktu pelaksanaan eksekusi. Sebaliknya, terpidana atau pengacaranya merasa PK adalah hak.

 

Polemik yang sama juga mulai terlihat ketika Kejaksaan berniat mengeksekusi terpidana mati kasus pembunuhan bos PT Asaba, Gunawan Santoso. Melalui pengacaranya, Alamsyah Hanafiah, Gunawan Santoso sebulan yang lalu telah mengirimkan surat ke Kejaksaan Agung (Kejagung) tentang rencana pengajuan PK.

 

Satu bulan kemudian, Kejagung mengecek langsung ke pengadilan apakah Gunawan merealisasikan niatnya mengajukan PK. Informasi yang diperoleh Kejagung, Gunawan ternyata belum mengajukan PK. Lalu, Kejagung melalui surat tertanggal 30 Januari 2009, menagih ke Gunawan seputar pengajuan PK.           

 

Kami buat surat kepada yang bersangkutan dalam hal ini Gunawan, untuk menanyakan isi surat yang dulu (surat pengajuan PK, red), ujar Jampidum Abdul Hakim Ritonga di sela-sela Rapat Kerja dengan Komisi III DPR, Senin (16/2). Selain menagih, surat itu juga menetapkan tenggat waktu satu bulan –berarti akhir Februari ini- bagi Gunawan jika ingin mengajukan PK. Ritonga menegaskan, jika dalam tenggang waktu yang ditentukan belum juga diajukan PK, Kejagung akan melakukan eksekusi. Kita akan ambil sikap setelah waktu yang ditentukan, tegasnya.

 

Sementara, Jaksa Agung Hendarman Supanji menjelaskan Pasal 268 KUHAP sebenarnya menyatakan pengajuan PK tidak menangguhkan atau menghentikan eksekusi. Namun, menurut Hendarman, ketentuan ini tidak berlaku bagi hukuman mati. Oleh karenanya, Kejagung memberi kesempatan Gunawan untuk mengajukan PK.

Halaman Selanjutnya:
Tags: